Memelihara anjing termasuk najis. Akan tetapi jika seorang Muslim memelihara anjing sekadar untuk keamanan rumah dan dia ditempatkan di luar di ujung kompleks, bagaimana dia menyucikan dirinya? Apa hukumnya jika dia tidak mendapatkan debu atau tanah untuk membersihkan dirinya? Apakah ada benda pengganti yang dapat digunakan seorang Muslim untuk membersihkan dirinya? Kadang-kadang orang itu membawa anjing tersebut untuk berlari, kadang anjing tersebut merangkul dan menciumnya…
Jawaban:
Alhamdulillah.
Pertama: Syariat yang suci telah mengharamkan memeliharat anjing. Siapa yang menentang ajaran ini (dengan memelihara anjing) maka akan dihukum dengan mengurangi kebaikannya sebanyak satu qirath atau dua qirath setiap hari. Dikecualikan dalam hal ini jika memelihara bertujuan untuk berburu, menjaga ternak dan menjaga pertanian. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa yang memelihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga hewan ternak, berburu dan menjaga tanaman, maka akan dikurangi pahalanya setiap hari sebanyak satu qirath.” [HR. Muslim, no. 1575]
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Siapa yang memelihara anjing kecuali anjing untuk memelihara ternak, atau berburu, maka akan dikurangi amalnya setiap hari sebanyak dua qirath.” [HR. Bukhari, no. 5163, Muslim, no. 1574]
Apakah dibolehkan memelihara anjing untuk menjaga rumah?
Imam Nawawi berkata:
“Diperselisihkan dalam hal memelihara anjing selain untuk tujuan yang tiga di atas, seperti untuk menjaga rumah, jalanan. Pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan, sebagai qiyas dari ketiga hal tersebut, karena adanya illat (alasan) yang dapat disimpulkan dalah hadis, yaitu: Kebutuhan.” Selesai [Syarh Muslim, 10/236]
Syekh Ibn Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dengan demikian, rumah yang terletak di tengah kota, tidak ada alasan untuk memelihara anjing untuk keamanan, Maka memelihara anjing untuk tujuan tersebut dalam kondisi seperti itu diharamkan, tidak boleh, dan akan mengurangi pahala pemiliknya satu qirath atau dua qirath setiap harinya. Mereka harus mengusir anjing tersebut dan tidak boleh memeliharanya. Adapun kalau rumahnya terletak di pedalaman, sekitarnya sepi tidak ada orang bersamanya, maka ketika itu dibolehkan memelihara anjing untuk keamanan rumah dan orang yang ada di dalamnya. Menjaga penghuni rumah jelas lebih utama dibanding menjaga hewan ternak atau tanaman.” Selesai ‘[Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/246]
Dalam mengompromikan riwayat antara satu qirath dan dua qirath terdapat beberapa pendapat:
Al-Hafiz Al-Aini rahimahullah berkata:
Kemungkinan perbedaan keduanya tergantung macam anjingnya, salah satunya lebih berbahaya. Ada juga yang mengatakan bahwa dua qirath jika memeliharanya di kota dan desa, sedangkan yang satu qirath, jika memeliharanya di pedalaman. Ada juga yang mengatakan bahwa kedua riwayat tersebut disampaikan dalam dua zaman yang berbeda. Pertama disampaikan satu qirath, kemudian ancamannya ditambah, lalu disebut dua qirath. [Umdatul Qari, 12/158]
Kedua: Adapun ucapan penanya bahwa “Memelihara anjing adalah meyimpan najis” tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Karena yang dikatagorikan najis adalah bukan anjingnya, tapi liurnya apabila dia minum dari sebuah wadah. Siapa yang menyentuh anjing atau disentuh anjing, maka tidak wajib baginya menyucikan dirinya, tidak dengan debu, tidak pula dengan air. Jika seekor anjing minum dari sebuah wadah, maka air di wadah tersebut harus ditumpah dan dicuci sebanyak tujuh kali, yang kedelapan dicuci dengan debu, jika dia ingin menggunakannya. Jika wadah tersebut khusus dia gunakan untuk anjing, maka tidak perlu disucikan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sucinya wadah kalian apabila dijilat anjing adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan pertama dengan debu.” [HR. Muslim, no. 279]
Dalam sebuah riwayat Muslim, (Rasulullah ﷺ bersabda):
“Jika anjing menjilati wadah, maka basuhlah sebanyak tujuh kali, dan yang kedelapan taburkan dengan tanah.” [HR. Muslim, no. 280]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun tentang anjing, para ulama berselisih dalam tiga pendapat;
Pertama, bahwa anjing adalah suci, termasuk liurnya. Ini adalah Mazhab Malik.
Kedua, bahwa anjing adalah najis termasuk bulunya. Ini adalah Mazhab Syafi’i, dan salah satu dari dua pendapat dalam Mazhab Ahmad.
