سْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#FikihJualBeli
JUAL BELI MURABAHAH YANG MENGANDUNG RIBA
Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dalam Fikih Muamalah dikenal istilah Murabahah. Yang dimaksud Murabahah adalah penjual memberitahukan harga barang pada si pembeli dan ia mengambil untung dari penjualan barang tersebut. Jual beli ini dipraktikkan di beberapa bank syariah atau BPR saat ini. Bagaimana Murabahah yang semestinya?
Memahami Murabahah
Murabahah sudah jelas dalam penjelasan di atas. Deskripsinya adalah sebagai berikut:
Jadi ada tiga jual beli yang sifatnya amanah:
(1) Murabahah (kenal untung),
(2) Tawliyah (kenal imbas), dan
(3) Wadhi’ah (kenal rugi).
Adapun mengenai hukum jual beli Murabahah, asalnya DIBOLEHKAN. Dalil akan hal ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala yang menjelaskan halalnya jual beli. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli” (QS. Al Baqarah: 275).
إِلَّا تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29).
Murabahah termasuk jual beli saling ridho di antara penjual dan pembeli, sehingga termasuk jual beli yang DIBOLEHKAN.
Begitu pula secara logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar luas. Di antara kita ada orang yang tidak tahu, manakah barang yang berkualitas untuk dibeli, sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-beluk barang di pasar. Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas jasa pada si penjual, yang telah membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan. Sehingga jual beli Murabahah dengan logika sederhana ini dibolehkan.
Memerintah untuk Membelikan Barang
Ilustrasi jual beli ini hampir mirip dengan jual beli Murabahah atau ia termasuk dalam jual beli Murabahah. Jual beli ini dikenal dengan jual beli Al Aamir Bisy Syiro’. Ulama Syafi’iyah menjelaskan jual beli ini:
“Si A melihat ada suatu barang yang membuat ia tertarik. Ia lalu berkata pada si B: “Tolong belikan barang ini dan engkau boleh mengambil untung dariku, jika aku membelinya.” Lalu si A membeli barang tersebut dari si B. Jual beli dengan bentuk seperti ini boleh dengan keuntungan sesuai yang diinginkan.
Namun catatan yang perlu diperhatikan: Jual beli Al Aamir Bisy Syiro’ tidaklah bersifat mengikat. Jika si A memutuskan ingin membeli dari si B, maka terjadilah jual beli. Jika si A tidak mau setelah menimbang-nimbang, atau melihat kualitas barang yang dibeli si B tidak sesuai keinginan, maka ia boleh membatalkannya.
Realita Murabahah yang Terjadi
Realita yang terjadi di lapangan TIDAKLAH sesuai dengan Murabahah yang dijelaskan dalam Fikih Islam. Praktik Murabahah yang dilakukan pihak bank atau lembaga perkreditan rakyat yang mengatasnamakan syariah jauh dari yang semestinya.
Lihatlah contoh yang dijelaskan oleh para ulama di atas. Seperti dalam contoh terakhir, si B benar-benar telah memiliki barang yang ingin dijual pada si A. Namun realita yang terjadi di bank tidaklah demikian.
Coba lihat ilustrasi Murabahah yang dipraktikkan pihak bank:
Realita yang terjadi ini BUKANLAH Murabahah. Kenyataannya adalah pihak bank meminjamkan uang pada si pemohon sebesar Rp.100 juta untuk membeli mobil di dealer. Lalu si pemohon mencicil hingga Rp.120 juta. Seandainya transaksi dengan pihak bank adalah jual beli, maka mobil tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli, si penjual harus memegang barang tersebut secara sempurna, sebelum dijual pada pihak lain. Simak hadis berikut:
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar berkata:
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah ﷺ membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Mobil tersebut belum berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual barang yang belum ia miliki, atau belum diserah terimakan secara sempurna. Dan realitanya maksud bank adalah meminjamkan uang Rp.100 juta dan dikembalikan 120 juta. Kenyataan ini adalah RIBA karena para ulama sepakat: “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.”
Ilustrasi kedua pun sama. Bank juga menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli, seperti yang diterangkan dalam hadis Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut.
Hukum transaksi ini dirinci:
– Bila akadnya bersifat mengikat (tidak bisa dibatalkan), maka haram karena termasuk menjual sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki.
– Bila akadnya tidak bersifat mengikat (bisa dibatalkan) oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini. Pendapat terkuat, jual beli semacam ini dibolehkan, karena barang sudah berpindah dari penjual pertama kepada bank.
Namun sayangnya, ilustrasi terakhir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk yang mengikat (tidak bisa dibatalkan).
Wallahu a’lam bish showwab.
Alhamdulillah, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, bahasan Murobahah, 36: 318-328.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Simak kajian video berikut berjudul: “JUAL BELI MURABAHAH” yang dibawakan oleh: Al-Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…