Adalah pertanyaan yang sensitif bagi pasangan suami istri, tatkala seorang pria meminta izin kepada pasangannya untuk menikah lagi. Sebagian istri tatkala mendengar kata Poligami, seolah tersambar petir, seolah bom waktu akan meledak di rumahnya, seolah kehidupan dia segera berakhir.
Kecuali yang Allah taala kecualikan dari hamba-Nya dengan taufik-Nya untuk menerima syariat tersebut, bahkan memraktikkan amalan tersebut.
Definisi Poligami
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak (suami) memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri. Adapun perkawinan yang istri memiliki banyak suami dalam waktu bersamaan bukanlah ajaran Islam. Dan bahkan menyelisihi fitrah yang sehat. Demikian pula yang tidak termasuk kategori Poligami dalam Islam seperti nikah Mutah (kawin kontrak) yang telah dilarang Rasulullah ﷺ pada tahun khaibar dan kawin dengan hubungan perzinahan, dan atau tukar pasangan dengan suami/istri orang lain.
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS. An-Nur: 3]
Syaikh Ibnu Baz berpendapat, bahwa asalnya bagi Kaum Adam adalah berpoligami bagi yang mampu, adil, dan jika tidak dikhawatirkan terjatuh dalam kezaliman.
Hukum Poligami
Allah ﷻ menghalalkan hamba-Nya dari Kaum Adam untuk memiliki istri lebih dari satu, dan syariat melarang Kaum Adam untuk beristri lebih dari empat. Adapun Rasulullah ﷺ dengan sebelas istri dan meninggal dua istrinya di masa hidupnya (sehingga tersisa sembilan), ini adalah kekhususan beliau ﷺ dari Allah ﷻ, yang TIDAK diperbolehkan untuk umatnya.
Maka sepantasnya kita berhati-hati dengan pemikiran/peraturan orang kuffar yang mengharamkan Poligami. Karena akidah pengharaman sesuatu yang Allah ﷻ halalkan bagi hamba-Nya adalah termasuk bentuk kemurtadan, yang bisa mengeluarkan seorang Muslim dari keislamannya.
Ada silang pendapat hukum Poligami berputar sekitar Mubah (boleh), Sunnah Mustahabbah, dan Wajib. Sebagian ulama berpendapat sesuai dengan keadaan, yaitu hukumnya menjadi wajib jika dengan satu istri tidak bisa menjaga kesucian dia, dan dikhawatirkan terjatuh dalam perkara haram, seperti perzinahan. Haram hukumnya bila tujuan niatannya adalah untuk menzalimi istri pertamanya.
Maka kebijakan untuk berpoligami kembali kepada masing-masing individu dengan melihat pertimbangan maslahat (kebaikan) dan madharrat (bahaya), melihat kemampuan sesuai rambu dan syarat-syaratnya.
Ragam Manusia dan Responnya Terkait Dengan Ilmu Syariat Poligami
Syariat yang haq selalu berada di tengah, berada di antara dua kubu manusia yang berseberangan, antara ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Demikian pula syariat Poligami: Yang tergolong ekstrem kiri adalah seperti mereka yang ingkari syariat Poligami, sedangkan ekstrem kanan adalah seperti mereka yang ghuluw (berlebihan) terhadap syariat Poligami hingga menikah lebih dari empat istri dalam waktu bersamaan misalnya.
Manusia terbagi menjadi empat macam terkait hal Poligami:
1.) Tahu ilmunya, mengimani syariat Poligami, dan mengamalkannya.
Jenis pertama ini tentunya membutuhkan hidayah dan taufik dari Allah ﷻ untuk menjalankan dan mengamalkannya.
2.) Mengetahuinya atau mengilmuinya, mengimaninya, tapi enggan atau tidak mau mengamalkannya karena berbagai pertimbangan dan sebab.
Kenapa mereka tidak mau melakukannya?
a. Dari Kaum Hawa
Mayoritasnya mereka adalah tidak mau dimadu atau diduakan. Dengan beraneka argument, takut kesetiaan dan cinta suami berkurang, ditampakkan kemiskinan di depan matanya dengan berlogika semakin banyak orang yang dinafkahi oleh suaminya, takut sering terjadi pertengkaran antara istri, takut ketidakadilan, malu dengan cemoohan orang, cemburu dengan istri barunya, dst.
