بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
HUKUM MENABUH BEDUG DAN REBANA
• Apa hukum mendengarkan tabuhan Duff (rebana) dan Thabl (bedug, drum, genderang) dalam beberapa acara?
• Apa perbedaan antara keduanya?
• Apakah ada perbedaan hukum antara menabuh dan mendengarkan rebana?
• Apakah ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini?
• Lalu apa hukumnya jika mendengarkan dari kaset?
Kami mohon jawaban terperinci mengenai hal ini, karena banyaknya pembicaraan dalam hal ini, dan banyak opini yang berbeda-beda.
Syaikh Alwi bin Abdul Qadir As Segaf hafizhahullah menjawab:
Hukum asal bagi seluruh jenis alat musik adalah HARAM, baik mendengarkan atau memainkannya, baik laki-laki maupun wanita. Berdasarkan hadis Marfu, dari Abu Malik Al Asy’ari radhiallahu’anhu:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ
“Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutra, khamr, dan ma’azif (alat musik)” [HR. Bukhari secara Mu’allaq dengan shighah jazm]
Juga hadis Amir bin Sa’ad Al Bajali, ia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ، وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، فِي عُرْسٍ، وَإِذَا جَوَارٍ يُغَنِّينَ، فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ؟ فَقَالَ: اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ، قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ
“Aku datang ke sebuah acara pernikahan bersama Qurazah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud Al Anshari. Di sana para budak wanita bernyanyi. Aku pun berkata: ‘Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah ﷺ dan juga Ahlul Badr. Engkau membiarkan ini semua terjadi di hadapan kalian?’ Mereka berkata: ‘Duduklah jika engkau mau dan dengarlah nyanyian bersama kami. Kalau engkau tidak mau, maka pergilah. Sesungguhnya kita diberi rukhshah untuk mendengarkan Al Lahwu dalam pesta pernikahan’” [HR. Ibnu Maajah 3383, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah]
Yang namanya rukhshah (keringanan), tidak akan ada, jika tidak ada larangan atau pengharaman.
Duff dan Thabl tanpa diragukan lagi termasuk alat musik. Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadis Wal Atsar berkata:
العزف: اللعب بالمعازف وهي الدفوف وغيرها مما يضرب به
“Al ‘Azaf adalah memainkan alat musik semisal Duff dan semacamnya yang ditabuh.”
Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata:
وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان
“Alat musik berupa Yaraa’, Duff, Sitar, ‘Idaan”
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata:
وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به
“Dalam kitab Al Hawasyi karya Ad Dimyathi, Al Ma’azif maknanya Duff dan sejenisnya yang ditabuh.”
Oleh karena itu, Duff dan Thabl baik secara bahasa maupun secara syari termasuk ma’azif yang dilarang dalam hadis.
Perbedaan antara Duff dan Thabl, yang rajih, Duff biasanya terbuka satu sisinya dan tidak memiliki jalajil. Sedangkan Thabl biasanya tertutup kedua sisinya. Ibnu Hajar berkata:
الدف الذي لا جلاجل فيه فإن كانت فيه جلاجل فهو المزهر
“Duff itu yang tidak memiliki jalajil. Jika ada jalajil-nya, maka itu mizhar” [Fathul Baari, 2/440]
Jika kita sudah memahami hukum asal dalam hal ini, ketahuilah, bahwa ada beberapa riwayat yang mengecualikannya, yaitu membolehkan memainkan Duff hanya bagi wanita dan anak kecil saja. Sedangkan bagi laki-laki, tetap pada hukum asalnya, yaitu haram. Tidak ada hadis dari Nabi ﷺ ataupun atsar dari sahabat Nabi atau tabi’in, bahwa mereka menabuh rebana atau memainkan rebana di depan orang lain.
