Sikap seorang hamba mewajibkan diri sendiri tanpa paksaan, untuk melakukan perbuatan tertentu yang aslinya tidak wajib secara syariat, dalam rangka ibadah kepada Allah, dengan ucapan nadzar [al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 40:136]
Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas, nadzar adalah mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan pebuatan tertentu yang pada asalnya tidak wajib, dalam rangka beribadah kepada Allah.
Berdasarkan definisi di atas, ada dua hal yang perlu dibedakan:
a. Kalimat nadzar yang diucapkan pelaku
b. Pelaksanaan nadzar
Bolehkah Nadzar Dibatalkan?
Ada dua pengertian yang berbeda dari pertanyaan tersebut:
Pertama: Menarik kembali kalimat nadzar yang telah diucapkan.
Semacam ini tidak dibolehkan karena para ulama menegaskan, bahwa kalimat nadzar yang diucapkan pelaku sifatnya mengikat, dan tidak bisa ditarik kembali.
• Nadzar.” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 18403]
Yang dimaksud menarik kembali ucapan nadzar adalah si pelaku mencabut nadzar yang dia ucapkan, kemudian dia beranggapan seolah belum mengucapkan kalimat nadzar tersebut.
Hanya saja para ulama memberikan pengecualian satu nadzar yang wajib ditarik kembali, yaitu nadzar kesyirikan. Misalnya orang bernadzar untuk makhluk yang dia agungkan, seperti Husein atau bahkan Rasulullah ﷺ. Nadzar semacam ini wajib ditarik kembali, dan pelaku wajib bertobat karena telah melakukan kesyirikan. [Simak, Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Abdullah bin Salam, Hal. 83]
“Siapa yang bernadzar untuk menaati Allah, maka dia wajib menaati-Nya. Dan siapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah dia bermaksiat kepada-Nya.” [HR. Bukhari no. 6696]
Kedua: Tidak melaksanakan isi nadzar
Al-Mardawi memberikan rincian yang bagus untuk orang yang tidak melaksanakan isi nadzarnya. Beliau membedakan berdasarkan ada dan tidaknya uzur untuk tidak melaksanakan nadzar tersebut. Beliau mengatakan:
وإن نذر صوم شهر معين فلم يصمه لغير عذر ، فعليه القضاء وكفارة يمين ـ بلا نزاع ـ وإن لم يصمه لعذر ، فعليه القضاء ـ بلا نزاع ـ وفي الكفارة روايتان ( يعني عن الإمام أحمد ) والمذهب : أن عليه الكفارة أيضاً ، وصححه ابن قدامه وغيره
Jika ada orang yang nadzar puasa di bulan tertentu, kemudian dia tidak berpuasa tanpa ada uzur, maka dia wajib qadha dan membayar kaffarah sumpah, tanpa ada perselisihan. Namun jika dia tidak melaksanakan puasa nadzarnya di bulan itu karena uzur, maka dia wajib qadha, tanpa ada perbedaan pendapat. Sementara apakah dia wajib membayar kaffarah? Ada dua keterangan dari Imam Ahmad. Pendapat yang dikuatkan para ulama Madzhab Hanbali, dia juga wajib kaffarah, dan pendapat ini dikuuatkan oleh Ibnu Qudamah dan yang lainnya [al-Inshaf, 16:439]
Kaffarah nadzar sama dengan kaffarah sumpah.
Bentuk kaffarah sumpah telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu langgar. ” [Q.S. Al-Maidah: 89]
Berdasarkan ayat di atas, kaffarah sumpah ada empat:
1. Memberi makan sepuluh orang miskin
Memberi makan di sini adalah makanan siap saji, lengkap dengan lauk-pauknya. Hanya saja tidak diketahui adanya dalil yang menjelaskan batasan makanan yang dimaksudkan selain pernyataan di ayat tersebut: “Makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu”.
2. Memberi pakaian sepuluh orang miskin
Ulama berselisih pendapat tentang batasan pakaian yang dimaksud. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bahwa batas pakaian yang dimaksudkan adalah yang bisa digunakan untuk shalat. Karena itu harus terdiri dari atasan dan bawahan. Dan tidak boleh hanya peci saja atau jilbab saja. Karena ini belum bisa disebut pakaian.
Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa orang miskin yang berhak menerima dua bentuk kafarah di atas hanya orang miskin yang Muslim.
3. Membebaskan budak
Keterangan: Tiga jenis kaffarah di atas boleh memilih salah satu. Jika tidak mampu untuk melakukan salah satu di antara tiga di atas, maka beralih pada kaffarah keempat, yaitu:
4. Berpuasa selama tiga hari
Pilihan yang keempat ini hanya dibolehkan jika tidak sanggup melakukan salah satu di antara tiga pilihan sebelumnya. Apakah puasanya harus berturut-turut? Ayat di atas tidak memberikan batasan. Hanya saja, Madzhab Hanafiyah dan Hambali mempersyaratkan harus berturut-turut. Pendapat yang kuat dalam masalah ini, boleh tidak berturut-turut, dan dikerjakan semampunya.
Demikian keterangan yang disadur dari Fiqh Sunah Sayid Sabiq, (3/25 – 28).
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)