Dan sifat pencemburu adalah fitrahnya wanita, jangan kita mencelanya. Adapun mereka yang siap dan rela dipoligami adalah yang mampu menundukkan fitrah dan egonya di bawah syariat Allah ﷻ dalam berpoligami, dengan taufik-Nya.
Banyak juga didapati Kaum Hawa yang terlanjur dipoligami dalam keadaan merasa terpaksa, atau suami terlanjur menikah lagi tanpa dengan sepengetahuan istri, tapi dengan tetap memertahankan rumah tangganya. Tentunya ‘ajr (pahala) nya tidak seperti istri yang ikhlas (dari awal) dalam menjalankan syariat Poligami. Juga banyak istri yang minta Khuluq (cerai) setelah dipoligami, sedangkan perbuatan seperti ini termasuk alasan permintaan khuluq (cerai) yang tidak syari, dan tidak perlu dikabulkan sang suami. Bahkan lebih dari itu, karena perbuatan tersebut termasuk dosa besar, dan ada ancamannya di Akhirat. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
((أيما امرأة سألت زوجها طلاقها من غير بأس فحرام عليها رائحة الجنة))
“Perempuan manapun yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau Surga.” [HR. Ibnu Majah 2055, Abu Daud 2226 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan Shahih Abi Daud]
Kecuali jika ada alasan syari seperti suami suka berzina, suka meninggalkan salat, pemabuk, melakukan kekerasan-penyiksaan pada istri dan anak, tidak menafkahi keluarganya, impotensi yang kronis dan sebagainya. Dan sangat sedikit dari Kaum Hawa yang siap, rela dan rida untuk dimadu, dipoligami.
b. Dari Kaum Adam
Sedikit sekali dari Kaum Adam yang mengingkari syariat ini, walaupun kenyataannya juga masih sedikit persentase dari mereka Kaum Adam yang menerapkannya. Sebagiannya dengan argumen merasa cukup dengan satu istri, tidak mau, atau takut bermasalah dengan istri sebelumnya atau mertua, kekhawatiran dengan kurangnya sandang-pangan, anaknya yang tidak setuju, sibuk dengan kerjanya, dan tidak bisa meluangkan waktu untuk lebih dari satu istri, dst.
Sebagian Kaum Adam mencuat semangat Poligaminya karena:
1. Faktor Eksternal Rumah
Seiring semakin dahsyatnya pemandangan luar dengan fitnah wanita di zaman sekarang yang hakikatnya mereka berpakaian tapi telanjang (Seperti pakaian mini, ketat, transparan).
2. Faktor Internal Rumah
Dominan pada istrinya, seperti istri mandul, lemah syahwat, kurangnya kepedulian istrinya dari urusan rahasia ranjang suaminya, kekecewaan urusan rumah sebagai ibu rumah tangga, tidak taatnya istri, buruknya layanan kehidupan suami dan anak-anaknya, tipe istri sombong, pemarah dan atau yang tidak mensyukuri suami, dst. Akan tetapi suami juga tidak boleh egois, banyak tuntutan dan mencela keterbatasan istrinya.
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku.” [HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhiallahu ’anhuma, Shahih Ibni Majah: 1608]
Dari seorang Tabi’in Al-Aswad rahimahullah berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ – تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَة
“Aku pernah bertanya kepada Aisyah: Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah ﷺ di rumahnya? Aisyah berkata: Beliau membantu pekerjaan istrinya. Maka apabila telah masuk waktu salat, beliau keluar untuk salat.” [HR. Al-Bukhari]
Harus memahami betapa beratnya beban tugas ibu rumah tangga, dan sebisa suami untuk meringankannya. Dan hakikatnya ada keinginan besar bagi Kaum Adam untuk mewujudkan Poligami, dan demikianlah fitrah mereka.
Sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ, Kaum Adam terdahulu sudah terbiasa dengan Poligami, termasuk Yahudi dan Nasrani. Sungguh salah tuduhan orang-orang Nashara yang mengolok-olok Nabi Muhammad ﷺ sebagai Nabi pencinta wanita, beristri banyak.