Selain itu, yang lebih menguatkan, bahwa hukum asal memainkan Duff haram adalah persetujuan Nabi ﷺ terhadap Abu Bakar Ash Shiddiq ketika ia menyifati Duff sebagai seruling setan, yaitu ketika ia mendengar permainan Duff tersebut dari anak-anak perempuan. Penyifatan tersebut tidak mungkin terjadi, kecuali dihasilkan dari pengetahuan Abu Bakar, bahwa alat musik secara umum itu haram, termasuk Duff. Hanya saja ketika itu Nabi ﷺ menjelaskan bahwa Duff itu dibolehkan khusus bagi anak-anak perempuan di hari Id. Bahkan, Nabi ﷺ sendiri menisbatkan Duff kepada setan. Beliau ﷺ bersabda:
إن الشيطان ليخاف منك يا عمر
“Sungguh setan itu akan takut kepadamu, wahai Umar.”
Ini ketika ada budak wanita menabuh rebana, lalu datang Umar bin Khattab radhiallahu’anhu. Andai hukumnya mubah, tentu beliau tidak akan menisbatkan hal itu dengan setan. Adapun hadis-hadis yang diriwayatkan dalam bentuk lafal jama’, semisal hadis ‘Aisyah Radhiallahu’anha, yang terdapat lafal:
“Mainkanlah Duff untuknya (Rasulullah)”
Juga hadis Mu’adz Radhiallahu’anhu, yang terdapat lafal:
“Mainkanlah Duff di atas kepada sahabatmu”
Atau hadis Anas Radhiallahu’anhu, yang terdapat lafal:
“Mainkanlah Duff di atas kepada sahabatmu”
Ini semua hadis-hadis yang Dhaif, tidak bisa menjadi hujjah.
Menabuh Rebana Yang Dibolehkan
Jika demikian jelaslah, bahwa memainkan Duff dibolehkan hanya untuk wanita dan anak kecil saja. Dan setelah menelusuri hadis-hadis yang membolehkan permainan Duff bagi wanita dan anak kecil, semuanya tidak lepas dari dua keadaan, pesta pernikahan dan hari raya. Ada satu keadaan lagi yang diperselisihkan para ulama, dan akan kami bahas secara rinci, yaitu ketika menyambut kedatangan seseorang.
Di antara hadis yang membolehkan permainan Duff di saat pesta pernikahan adalah hadis Ar Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu’anha, ia berkata:
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم غداة بُنِيَ عَلَيَّ فجلس على فراشي كمجلسك مني وجويريات يضربن بالدف
“Nabi ﷺ datang ketika acara pernikahanku. Maka beliau duduk di atas tempat tidurku seperti duduknya engkau (Khalid bin Dzakwaan) dariku. Datanglah beberapa anak perempuan yang memainkan/ memukul Duff” [HR. Bukhari 4001]
Sedangkan hadis yang menunjukkan kebolehan ketika hari raya adalah hadis ‘Aisyah:
أن أبا بكر رضي الله عنهما دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى
“Abu Bakar radhiallaahu’anhuma masuk menemui ’Aisyah. Di sampingnya terdapat dua anak perempuan, di hari Mina, yang menabuh Duff. Nabi ﷺ ketika itu menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, Abu Bakar membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi ﷺ kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata: ”Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya”. Pada waktu itu adalah hari-hari Mina” [HR. Bukhari 987]
Bahkan seluruh hadis Shahih yang sharih yang membolehkan permainan Duff menunjukkan, bahwa Duff dimainkan oleh anak kecil perempuan, kecuali hadis Buraidah yang nanti akan kami sebutkan.
