Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Mengenal Dropshipping
Pada dasarnya, menjadi seorang pengusaha sukses adalah cita-cata banyak orang. Walau demikian sering kali mereka beranggapan, bahwa cita-cita ini tak ubahnya impian di siang bolong alias serasa mustahil tewujud. Masyarakat berpikiran demikian karena mereka beranggapan, bahwa dunia usaha hanyalah milik orang-orang yang berkantong tebal, atau paling kurang dilahirkan di tengah keluarga kaya raya.
Hadirnya sistem Dropshipping di tengah masyarakat bak hembusan angin surga bagi banyak orang untuk dapat mewujudkan impian besar mereka.
Betapa tidak, dengan sistem “Dropshipping” kita dapat menjual produk, bahkan berbagai produk, ke konsumen. Semua itu tanpa butuh modal atau berbagai piranti keras lainnya. Yang dibutuhkan hanyalah foto-foto produk yang berasalkan dari supplier/toko. Kita dapat menjalankan usaha dengan sistem ini walau tanpa membeli barang terlebih dahulu. Namun demikian kita dapat menjual produk dimaksud ke konsumen dengan harga yang ditentukan oleh Dropshipper (orang yang melakulan Dropshipping).
Dalam sistem Dropshipping konsumen terlebih dahulu melakukan pembayaran, baik tunai atau via transfer ke rekening Dropshipper. Selanjutnya Dropshipper melakukan pembayaran kepada supplier sesuai dengan harga beli Dropshipper disertai dengan ongkos kirim barang ke alamat konsumen. Sebagaimana Dropshipper berkewajiban menyerahkan data konsumen; berupa nama, alamat, dan nomor telpon kepada supplier. Bila semua prosedur di atas telah selesai, maka supplier bertugas mengirimkan barang yang dibeli kepada konsumen.
Namun perlu dicatat, walau supplier yang mengirimkan barang, akan tetapi nama Dropshipperlah yang dicantumkan sebagai pengirim barang. Dengan demikian konsumen tidak mengetahui, bahwa sejatinya ia membeli barang dari supplier (pihak ke dua), dan bukan dari Dropshipper (pihak pertama).
Keuntungan Sistem Dropshipping
Semua orang pasti menyadari, bahwa salah satu tujuan utama setiap kegiataan wirausaha ialah mendapatkan keuntungan. Karena itu sudah sepantasnya bila kita menanyakan, apa saja kuntungan mengikuti sistem ini.
Secara umum, menjalankan Dropshipping memiliki banyak sisi positifnya, di antaranya sebagai berikut:
1. Dropshipper, mendapatkan keuntungan atau fee atas jasanya memasarkan barang milik supplier.
2. Tidak butuh modal besar untuk dapat mengikuti sistem ini.
3. Sebagai Dropshipper, kita tidak perlu menyediakan kantor dan gudang barang.
4. Walau tanpa berbekalkan pendidikan tinggi, asalkan kita cakap dalam berselancar di dunia maya (berinternet), maka kita dapat menjalankan sistem ini.
5. Kita terbebas dari beban pengemasan dan pengantaran produk.
6. Sistem ini tidak kenal batas waktu atau ruang, alias kita dapat menjalankan usaha ini kapan pun dan di mana pun kita berada.
Hukum Dropshipping
Sebagai pengusaha Muslim tentu kita bukan hanya memilikirkan kemudahan atau besarnya keuntungan suatu jenis kewirausahaan. Status halal dan haram setiap jenis usaha yang hendak dijalankan pastilah menempati urutan pertama dari sekian banyak pertimbangan kita . Sikap ini selaras dengan doa yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla:
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan rezeki-Mu yang halal, sehingga aku tidak membutuhkan kepada hal-hal yang Engkau haramkan. Dan jadikanlah aku merasa puas dengan kemurahan-Mu, sehingga aku tidak mengharapkan kemurahan selain kemurahan-Mu.
Dan untuk mengetahui status hukum halal haram suatu perniagaan, maka kita harus melihat tingkat keselarasan sistem tersebut dengan prinsip-prinsip dasar perniagaan dalam syariat. Bila perniagaan tersebut selaras dengan prinsip syariat, maka halal untuk kita jalankan. Namun bila terbukti menyeleweng dari salah satu prinsip, atau bahkan lebih, maka sudah sepantasnya kita mewaspadainya.