Mereka para penghujat yang tidak tahu para pendahulunya, dan bahkan dengan fatwa pengharaman mereka dengan Poligami menyebabkan mereka sendiri terjerumus dalam seks bebas dan liar. Dan bahkan sebagian para Nabi, seperti Sulaiman alaihis salam memiliki 1000 istri, 700 istri adalah dari kalangan merdeka, dan 300 dari kalangan budak. Disebutkan Imam Al-Bukhari dalam shahihnya, bahwa Nabi Sulaiman alaihissalam mengelilingi 100 istrinya dalam satu malam.
Ini menunjukkan bahwa syariat agama Islam adalah rahmah, indah dan memudahkan urusan umatnya.
3. Tidak mengetahui adanya syariat Poligami dalam Islam, tapi dia melakukan Poligami di atas fitrahnya saja.
4. Tidak mengetahui syariat Poligami dan tidak mengamalkannya.
Dua poin terakhir bukanlah perkara mustahil bagi seseorang yang terjauhkan dari ilmu syariat Islam, baik karena sebab jauhnya dari lingkungan atau fasilitas ilmu, dan atau karena kedangkalan pemahaman individu.
Menikah Lagi Tanpa Sepengetahuan Istri
Pertanyaan:
Apakah berdosa orang yang berpoligami tanpa sepengetahuan istri yang sebelumnya? Tanpa seizin istrinya?
Jawaban:
Dia tidak berdosa, dan tidak perlu izin istri pertamanya.
Dan Poligami ini adalah syariat Allah ﷻ yang dihalalkan untuk umatnya, dan bukanlah syariat buatan istri. Dan tidak ada dalil penjelasan dalam syariat Islam dalam berpoligami membutuhkan rekomendasi dari istri.
Hikmah Dibalik Poligami
Setiap hukum Allah ﷻ ada padanya hikmah, tetapi kita beribadah bukanlah semata untuk mencari hikmah. Dan segala bentuk ibadah hanyalah untuk Allah ﷻ semata.
Di antara hikmah Poligami adalah;
1. Memerbanyak keturunan dan umat Islam.
Dan yang demikian adalah kebanggaan Rasulullah ﷺ di Hari Kiamat, sebagaimana sabdanya:
((تزوجوا الودود والولود فإني مكاثر بكم الأمم))
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatku.” [HR. An-Nasa’i, Abu Daud. Dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih]
2. Tetap menjaga kesucian suaminya, dan lebih menjaga pandangannya dan kemaluannya tatkala istri pertamanya haid, nifas, atau sakit, sehingga tidak terhalang dari pelampiasan nafsunya ke ladang lainnya yang Allah ﷻ halalkan. Terlebih suami yang mempunyai syahwat tinggi yang dikhawatirkan terjatuh dalam perbuatan haram.
3. Kita pada zaman dengan kuantitas kaum wanita lebih banyak dari kaum pria, sehingga menikah Poligami berarti menyelamatkan dan melindungi kesucian mereka dari fitnah dan liarnya dunia. Terlebih di zaman banyak fitnah sekarang, banyak didapati kaum wanita yang sudah teracuni fitrahnya, kesuciannya, mereka karena media Televisi atau Media Sosial seperti hape, Facebook dan semisalnya. Berimbas pada busana pakaian tapi telanjang, cuek dengan nasihat dan pendidikan agama, perubahan akhlak, hingga pergaulan bebas. Naudzubillahi min dzalikas syar.
Tidak terlepas dari keteledoran orang tua terhadap pengawasan putrinya. Tidaklah ada keharusan menikahi bikr (perawan); sehingga bisa menolong dan mengentaskan kesusahan para janda dengan atau tanpa anak.
4. Saling ta’awun (menolong) antara istri. Jika satunya sakit, maka yang lainnya bisa merawatnya dan menopang tugas-tugasnya dari urusan rumahnya dan anaknya. Sedangkan suami tetap sibuk kerja.
Terlebih jika istri pertamanya mandul atau lemah untuk memberi banyak keturunan suaminya, maka istri yang lainnya bisa membantu menutupi perkara tersebut, bi idznillah.
(Dan faidah ini terkait dengan poin pertama).
