JIKA SAKIT, PILIH BEROBAT ATAU SABAR DAN TAWAKKAL?
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
JIKA SAKIT, PILIH BEROBAT ATAU SABAR DAN TAWAKKAL?
Apakah ketika sakit kita tidak perlu berobat, cukup dengan tawakkal dan bersabar? Ataukah tetap mengambil usaha untuk berobat lebih utama?
Pendapat Ulama: Berobat ataukah Sabar?
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berobat. Menurut Jumhur atau Mayoritas Ulama, berobat tidaklah wajib. Sebagian ulama berpendapat wajibnya, jika khawatir tidak berobat, malah diri seseorang binasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Berobat tidaklah wajib menurut Mayoritas Ulama. Yang mewajibkannya hanyalah segelintir ulama saja, sebagaimana yang berpendapat demikian adalah sebagian ulama Syafi’i dan Hambali. Para ulama pun berselisih pendapat manakah yang lebih utama, berobat ataukah sabar. Karena hadis shahih yang menerangkan hal ini dari Ibnu ‘Abbas, tentang budak wanita yang sabar terkena penyakit ayan.” [Majmu’ Al Fatawa, 24: 268]
Ibnu Taimiyah melanjutkan:
“Sekelompok sahabat Nabi dan tabi’in tidak mengambil pilihan untuk berobat. Ada sahabat seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar tidak mau berobat, lantas sahabat lainnya tidak mengingkarinya.” (Idem)
Mengenai Hadis Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan:
“Para ulama berselisih pendapat manakah yang lebih utama, apakah berobat atau meninggalkan berobat lantas lebih memilih untuk bertawakkal pada Allah?” Ada dua pendapat dalam masalah ini. Yang nampak dari pendapat Imam Ahmad adalah lebih afdhal untuk bertawakkal bagi yang kuat. Karena Nabi ﷺ pernah membicarakan ada 70.000 orang dari umatnya yang akan masuk Surga tanpa hisab. Kemudian beliau ﷺ bersabda:
“Mereka itu adalah orang yang tidak beranggapan sial (tathoyyur), tidak meminta diruqyah, tidak meminta dikay (disembuhkan luka dengan besi panas), dan kepada Allah mereka bertawakkal.”
Sedangkan ulama yang lebih memilih pendapat berobat itu lebih utama beralasan dengan keadaan Nabi ﷺ untuk berobat. Yang Nabi ﷺ lakukan tentu suatu hal yang afdhal (utama). Sedangkan mengenai hadis ruqyah yang dikatakan makruh adalah bagi yang dikhawatirkan terjerumus dalam kesyirikan (karena tergantung hatinya pada ruqyah, bukan pada Allah Yang Maha Menyembuhkan, -pen). Dipahami demikian, karena meminta ruqyah tadi dikaitkan dengan meminta dikay dan beranggapan sial, yang semuanya dihukumi terlarang.” [Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 500-501]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Tidak termasuk tercela jika seseorang memilih berobat ke dokter. Karena Nabi ﷺ tidak mengatakan (mengenai 70.000 orang yang masuk Surga tanpa siksa, -pen), “Mereka tidaklah berobat.” Namun yang beliau ﷺ katakan adalah, “Mereka tidak meminta dikay dan tidak meminta diruqyah.”
Masalahnya adalah jika pasien terlalu menggantungkan hatinya pada dokter. Yang jadi problema adalah bila harapan dan rasa khawatirnya hanyalah pada dokter. Inilah yang mengurangi tawakkalnya. Oleh karenanya patut diingatkan, bahwa setiap orang yang pergi berobat ke dokter, hendaklah ia yakini bahwa berobat hanyalah SEBAB, sedangkan yang mendatangkan kesembuhan adalah Allah. Atas kuasa Allah kesembuhan itu datang. Inilah yang harus jadi prinsip seorang Muslim sehingga tidak kurang tawakkalnya pada Allah.” [Fatwa Nur ‘alad Darb, 3: 213]
Mengenai Hadis Wanita yang Terkena Penyakit Ayan
Mengenai hadis yang telah disinggung di atas, yaitu tentang wanita yang terkena penyakit ayan:
Dari ‘Atho’ bin Abi Robaah, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas berkata padanya: “Maukah kutunjukkan wanita yang termasuk penduduk Surga?” ‘Atho menjawab: “Iya mau.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi ﷺ, lantas ia pun berkata: “Aku menderita penyakit ayan dan auratku sering terbuka karenanya. Berdoalah pada Allah untukku.” Nabi ﷺ pun bersabda: “Jika mau sabar, bagimu Surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa pada Allah supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu pun berkata: “Aku memilih bersabar.” Lalu ia berkata pula, “Auratku biasa tersingkap (kala aku terkena ayan). Berdoalah pada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Nabi ﷺ pun berdoa pada Allah untuk wanita tersebut. [HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576].
Hadis di atas hanyalah menunjukkan, bahwa boleh meninggalkan berobat dalam kondisi seperti yang wanita itu alami, yaitu saat ia masih kuat menahan penyakitnya. [Lihat Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 81973]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:
“Hadis tersebut menjelaskan keutamaan orang yang bersabar ketika tertimpa penyakit ayan. Juga terkandung pelajaran, bahwa orang yang bersabar terhadap cobaan dunia, maka itu memudahkannya mendapatkan Surga. Orang yang menahan rasa sakit yang berat lebih utama daripada orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), dengan catatan ini bagi yang mampu menahan. Hadis ini juga menunjukkan boleh memilih tidak berobat. Juga hadis ini menunjukkan, bahwa berobat dari setiap penyakit dengan doa dan menyandarkan diri pada Allah lebih manfaat daripada mengonsumsi berbagai macam obat. Pengaruh doa dan tawakkal pada badan lebih besar daripada pengaruh berbagai macam obat pada badan. Namun doa tersebut bisa bermanfaat jika:
(1) Pasien yang diobati punya niat yang benar,
(2) Orang yang memberi obat, hatinya bertakwa dan benar-benar bertawakkal pada Allah.”
Wallahu a’lam. [Fathul Bari, 10: 115]
Hukum Berobat
Majma’ Al Fiqh Al Islami berpendapat wajibnya berobat bagi orang ,yang jika meninggalkan berobat bisa jadi membinasakan diri, anggota badan atau dirinya jadi lemah, juga bagi orang yang penyakitnya bisa berpindah bahayanya pada orang lain. [Dinukil dari Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 81973]
Rincian paling baik tentang masalah hukum berobat disampaikan oleh Syaikh Sholih Al Munajjid:
1- Berobat jadi wajib jika tidak berobat dapat membinasakan diri orang yang sakit.
2- Berobat disunnahkan jika tidak berobat dapat melemahkan badan. Namun keadaannya tidak seperti yang pertama.
3- Berobat dihukumi mubah (boleh) jika tidak menimpa pada dirinya dua keadaan pertama.
4- Berobat dihukumi makruh jika malah dengan berobat mendapatkan penyakit yang lebih parah. [Lihat Fatawa Syaikh Sholih Al Munajjid no. 2148]
Wallahu a’lam.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
• Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.
• Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh tahun 1432 H.
• Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
• Fatawa Syaikh Sholih Al Munajjid no. 81973: http://islamqa.info/ar/ref/81973
• Fatawa Syaikh Sholih Al Munajjid no. 2148: http://www.islamqa.info/ar/ref/2148