Kalau pisau hukumnya boleh. Bahkan sangat dianjurkan, bila digunakan untuk menyembelih hewan kurban.
Tapi hukumnya menjadi haram, bila digunakan untuk menyembelih manusia yang tidak bersalah. Begitu pula alat musik.
Dia mengatakan, bahwa hukum itu tidak berkaitan dengan benda, tapi berkaitan dengan perbuatan seseorang terhadap benda itu.
Jawaban:
Memang logika yang kelihatan ilmiah dan masuk akal.
Tapi ganjilnya: Mengapa semua Imam Empat sepakat akan haramnya alat musik?!
Syeikhul Islam rahimahullah mengatakan:
“Madzhab Imam Empat: Bahwa alat-alat musik itu SEMUANYA HARAM. Dan tidak ada seorang pun dari pengikut para imam yang menyebutkan ada beda pendapat dalam (haramnya) alat musik.” [Majmu’ Fatawa 11/576]
Bahkan beberapa ulama mengatakan, bahwa dahulu para ulama sepakat (Ijmak) dalam masalah haramnya alat musik ini.
Jika demikian, berarti hanya ada dua kemungkinan:
• Logikanya yang salah, atau
• Semua ulama dahulu yang salah?
Konsekuensi yang sungguh berat.
Jika kita membenarkan logikanya, berarti kita akan menyalahkan Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan para imam lainnya rahimahumullah.
Pertanyaan sederhana: “Apakah dirinya lebih alim dan lebih bertakwa dari para imam tersebut?”
Saya yakin semua akan menjawab, “TIDAK”, karena perbandingannya sangatlah kontras.
Jika demikian, di mana salahnya logika dia?
Salahnya ada pada penerapan contohnya. Seharusnya dia mencontohkannya demikian:
“Jika alat musik itu dipakai untuk memukul anjing yang sedang menggigit orang, maka dibolehkan, bahkan bisa jadi diwajibkan. Tetapi kalau alat musik itu dipakai untuk bermusik, maka diharamkan.”
Mengapa demikian? Karena alat musik berbeda dengan pisau.
Bedanya, tidak ada hadis Nabi ﷺ yang melarang pisau secara khusus. Sedang alat musik, di sana ada banyak hadis Sahih yang melarangnya.
Dan tidaklah alat musik dilarang, melainkan karena kegunaan dia untuk bermusik. Jika bukan karena ini, tentunya tidak pantas bagi Nabi ﷺ untuk melarang alatnya.
Hal ini seperti larangan dalam khamr (semua yang memabukkan).
Apakah kita boleh mengatakan, bahwa bila khamr digunakan untuk menghangatkan badan maka boleh, sedang bila digunakan untuk mabuk tidak boleh? Tentu kita akan menjawab tidak!
Kenapa demikian? Karena khamr tidaklah diharamkan, melainkan karena kegunaan dia untuk mabuk.
Kalau kita pakai kaidah “Bahwa hukum itu tidak berkaitan dengan bendanya, tapi berkaitan dengan perbuatan seseorang terhadap benda itu,”
Maka jika diterapkan pada khamr, seharusnya contohnya seperti ini:
“Jika khamr dipakai untuk membersihkan WC, maka dibolehkan. Tetapi jika khamr itu dipakai untuk mabuk, maka tidak boleh.”
Seperti inilah seharusnya sebuah kaidah diterapkan.
Sungguh sangat fatal apabila seseorang tahu sebuah kaidah, tapi ngawur dalam menerapkannya.
Inilah yang menyebabkan pendapat orang di zaman ini seringkali menyelisihi pendapat para imam, bahkan menyelisihi Ijmak atau kesepakatan para ulama terdahulu.
Oleh: Ustadz DR. Musyaffa Ad Dariny, MA (Dewan Pembina Yayasan Risalah islam)