بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#DakwahSunnah
HUKUM PEJABAT DAN PEGAWAI BAWAHANNYA MENERIMA UANG TIPS DAN HADIAH KHIANAT
>> Tidak Selamanya Hadiah itu Halal
>> Terlarangnya Hadiah Bagi Pejabat dan Pegawai Bawahannya
Segala puji bagi Allah, Rabb se mesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Seringnya kita lihat di hari raya, tumpukan parsel dan bingkisan hari raya hadir di rumah pejabat. Lebih-lebih lagi jika ia pejabat tinggi. Seandainya pejabat tersebut bukanlah pejabat, tentu ia tidak akan mendapat hadiah atau parsel istimewa semacam itu. Hadiah ini diberikan karena ia adalah pejabat. Bagaimana status hadiah semacam ini? Pembahasan ini sebenarnya sudah dibahas oleh Nabi ﷺ dalam beberapa hadis. Simak dalam tulisan berikut ini:
Hadis Hadayal ‘Ummal
Di dalam Shohih Bukhari yang sudah kita kenal, dibawakan bab ‘Hadayal ‘Ummal’. Begitu pula dalam Shohih Muslim, An Nawawi rahimahullah membawakan bab ‘Tahrimu Hadayal ‘Ummal (Diharamkannya Hadayal ‘Ummal)’.
Hadaya berarti hadiah, bentuk plural dari kata hadiyah. Sedangkan ‘Ummal berarti pekerja, bentuk plural (jamak) dari kata ‘aamil.
Dalam kedua kitab shahih tersebut dibawakan hadis berikut, dan ini adalah lafal dari Bukhari:
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar ‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan:
Pernah Nabi ﷺ memekerjakan seseorang dari Bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan: “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi ﷺ berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar’-, beliau ﷺ memuja dan memuji Allah kemudian bersabda:
مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
“Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan: “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi, melainkan ia akan datang dengannya pada Hari Kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.”
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan: ”Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” (beliau ﷺ mengulang-ulanginya tiga kali). [HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832]
Ada hadis pula dari Abu Humaid As Sa’idiy. Rasulullah ﷺ bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat).” [HR. Ahmad 5/424. Syaikh Al Albani menshahihkan hadis ini sebagaimana disebutkan dalam Irwa’ul Gholil no. 2622]
Keterangan Ulama
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan: “Para ulama tidak berselisih pendapat mengenai TERLARANGNYA hadiah bagi pejabat.” [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28]
Ibnu Habib menjelaskan: “Para ulama tidaklah berselisih pendapat tentang terlarangnya hadiah yang diberikan kepada penguasa, hakim, pekerja (bawahan) dan penarik pajak.” Demikianlah pendapat Imam Malik dan ulama Ahlus Sunnah sebelumnya. [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28]
Dari sini menunjukkan, bahwa hadiah yang terlarang tadi tidak khusus bagi hakim saja, tetapi bagi pejabat dan yang menjadi bawahan pun demikian.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan: “Adapun hadis Abu Humaid, maka di sana Nabi ﷺ menjelek-jelekkan Ibnul Lutbiyyah yang menerima hadiah yang dihadiahkan kepadanya. Padahal kala itu dia adalah seorang pekerja saja (ia pun sudah diberi jatah upah oleh atasannya, pen).” [Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 5/221]
An Nawawi rahimahullah mengatakan: “Dalam hadis Abu Humaid terdapat penjelasan, bahwa Hadayal ‘Ummal (Hadiah untuk pekerja) adalah HARAM dan GHULUL (khianat). Karena uang seperti ini termasuk PENGKHIANATAN DALAM PEKERJAAN DAN AMANAH. Oleh karena itu, dalam hadis di atas disebutkan mengenai hukuman, yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh pada Hari Kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat.
Dan beliau ﷺ sendiri telah menjelaskan dalam hadis tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih KARENA SEBAB PEKERJAAN. Berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab pekerjaan. Hadiah yang kedua ini adalah hadiah yang dianjurkan (mustahab). Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan mengenai hukum pekerja yang diberi semacam ini dengan disebut hadiah. Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak mungkin, maka diserahkan ke Baitul Mal (Kas Negara).” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392, 12/219]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan:
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan), yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang BERKAITAN DENGAN PEKERJAANNYA. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini TIDAK boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi, walaupun dia menganggapnya baik.”
Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi: “Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadis tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai, jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia MENGEMBALIKAN hadiah tersebut. Hadiah semacam ini TIDAK boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, sedekah, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya, sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.” [Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232]
Mengapa Dikatakan Khianat?