Hadis ‘Aisyah Radhiallahu’anha tentang pesta pernikahan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا فَعَلَتْ فُلَانَةُ؟» ، لِيَتِيمَةٍ كَانَتْ عِنْدَهَا، فَقُلْتُ: أَهْدَيْنَاهَا إِلَى زَوْجِهَا قَالَ: «فَهَلْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا بِجَارِيَةٍ تَضْرِبُ بِالدُّفِّ، وَتُغَنِّي؟
“Nabi ﷺ berkata: ‘Apa yang dilakukan Fulanah?’ (terhadap anak yatim yang tinggal bersama ‘Aisyah). Aisyah berkata: ‘Aku hadiahkan kepada suaminya’. Nabi ﷺ berkata: ‘Mengapa engkau mengutus dia bersama anak-anak perempuan yang menabuh Duff?’” [HR Thabrani 3/315]
Hadis Ar Rubayyi’ bintu Mu’awwidz Radhiallahu’anha:
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا، يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ
“Nabi ﷺ datang ketika acara pernikahanku. Maka beliau duduk di atas tempat tidurku seperti duduknya engkau (Khalid bin Dzakwaan) dariku. Datanglah beberapa anak perempuan yang memainkan Duff sambil menyebut kebaikan-kebaikan orang-orang yang terbunuh dari nenek-moyangku pada waktu Perang Badr” [HR. Bukhari 5147]
Hadis ‘Aisyah Radhiallahu’anha tentang hari raya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِدُفَّيْنِ، فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْهُنَّ فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا
“Nabi ﷺ masuk ke rumah Aisyah. Di dalamnya terdapat dua anak perempuan memainkan Duff. Abu Bakar lalu membentak mereka. Nabi ﷺ lalu berkata: ‘Biarkan mereka, karena setiap kaum itu memiliki hari raya’” [HR. Ahmad dan An Nasa-i]
Menabuh Rebana Ketika Menyambut Kedatangan Orang
Namun terdapat perbedaan hukum bagi laki-laki, antara memainkan dan mendengarkan permainan Duff. Karena mendengarkan permainan Duff yang dimainkan anak kecil dalam acara pernikahan atau hari raya hukumnya boleh, sebagaimana telah terdapat dalam riwayat yang sudah disebutkan.
Adapun memainkan Duff dalam rangka menyambut kedatangan seseorang, terdapat dua hadis yang membicarakan hal ini:
Pertama, hadis Anas bin Malik radhiallahu’anhu, di dalamnya terdapat lafal:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ، فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ، وَيَتَغَنَّيْنَ
“Nabi ﷺ melewati sebagian kota Madinah. Ada budak-budak yang memainkan Duff ketika itu, sambil bernyanyi” [HR. Ibnu Maajah]
Hadis ini tidak menunjukkan, bahwa Nabi ﷺ baru datang ke Madinah, sehingga tidak bisa menjadi dalil. Selain itu, yang memainkan Duff adalah anak-anak perempuan. Ini diisyaratkan oleh komentar Nabi ﷺ terhadap mereka. Beliau ﷺ berkata:
“Allah tahu bahwa aku mencintai mereka.”
Kedua, hadis Buraidah radhiallahu’anhu, ia berkata:
خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم في بعض مغازيه فلما انصرف جاءت جارية سوداء فقالت يا رسول الله إني كنت نذرت إن ردك الله صالحاً –وفي رواية: سالماً- أن أضرب بين يديك بالدف وأتغنى فقال لها رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كنت نذرت فاضربي وإلا فلا فجعلت تضرب فدخل أبو بكر وهي تضرب ثم دخل علي وهي تضرب ثم دخل عثمان وهي تضرب ثم دخل عمر فألقت الدف تحت استها ثم قعدت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الشيطان ليخاف منك يا عمر
“Rasulullah ﷺ pergi untuk berperang. Ketika beliau ﷺ pulang, ada seorang budak perempuan berkata kepadanya: ‘Wahai Rasulullah, aku bernadzar, jika engkau pulang dalam keadaan sehat (dalam riwayat lain: selamat), aku akan menabuh Duff untukmu sambil bernyanyi’. Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: ‘Kalau engkau memang sudah bernadzar, lakukanlah. Jika tidak, maka jangan lakukan’. Akhirnya ia pun memainkan Duff. Lalu Abu Bakar datang dan ia masih memainkannya. Ali datang, dan ia masih memainkannya. Utsman datang, ia masih memainkannya. Namun ketika Umar datang, rebana itu dilempar ke bawah dan sang budak wanita pun duduk. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sungguh setan itu akan takut kepadamu wahai Umar’” [HR. Tirmidzi]
Yang nampak bagiku ini adalah kejadian waqi’atul ‘ain, hanya terjadi sekali, dan tidak bisa diambil hukum umum, serta tidak bisa dipertentangkan dengan nash yang lain. Waqi’atul ‘ain adalah suatu kejadian yang zhanniyah, yang bertentangan dengan hukum asal atau kaidah-kaidah syariah yang umum, sehingga menimbulkan banyaknya kemungkinan dan ta’wil. Konsekuensi dari keadaan ini adalah kaidah Idza Tatruq Ilaihal Ihtimal, Saqatal Istidlal (dengan adanya banyak kemungkinan maka tidak bisa menjadi dalil). Dan contoh lain dari kasus ini adalah kasus persusuan Salim pembantu Abu Hudzaifah terhadap Sahlah bintu Suhail radhiallahu’anhum, dan dikenal dikalangan ulama sebagai kasus Radha’ul Kabiir.