Berikut beberapa prinsip syariat dalam perniagaan yang perlu dicermati, karena berkaitan erat dengan sistem Dropshipping:
Prinsip Pertama: Kejujuran
Berharap mendapat keuntungan dari suatu perniagaan bukan berarti menghalalkan dusta. Karena itu Rasulullah ﷺ dalam beberapa kesempatan menekankan pentingnya arti kejujuran dalam perniagaan, di antaranya melalui sabda beliau ﷺ:
(البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما) متفق عليه
“Kedua orang yang terlibat transaksi jual-beli, selama belum berpisah, memiliki hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akadnya. Bila keduanya berlaku jujur dan transparan, maka akad jual-beli mereka diberkahi. Namun bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya keberkahan penjualannya dihapuskan.” Muttafaqun ‘alaih.
Prinsip Kedua: Jangan Menjual Barang Yang Tidak Kita Miliki
Islam begitu menekankan kehormatan harta kekayaan umatnya. Karena itu, Islam mengharamkan atas umat Islam berbagai bentuk tindakan merampas atau pemanfaatan harta orang lain tanpa izin atau kerelaan darinya. Allah taala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” [QS. An Nisa’ 29]
(لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه)
“Tidak halal harta orang Muslim, kecuali atas dasar kerelaan jiwa darinya”. Riwayat Ahmad, dan lainnya.
Begitu besar penekanan Islam tentang hal ini, sehingga Islam menutup segala celah yang dapat menjerumuskan umat Islam kepada praktik memakan harta saudaranya tanpa alasan yang dibenarkan.
Prinsip Ketiga: Hindari Riba dan Berbagai Celahnya
Sejarah umat manusia telah membuktikan, bahwa praktik riba senantiasa mendatangkan menghancurkan tatanan ekonomi masyarakat. Wajar bila Islam mengharamkan praktik riba dan berbagai praktik niaga yang dapat menjadi celah terjadinya praktik riba.
Di antara celah riba yang telah ditutup dalam Islam adalah: “Menjual kembali barang yang telah kita beli, namun secara fisik belum sepenuhnya kita terima dari penjual”. Belum sepenuhnya kita terima bisa jadi:
a. Kita masih satu majlis dengan penjualnya.
b. Atau fisik barang belum kita terima, walaupun kita telah berpisah tempat dengan penjual. Pada kedua kondisi ini kita BELUM DIBENARKAN menjual kembali barang yang telah kita beli, mengingat kedua kondisi ini menyisakan celah terjadinya praktik riba. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma mengisahkan:
فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
Rasulullah ﷺ melarang dari menjual kembali setiap barang di tempat barang itu dibeli, hingga barang itu dipindahkan oleh para pembeli ke tempat mereka masing-masing.” [Riwayat Abu dawud dan Al Hakim]
“Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali, hingga ia benar-benar telah menerimanya” Ibnu ‘Abbas berkata: Dan saya berpendapat, bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan. [Muttafaqun ‘alaih]
Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ditanya lebih lanjut tentang alasan larangan ini menyatakan:
”Yang demikian itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual Dirham dengan Dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (sekadar kedok belaka).” [Muttafaqun ‘alaih]
Sistem Dropshipping pada tahapan praktiknya bisa saja melanggar ketiga prinsip di atas, atau salah satunya, sehingga keluar dari aturan syariat alias HARAM. Seorang Dropshipper bisa saja mengaku sebagai pemiliki barang, atau paling kurang sebagai agen, padahal pada kenyataannya tidak demikian. Karena dusta ini bisa jadi konsumen menduga, bahwa ia mendapatkan barang dengan harga murah dan terbebas dari praktik percaloan, padahal kenyataannya tidak demikian. Andai ia menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang agen atau pihak kedua, bisa saja ia mengurungkan pembeliannya.
Pelanggaran bisa juga berupa Dropshipper menawarkan lalu menjual barang yang belum ia terima, walaupun ia telah membelinya dari supplier. Dengan demikian Dropshipper melanggar larangan Nabi ﷺ di atas.
Atau bisa jadi Dropshipper menentukan keuntungan melebihi yang diizinkan oleh supplier. Jelaslah ulah Dropshipper ini merugikan supplier, karena barang dagangan miliknya telat laku, atau bahkan kehilangan pasarnya.
