”Apabila kalian melakukan salat, makan janganlah memejamkan kedua mata kalian.”
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Thabrani (w. 360 H) dalam Mu’jam as-Shagir no. 24. dari jalur Mus’ab bin Said, dari Musa bin A’yun, dari Laits bin Abi Salim.
Hadis ini dinilai dhaif oleh para ulama pakar hadis, karena dua alasan:
1. Laits bin Abi Salim dinilai dhaif karena mukhtalat (hafalannya kacau), dan dia perawi mudallis (suka menutupi)
2. Mus’ab bin Said, dinilai sangat lemah oleh para ulama. Ibnu Adi mengatakan tentang perawi ini:
يحدث عن الثقات بالمناكير ويصحف عليهم ، والضعف على حديثه بيِّن
”Beliau membawakan hadis-hadis munkar atas nama perawi terpercaya dan menyalahi ucapan mereka. Status dhaif hadisnya sangat jelas.” [al-Fatawa al-Haditsiyah, al-Huwaini, 1/45 – 46]
Kesimpulannya, hadis di atas adalah hadis dhaif dan Imam ad-Dzahabi (w. 748 H) menilainya munkar. Karena itu hadis ini tidak bisa dijadikan dalil.
Memejamkan Mata Ketika Salat Hukumnya Makruh
Hanya saja para ulama menegaskan, memejamkan mata ketika salat hukumnya makruh. Kecuali ketika hal ini dibutuhkan, karena pemandangan di sekitarnya sangat mengganggu konsentrasi salatnya.
Mengenai alasan dihukumi makruh, ada beberapa keterangan dari para ulama, di antaranya,
a. Memejamkan mata ketika salat, bukan termasuk sunah Nabi ﷺ. Ibnul Qoyim (w. 751 H) mengatakan:
ولم يكن من هديه صلى الله عليه و سلم تغميض عينيه في الصلاة
”Bukan termasuk sunah Nabi ﷺ, memejamkan mata ketika salat.” [Zadul Ma’ad, 1/283]
b. Memejamkan mata ketika salat termasuk kebiasaan salat orang Yahudi. Dalam ar Raudhul Murbi’ kitab fikih Madzhab Hambali – pada penjelasan hal-hal yang makruh ketika salat, dinyatakan:
ويكره أيضا تغميض عينيه لأنه فعل اليهود
”Makruh memejamkan mata ketika salat, karena ini termasuk perbuatan orang Yahudi.” [ar-Raudhul Murbi’, 1/95]
c. Karena memejamkan mata bisa menyebabkan orang tertidur, sebagaimana keterangan dalam Manar as-Sabil [1/66]
Untuk itu, sebagian ulama membolehkan memejamkan mata ketika ada kebutuhan. Misalnya dengan memejamkan mata, dia menjadi tidak terganggu dengan pemandangan di sekitarnya. Ibnul Qoyim mengatakan:
والصواب أن يقال : إن كان تفتيح العينين لا يخل بالخشوع فهو أفضل ، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يشوش عليه قلبه ، فهنالك لا يكره التغميض قطعًا ، والقول باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة
“Kesimpulan yang benar, jika membuka mata (ketika salat) tidak mengganggu kekhusyuan, maka ini yang lebih afdhal. Tetapi jika membuka mata bisa mengganggu kekhusyuan, karena di arah Kiblat ada gambar ornamen hiasan, atau pemandangan lainnya yang mengganggu konsentrasi hatinya, maka dalam kondisi ini tidak makruh memejamkan mata. Dan pendapat yang menyatakan dianjurkan memejamkan mata karena banyak gangguan sekitar, ini lebih mendekati prinsip ajaran syariat dari pada pendapat yang memakruhkannya.” [Zadul Ma’ad, 1/283]
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)