Oleh karena itu, kejadian Waqi’atul ‘Ain ini tidak bisa ditarik hukum umum. Kejadian-kejadian yang Waqi’atul ‘Ain tidak bisa dijadikan dalil untuk hukum umum. Sang budak perempuan bernadzar untuk menabuh Duff di hadapan Nabi ﷺ karena gembira beliau ﷺ pulang dengan selamat. Ini tidak dapat diqiyaskan. Orang-orang yang membolehkan memainkan Duff secara mutlak dalam setiap acara senang-senang atau dalam setiap penyambutan orang yang baru datang, mereka lupa bahwa Nabi ﷺ jelas-jelas melarang sang budak untuk menabuh Duff bila tidak bernadzar. Larangannya terdapat di hadis itu sendiri, beliau ﷺ berkata: “Jika tidak bernadzar, maka jangan”, dalam riwayat lain: “Jika tidak bernadzar, maka jangan kau lakukan”. Ini adalah larangan tegas terhadap permainan Duff dalam rangka gembira menyambut kepulangannya. Hukum asal larangan adalah pengharaman, dan yang menjadi pengecualian di sini adalah sang budak telah bernadzar untuk menabuh Duff di hadapan Nabi ﷺ. Jadi jelas, yang menjadi pengecualian adalah nadzar sang budak untuk menabuh Duff karena gembira beliau ﷺ pulang dengan selamat. Maka, khususiyyah (hal yang khusus terjadi bagi Rasulullah ﷺ saja) di sini jelas, walhamdulillah.
Taruhlah kejadian ini bukan khususiyyah beliau ﷺ dan bukan Waqi’atul ‘Ain, tetap saja tidak bisa menjadi dalil bolehnya menabuh Duff bagi penyambutan setiap orang yang datang. Karena betapa sering para sahabat bersafar lalu mereka pulang, dan tidak ada satu pun riwayat yang menerangkan ada wanita atau anak-anak perempuan menabuh Duff untuk mereka, apalagi permainan Duff yang dilakukan oleh laki-laki.
Berikut ini perkataan-perkataan para ulama yang bisa membuat kita lebih jelas lagi, setelah kita mengetahui dalil-dalilnya.
1. Imam Ahmad berkata: “Simak perkataan Ibrahim: ‘Pernah suatu ketika murid-murid Abdullah bin Mas’ud di sambut oleh anak-anak perempuan dengan rebana. Lalu mereka merusak rebana tersebut’” [Al Amr bil Ma’ruf karya Al Khallal, 1/172]
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Wanita diberi keringanan untuk memainkan Duff dalam pesta pernikahan dan acara gembira. Adapun laki-laki, tidak seorang pun di masa Nabi ﷺ yang memainkan Duff ataupun bertepuk tangan” [Majmu’ Fatawa, 11/565]
3. Al Hafidz Ibnu Katsir berkata: “Klaim Ijma dinukil lebih dari seorang ulama, tentang larangan berkumpulnya para pemuda dan pemudi lalu didendangkan Duff di situ. Sebagian ulama memang ada yang menukil khilaf yang syadz tentang hal ini. Adapun memainkan Duff dan qashbah sendirian, ini diperselisihkan hukumnya dalam Madzhab Syafi’i. Yang dipegang oleh para imam dari Iraq, hukumnya haram, dan mereka itu lebih kuat pemahamannya terhadap Madzhab Syafi’i dari para orang Khurasan. Pendapat ini juga dikuatkan dengan hadis yang telah disebutkan. Hukum haram tersebut hanya dikecualikan dengan permainan Duff oleh anak perempuan pada hari raya atau ketika menyambut kedatangan orang yang dihormati atau dalam pesta pernikahan. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadis-hadis yang menjadi pegangan dalam bahasan ini. Kebolehan menabuh Duff dalam kesempatan-kesempatan tersebut tidak melazimkan kebolehan menabuh Duff dalam semua kesempatan” [Al Kalaam ‘Ala Mas-alatis Sima’, Ibnul Qayyim, 1/473]