Solusi:
Agar terhindar dari berbagai pelanggaran di atas, maka kita dapat saja melakukan salah dari beberapa alternatif berikut:
Alternatif Pertama: Sebelum menjalankan sistem Dropshipping, terlebih dahulu kita menjalin kesepakatan kerjasama dengan supplier. Atas kerjasama ini kita mendapatkan wewenang untuk turut memasarkan barang dagangannya. Dan atas partisipasi kita dalam pemasaran ini, kita berhak mendapatkan fee alias upah yang nominalnya telah disepakati bersama pula.
Penentuan fee atas jasa pemasaran ini bisa saja dihitung berdasarkan waktu kerjasama, atau berdasarkan jumlah barang yang berhasil kita jual. Bila alternatif ini yang menjadi pilihan kita , berarti kita bersama supplier menjalin akad “JU’ALAH” (jual jasa). Yaitu salah satu model dari akad jual-beli jasa yang upahnya ditentukan sesuai dengan hasil kerja, bukan waktu kerja.
Alternatif Kedua: Kita juga dapat mengadakan kesepakatan dengan para calon konsumen yang membutuhkan berbagai macam barang. Dan atas jasa kita mengadakan barang, kita mensyaratkan imbalan dalam nominal tertentu. Dengan demikian kita menjalankan model usaha jual beli jasa, atau semacam biro jasa pengadaan barang.
Alternatif Ketiga: Kita juga dapat menggunakan skema akad salam dalam aktivitas kita . Dengan demikian kita berkewajiban menyebutkan berbagai kriteria barang kepada calon konsumen, baik dilengkapi dengan gambar barang atau tidak. Dan setelah ada calon konsumen yang berminat terhadap barang yang kita tawarkan dengan harga yang disepakati pula, maka kita baru mengadakan barang. Skema salam samacam ini barang kali yang paling mendekati sistem Dropshipping, walau demikian perlu dicatatkan dua hal penting yang mungkin membedakan antara keduanya:
1. Dalam skema akad salam calon konsumen harus melakukan pembayaran secara tunai dan lunas pada awal akad.
2. Semua resiko selama pengiriman barang hingga barang tiba di tangan konsumen menjadi tanggung jawab Dropshipper dan bukan supplier.
Alternatif Keempat: Kita menggunakan skema akad MURABAHAH LIL ‘AMIRI BISSYIRA’ (Pemesanan Tidak Mengikat). Yaitu ketika ada calon konsumen yang tertarik dengan barang yang kita pasarkan, segera kita mengadakan barang tersebut sebelum ada kesepakatan harga dengan calon pembeli. Setelah mendapatkan barang yang diinginkan, segera kita mengirimkannya ke calon pembeli. Setiba barang di tempat calon pembeli, kita baru mengadakan negoisasi penjualan dengannya. Dan sudah dapat diduga bahwa calon pembeli memiliki wewenang oenuh untuk membeli atau mengurungkan rencana pembeliannya.
Mungkin kita berkata; bila alternatif ini yang saya pilih, betapa besar resiko yang harus saya pikul, dan betapa susahnya kerja saya, terlebih bila calon pembeli berdomisi jauh dari tempat tinggal saya?
Apa yang kita utarakan benar adanya. Karena itu mungkin alternatif ini paling sulit untuk diterapkan, terutama bila kita menjalankan bisnis secara online.
Walau demikian, bukan berarti besarnya resiko tidak dapat ditanggulangi. Untuk menanggulangi besarnya resiko yang harus kita tanggung, kita sebagai penjual dapat mensyaratkan hak khiyar (hak pilih membatalkan pembelian) kepada supplier dalam batas waktu tertentu. Dengan demikian, bila calon pembeli kita batal membeli, kita dapat mengembalikan barang tersebut kepada supplier . Sebagaimana kita juga dapat mensyaratkan kepada calon pembeli, bahwa batal membeli ia menanggung seluruh biaya mendatangkan barang, dan mengembalikannya kepada supplier.
Penutup:
Semoga paparan singkat tentang skema Dropshipping di atas dapat menambah khazanah ilmu agama kita . Dan besar harapan saya semoga Allah taala memudahkan dan memberkahi perniagaan kita . Wallahu taala a’alam bisshawab.