Tadabbur Kenyataan Antara Kaum Hawa dan Kaum Adam
Mayoritas manusia yang meninggal dengan umur lebih pendek adalah jenis kelamin atau kaum laki-laki, sedang kaum wanita lebih panjang umurnya. Persentase angka kelahiran dengan jenis kelamin perempuan adalah lebih tinggi dibanding laki-laki. Intinya jumlah laki-laki dibanding wanita bisa kisaran 1: 9 atau bahkan lebih dari itu. Adapun di masa munculnya Dajjal adalah 1: 50 sebagaimana hadis:
إن من اشراط الساعة ان يرفع العلم ويظهر الجهل ويفشو الزنا ويشرب الخمر ويذهب الرجال وتبقى النساء حتى يكون لخمسين امراة قيم واحد.رواه الشيخان عن انس
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda datangnya Kiamat (besar) adalah dengan diangkat ilmu, kebodohan bermunculan, perzinahan tersebar, Khamr (minuman keras) banyak diminum, laki-laki banyak yang wafat dan menyisakan banyak wanita, hingga lima puluh wanita hanya berbanding satu laki-laki”. [HR. Bukhari dan Muslim dari Anas Bin Malik].
Hendaknya kaum pria memahami kebutuhan kaum wanita dari kalangan janda yang membutuhkan pendamping barunya, sekaligus yang mengayomi baginya dan anak-anaknya. Perlu disadari bahwa mereka tidak seperti kaum laki dalam mencari mata pencaharian, penjagaan dirinya dan anaknya dst.
Hendaknya kaum wanita juga jangan egois dengan membiarkan saudari-saudarinya yang menjanda hidup dalam kesusahan, beratnya perasaannya menanggung hidup dirinya dan anak-anaknya. Jangan pula Anda larang suami Anda yang ingin membantu mereka dengan cara berpoligami. Jangan jadikan Poligami boomerang, dan ketakutan sebagai perusak kehidupan rumah tangga Anda.
Demikianlah senjata terbesar setan untuk menakuti-nakuti mereka hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana firman-Nya:
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan, dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir). Sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.” [QS. Al-Baqarah: 268]
Perbendaharaan yang Seyogyanya Dimiliki Orang yang Hendak Berpoligami
Poligami bukanlah perkara yang mudah. Dan bukan hanya semata sebagai media pelampias syahwat kaum pria. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dipikul dari resiko dan konsekuensinya. Bukanlah Poligami sebagai suatu percobaan, sehingga tatkala belum mampu melakukannya kemudian menceraikannya. Tidaklah Poligami sebagai wujud pamer kebanggaan, kekayaan dan keperkasaan. Dan bukan bahan olokan bagi yang belum mampu Poligami.
Banyak orang yang belum faqih memahami fikih Poligami, sehingga banyak terjatuh dalam perkara perceraian, kekerasan dan penganiayaan, penelantaran anak, dsb. Oleh karena itu, berilmulah sebelum beramal. Sebelum berpoligami hendaklah belajar fikih Poligami, hak-hak dan kewajiban istri yang dipoligami, dst. Karena hakikat terwujudnya keluarga Poligami yang sakinah, mawaddah, warahmah adalah dengan ilmu an-nafi’ (ilmu agama yang bermanfaat, yang diamalkan).
Maka perlu untuk memerhatikan beberapa syarat atau rambu-rambu yang perlu dipertimbangkan sebelum beranjak dari Monogami ke tahap Poligami, sehingga tidak terjatuh dalam perkara kezaliman. Di antaranya adalah:
1.)
القدرة المالية
(Kemampuan Harta)
Kemampuan seseorang untuk membayar mahar dan nafkah untuk istri keduanya. Perkara ini bukanlah mutlak. Tapi dengan tetap mengambil sebab bertambahnya rezeki dan bertawakkal. Allah ﷻ tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang beriman dan yang berbuat baik.
2.)
القدرة البدنية
(Kemampuan Jasmani)
Yaitu memiliki syahwat dan mampu menunaikan kewajibannya sebagai suami yang beristri banyak. Maka lelaki yang impotensi tidak layak berpoligami, karena tidak bisa menunaikan urusan ranjang istri-istrinya. Sehingga merupakan bentuk kezaliman.
3.)