4. Ibnul Qayyim berkata: “Setiap perkataan yang tidak mengindahkan ketaatan kepada Allah, dan tiap suara yaraa’, mizmar dan Duff hukumnya haram” [Ighatsatul Lahfaan, 1/256]
5. Ibnu Rajab berkata: “Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat, bahwa memainkan Duff sambil bernyanyi bagi laki-laki hukumnya haram. Karena hal tersebut serupa dengan perbuatan wanita yang dilarang oleh agama. Ini pendapat Al Auzai’, Imam Ahmad, dan juga pendapat Al Halimi dan selainnya dari Syafi’iyyah. Adapun bernyanyi tanpa menabuh Duff, dalam rangka membangkitkan semangat, hukumnya boleh. Telah diriwayatkan dari para sahabat tentang adanya rukhshah dalam hal ini” [Fathul Baari, 6/82]
6. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Mereka berdalil dengan lafal hadis واضربوا untuk mengatakan bahwa bolehnya bermain Duff tidak khusus bagi wanita. Namun hadis-hadis tersebut Dhaif semua. Hadis yang kuat menunjukkan hal ini khusus bagi wanita, sehingga lelaki tidak boleh menyerupai mereka berdasarkan keumuman larangan menyerupai wanita” [Fathul Baari, 9/185]
7. Ahli fiqih Madzhab Syafi’i, Ibnu Hajar Al Haitami berkata: “Imam Al Baihaqi menukil perkataan gurunya, Imam Al Halimi, dan ia menyetujuinya, yaitu bahwa jika kita membolehkan permainan Duff, itu hanya untuk wanita”. Beliau juga mengatakan: “Menabuh Duff itu hanya khusus bagi wanita, karena pada asalnya itu adalah perbuatan wanita. Dan Nabi ﷺ melaknat lelaki yang menyerupai wanita” [Kaffur Ri’aa, 2/292].
Beliau juga berkata: “Mayoritas ulama madzhab kami berpendapat haramnya menabuh Duff pada selain pesta pernikahan dan walimah khitan. Tidak sebagaimana yang dirajihkan oleh Syaikhain yang membolehkan di luar kedua acara itu. Karena telah ada nash (pendapat) dari Imam Asy Syafi’i dan mayoritas ulama Madzhab Syafi’I, bahwa hukumnya haram diluar kedua acara tersebut. Adapun pembolehan secara mutlak, tidak ada dalil yang mendasarinya. Jika berdalil dengan hadis tentang anak-anak perempuan yang memainkan Duff, ini pendalilan yang lemah. Karena bagi mereka dimaafkan sesuatu yang tidak dimaafkan bagi orang yang mukallaf” [Kaffur Ri’aa, 2/291]
Berkaitan dengan walimah khitan yang beliau sebutkan, saya tidak mengetahui adanya hadis Shahih dari Nabi ﷺ maupun atsar dari sahabat.
Thabl (bedug, drum, genderang) itu hukumnya haram dimainkan dalam keadaan dan kesempatan apa pun dan bagi siapapun, karena ia termasuk alat musik yang tidak ada pengecualiannya dari hukum asal. Sedangkan Duff (rebana), ia alat musik yang diharamkan memainkannya bagi laki-laki dalam keadaan dan kesempatan apapun. Namun diberi keringanan khusus bagi wanita dan anak-anak perempuan untuk memainkannya. Adapun laki-laki mendengarkan permainan Duff dari anak-anak perempuan hukumnya mubah, sebatas dalam pesta pernikahan atau hari raya saja. Lalu mendengarkan permainan Duff melalui kaset, baik bagi wanita maupun laki-laki, diluar pesta pernikahan atau hari raya, hukumnya haram.
Penerjemah: Yulian Purnama