Kebanyakan kita tentu menghendaki agar bisa hidup mapan dan berkecukupan. Kita ingin dapat menghidupi diri sendiri beserta keluarga besok, dan tidak bergantung kepada orang lain. Dan lebih dari itu, mungkin kita menghendaki agar bisa hidup dengan harta melimpah ruah dan tidak sempit rezekinya.
Sebagian orang menjadikan harta dan kekayaan yang dimiliki sebagai standar kebahagiaan hidup. Kita baru merasa tenang dan bahagia ketika bisa hidup dengan serba berkecukupan dengan harta yang melimpah. Hidup terjamin dengan rezeki berupa harta yang senantiasa mengalir tiada henti. Mendapatkan gaji yang mengalir setiap bulannya.
Namun ketahuilah, bahwa ilmu itulah kekayaan yang sesungguhnya. Bahkan ilmu itu lebih baik, lebih berharga, dan lebih mahal daripada harta.
Tanpa ragu lagi, ilmu agama (ilmu syari) itu lebih mulia dan lebih mahal daripada harta, jika ditinjau dari beberapa sisi berikut ini:
Pertama: Ilmu agama adalah warisan para nabi, sedangkan harta adalah warisan orang-orang jahat, orang-orang yang melampaui batas, pelaku dosa besar dan kefasikan (misalnya, Qarun).
Kedua: Ilmu agama itu akan menjaga dan melindungi pemiliknya di dunia dan di Akhirat, sedangkan harta tidaklah bisa melindungi pemiliknya. Bahkan sebaliknya, pemiliknyalah yang harus repot dan tersibukkan menjaga dan memelihara harta tersebut dalam bank atau gudang-gudang penyimpanan.
Ketiga: Ilmu agama yang bermanfaat (al-‘ilmu an-naafi’) tidaklah Allah berikan kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dan bertakwa. Adapun harta, maka Allah memberikannya, baik kepada hamba-Nya yang Muslim ataupun kafir, yang berbuat baik maupun buruk, dan yang saleh ataupun yang jahat.
Keempat: Ilmu agama tidaklah berkurang ketika diinfakkan, diamalkan, atau diajarkan kepada orang lain. Adapun harta, dia akan berkurang dengan diberikan kepada orang lain [kecuali jika harta tersebut diinfakkan dalam bentuk sedekah jariyah].
Kelima: Ilmu agama akan memberikan manfaat kepada pemiliknya meskipun sudah meninggal dunia. Adapun harta, maka hartanya tidak ikut masuk ke dalam kubur pemiliknya ketika meninggal dunia [kecuali jika harta tersebut diinfakkan dalam bentuk sedekah jariyah].
Keenam: Pemilik ilmu agama tetap diingat-ingat dan disebut-sebut di antara manusia meskipun telah meninggal. Adapun pemilik harta, apabila telah meninggal, dia tidak lagi disebut-sebut namanya. Hal ini jika dia selamat dari cacian, celaan, dan makian orang-orang karena kebakhilannya.
Ketujuh: Pemilik ilmu syari akan diberi pahala dan diberi balasan, karena setiap masalah yang dia pelajari karena Allah, yang dia ajarkan kepada manusia, atau yang dia amalkan. Adapun pemilik harta, maka dia akan ditanya:
• Dari mana hartanya diperoleh?, dan
• Ke mana hartanya diinfakkan?
Kedelapan: Ilmu itu sebagai hakim bagi harta, dan harta itu diadili oleh ilmu, sebagaimana dalam zakat, warisan, dan nafkah. Namun tidak sebaliknya.
Kesembilan: Pemilik ilmu itu akan bertambah rasa takutnya kepada Allah, dan akan diangkat derajatnya di sisi Allah ﷻ setiap kali bertambah ilmu agama pada dirinya. Adapun pemilik harta, setiap kali bertambah hartanya, maka akan semakin bertambahlah pula kejahatan dan kesesatannya, serta semakin menjauh dari Allah, kecuali sedikit di antara mereka yang mendapatkan taufik dari Allah taala. [Lihat Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syari, hal. 229-230]