Ketiga, bulu anjing suci, sedangkan liurnya najis. Ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari dua pendapat dalam Mazhab Ahmad.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang paling benar. Maka jika bulu anjing yang lembab menempel pada baju atau tubuh seseorang, hal itu tidak membuatnya najis.” [Majmu Fatawa, 21/530]
Beliau berkata di tempat lain:
“Hal demikian, karena asal pada setiap benda adalah suci. Maka tidak boleh menyatakan sesuatu najis atau haram kecuali berdasarkan dalil, sebagaimana firman Allah taala:
Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. [QS. Al-An’am: 11]
Allah juga berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka, sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” [QS. At-Taubah: 115]
Jika demikian halnya, maka Nabi ﷺ bersabda:
“Sucinya wadah kalian apabila dijilat anjing, adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan pertama dengan debu.” [HR. Muslim, no. 279]
Dan dalam hadis lain (Rasulullah ﷺ bersabda), “Jika anjing menjilati wadah.” [HR. Muslim, no. 280]
Hadis-hadis tentang masalah ini seluruhnya hanya menyebutkan jilatan anjing, dan tidak menyebutkan bagian tubuh lainnya. Maka dengan demikian, penetapan (bagian lain dari tubuhnya) sebagai najis dilakukan berdasarkan qiyas (perbandingan).
Begitu juga, Nabi ﷺ memberi keringanan (membolehkan) memelihara anjing buruan, penjaga hewan ternak dan pertanian. Maka tentu saja siapa yang memeliharanya akan tersentuh bulunya yang lembab, sebagaimana dia akan tersentuh bulu lembab keledai dan semacamnya. Maka pendapat bahwa bulu anjing termasuk najis dalam keadaan demikian, termasuk perkara memberatkan, diangkat dari umat ini.” [Majmu Fatawa, 21/617, 619]
Namun yang lebih hati-hati adalah apabila seseorang menyentuh anjing dengan tangannya yang basah, atau anjingnya basah, hendaknya dia mencucinya sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Demikian dikatakan oleh Syekh Ibnu Utsaimin:
‘Adapun menyentuh anjing, jika tidak dalam kondisi basah, maka hal itu tidak membuat tangan menjadi najis. Adapun menyentuhnya dalam keadaan basah, hal tersebut dalam membuat tangan menjadi najis berdasarkan pendapat sebagian besar ulama. Wajib mencuci tangannya sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah.” [Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 11/246]
Ketiga. Cara menyucikan najis anjing adalah sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya dalam jawaban soal, no. 41090, 46314.
Yang wajib adalah mencuci najis anjing sebanyak tujuh basuhan, salah satunya dengan tanah. Jika tanah mudah didapatkan, maka wajib menggunakannya dan tidak dapat diganti dengan yang lainnya. Adapun jika tidak mendapatkan tanah, tidak mengapa menggunakan alat pembersih lainnya seperti sabun.
Keempat. Penanya menyatakan, bahwa mencium anjing menyebabkan berbagai macam penyakit. Banyak penyakit yang menimpa seseorang akibat tindakannya yang bertentangan dengan syariat dengan mencium anjing dan minum di wadahnya sebelum disucikan.
Di antaranya, penyakit Pastrela, yaitu penyakit yang disebabkan bakteri. Di antaranya juga penyakit ‘Kantong air’ yaitu termasuk penyakit benalu yang menyerang dalam isi perut orang dan hewan. Serangan yang paling mematikan pada hati dan kedua jantung, setelahnya mengeringkan perut dan (menyebar) keseluruh tubuh. Penyakit ini akan menimbulkan cacing pita yang disebut Ikankus Carnilusis, yaitu cacing kecil yang panjangnya mencapai 2-9 mm, terdiri dari tiga ruas, kepala dan leher. Bagian kepalanya terdapat empat alat penghisap. Dan cacing ini hidup di ujung usus tambahan yang seringkali berada pada anjing, kucing, musang dan srigala
Lalu penyakitnya akan berpindah ke manusia yang sangat mencintai anjing, apabila dia menciumnya atau meminum dari wadahnya. [Lihat Buku Amrad Al-Hayawaanat Al-Alifah allati Tushiibul-Insan, oleh DR. Ali Ismail Ubaid As-Sanafi]
Kesimpulannya:
Tidak diperbolehkan memelihara anjing kecuali untuk berburu atau menjaga hewan ternak dan tanaman. Boleh juga untuk menjaga rumah, dengan syarat tempatnya berada di perkampungan, dan dengan syarat tidak tersedia sarana yang lain. Tidak selayaknya seorang Muslim mengikuti cara orang-orang kafir; berlari bersama anjing, menyentuh mulutnya atau menciumnya, yang dapat menyebabkan berbagai penyakit.
Alhamdulillah, kita diberi syariat yang sempurna ini, yang bertujuan untuk memperbaiki agama dan dunia manusia. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.