Hadiah bagi pekerja atau pejabat yang di mana hadiah tersebut berkaitan dengan pekerjaannya (seandainya ia bukan pejabat, tentu saja tidak akan diberi parsel atau hadiah semacam itu), ini bisa dikatakan khianat, dapat kita lihat dalam penjelasan berikut ini. Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan:
“Nabi ﷺ pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui, bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi ﷺ adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang. Berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi ﷺ sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap: “Bagi Nabi ﷺ bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau ﷺ mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.” [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28]
Kami rasa sudah jelas mengapa hadiah semacam parsel bagi pejabat dan uang tips bagi karyawan yang kaitannya dengan pekerjaannya, itu dikatakan khianat. Jelas sekali, bahwa uang tips atau hadiah semacamm tadi diberikan karena KAITANNYA dengan PEKERJAAN DIA SEBAGAI PEJABAT, KARYAWAN atau PEKERJA. Seandainya bukan demikian, tentu ia tidak diberikan hadiah semacam itu. Seandainya ia hanya duduk-duduk di rumahnya, bukan sebagai pekerja atau pejabat, tentu ia tidak mendapatkan bingkisan istimewa seperti parsel dan uang tips tadi. Inilah yang namanya khianat, karena ia telah mengkhianati atasannya. Inilah jalan menuju suap yang sesungguhnya. Inilah suap terselubung. Orang yang memberi hadiah semacam tadi, tidak menutup kemungkinan ia punya maksud tertentu. Barangkali ia berikan hadiah, agar jika ingin mengurus apa-apa lewat pejabat akan semakin mudah, semakin cepat di-ACC dan sebagainya. Inilah sekali lagi suap terselubung di balik pemberian bingkisan.
Tidak Selamanya Hadiah itu Halal
Perlu diketahui, bahwa tidak semua hadiah itu halal, atau tidak dalam setiap kondisi kita saling memberikan hadiah satu sama lain. Nabi ﷺ benar bersabda:
وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan timbul rasa cinta di antara kalian.” [HR. Malik secara Mursal.]
Benar sabda di atas. Namun ada beberapa kondisi halalnya hadiah atau tidak, sebagaimana dapat dilihat dalam rincian berikut:
Mengembalikan Hadiah Khianat
Seorang hakim dan pejabat WAJIB MEMULANGKAN hadiah kepada orang yang memberikannya. Jika hadiah tersebut telah dikomsumsi, maka wajib diganti dengan barang yang serupa.
Jika yang memberi hadiah tidak diketahui keberadaannya, atau diketahui namun memulangkan hadiah adalah suatu yang tidak mungkin karena posisinya yang terlalu jauh, maka barang tersebut hendaknya dinilai sebagai barang temuan (luqothoh) dan diletakkan di Baitul Maal.
Pemberian hadiah kepada seorang hakim itu karena posisinya sebagai hakim, sehingga hadiah tersebut merupakan hak masyarakat umum. Oleh karena itu, wajib diletakkan di Baitul Maal, yang memang dimaksudkan untuk kepentingan umum. Namun status barang ini di Baitul Maal adalah barang temuan. Artinya, jika yang punya sudah diketahui, maka barang tersebut akan diserahkan kepada pemiliknya.
Jika seorang hakim atau pejabat berkeyakinan, bahwa menolak hadiah yang diberikan oleh orang yang punya hubungan baik dengannya itu menyebabkan orang tersebut tersakiti, maka hakim boleh menerima hadiah tersebut, asalkan setelah menyerahkan uang senilai barang tersebut kepada orang yang memberi hadiah. [Faidah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar pada link: http://ustadzaris.com/hadiah-untuk-pejabat]
Itu tadi hadiah bagi hakim dan pejabat yang bekerja di bawah pemerintahan. Bagaimana dengan hadiah bagi bawahan dari perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan? Artinya ia dapat hadiah dari orang lain karena status dia sebagai pekerja di perusahaan tersebut. Hadiah tersebut harus dikembalikan kepada atasannya atau bosnya. Terserah di situ, bosnya rida ataukah tidak. Jika bosnya rida kalau hadiah itu untuk bawahannya, maka silakan ia gunakan.
Wallahu a’lam bish showab.
Semoga para pembaca diberi kemudahan untuk memahami hal ini. Semoga sajian ini bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[Artikel www.rumaysho.com]
Sumber: https://rumaysho.com/1267-uang-tips-dan-hadiah-khianat.html
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…