القدرة على العدل
(Kemampuan Berbuat Adil)
Mampu melihat, menimbang dirinya, apakah termasuk yang mampu berbuat adil antara istrinya yang ada dengan istrinya yang baru. Jika dia khawatir atas dirinya untuk tidak bisa berbuat adil, maka cukupkanlah dengan satu istri. Sebagaimana firman-Nya:
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً}
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” [QS. An-Nisa: 3]
Dan firman-Nya:
{ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا}
“Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS. An-Nisa: 3]
Adil terbagi menjadi dua:
1. Maknawi, yaitu adil qalby (hati). Ini adalah perkara yang sulit, dan syariat tidak membebani dengan adil jenis pertama ini (adil hati).
2. Hissi, yaitu yang nyata dan bisa dirasakan.
Ini meliputi adil dalam empat hal:
a. Tempat tinggal: Masing-masing istri disediakan tempat tinggal. Sebagian ulama menjadikan poin tinggal terpisah adalah juga termasuk perkara syarat Poligami.
b. Nafkah: Masing-masing istri dinafkahi setiap harinya.
c. Pakaian: Termasuk sandal, sepatu dan semisalnya.
d. Mabit: Yaitu membagi waktu bermalamnya di sisi istri-istrinya dengan adil.
Maka yang tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam hal tersebut di atas, dikhawatirkan masuk dalam kategori di bawah ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis sunan At-Tirmidzi:
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua istri namun tidak berlaku adil di antara keduanya, pada Hari Kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” [Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadis ini shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim]
Adapun adil yang berwujud rasa cinta (adil hati) yang condong kepada salah satu istrinya adalah tidak termasuk kemampuan hamba-Nya, dan tidak termasuk kewajiban hamba-Nya. Dan hati itu ada di tangan Allah ﷻ. Allah ﷻyang mengaturnya, dan membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya.
Akan tetapi seorang hamba wajib menegakkan keadilan semampunya yang dia bisa. [Mauqi’ Syeikh Ibnu ‘Utsaimin Nuurun ‘Alad Darb, kaset 271]
4.)
الصبر
(Sabar)
Yaitu bersabar dengan segala problematika rintangan Poligami. Tidak cepat marah, dan tidak tergesa memutuskan perkara, terlebih masalah perceraian. [Fatawa Syeikh Ibnu ‘Utsaimin Nuurun ‘Alad darbi, kaset 271]
Sebagian ulama ada yang menambah dua poin dari syarat Poligami:
5.)
الصدر الواسع
(Berdada Lebar)
Yaitu legowo; berdada lebar menghadapi khilaf (perbedaan) dalam masalah dan pendapat antara masing-masing istri.
Jika tidak dimiliki sifat ini; suami akan merasa sesak dada. Akan didapati sifat suami yang sering murung, mengeluh, menyesali Poligaminya dan keinginan untuk mengakhirinya.
6.)
السكن مستقل
(Tempat Tinggal Terpisah)
Hingga Rasulullah ﷺ digelari dengan “Ashabul Hujurat”, karena mempunyai sembilan istri, dengan kamar-kamarnya yang terpisah.
7.)
الرضا من الزوجة
(Keridaan Dari Istri)
Adapun ridanya istri tidak termasuk dalam syarat-syarat Poligami, dan syariat tidak menyebutkan perihal tersebut. Walaupun demikian akan tetapi jika istri meridai maka akan lebih baik.
Perkataan ahli hikmah:
رضا الناس غاية لا تُدرك
ورضا الله غاية لا تُترك
فاترك ما لا يُدرك
وأدرك ما لا يُترك
“Rida manusia merupakan tujuan yang tidak bisa diraih, sedangkan rida Allah merupakan tujuan yang tidak boleh ditinggalkan.
Maka tinggalkanlah apa yang tidak bisa diraih, dan raihlah apa yang tidak boleh ditinggalkan.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata kepada muridnya Rabi bin Sulaiman rahimahullah, yang diabadikan dalam kitab ‘Hilyatul Auliya’:
يا ربيع، رضا الناس غاية لا تدرك، فعليك بما يصلحك فالزمه، فإنه لا سبيل إلى رضاهم
“Wahai Rabi’, Rida manusia merupakan tujuan yang tidak bisa diraih. Maka hendaknya engkau mencari perkara yang baik bagimu, lanjutkanlah perkara tersebut, karena sungguh tidak ada cara untuk meraih rida manusia.”