Ketika kita jatuh sakit, maka sebenarnya ada dua pilihan yang akan kita ambil, yaitu berobat atau didiamkan saja. Seorang ibu yang melihat anaknya jatuh sakit, biasanya panik dan langsung membawa anaknya ke dokter. Ibu mana yang tega melihat anaknya demam tinggi, tidak mau makan, atau kalau makan muntah, dan badannya lemah? Tetapi di sisi lain, ada pula seseorang yang sudah sakit parah namun bersikeras melawan sendiri penyakitnya, tidak mau berobat, padahal keluarganya telah membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit. Di luar masalah teknis yang lain seperti biaya dan jarak dari tempat berobat, haruskah kita berobat ketika jatuh sakit?
Hukum Berobat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa hukum berobat adalah wajib, jika meninggalkannya akan menimbulkan bahaya bagi tubuh. Seseorang yang terkena penyakit kanker misalnya, maka dengan izin Allah ﷻ, jika anggota tubuh yang mengandung kanker tersebut dibuang, maka anggota tubuh yang lain akan selamat. Akan tetapi jika tidak dibuang, maka kanker tersebut akan menyebar dan menjalar ke seluruh tubuh, sehingga dapat membahayakan anggota tubuh lainnya. Oleh karena itu, membuang anggota tubuh yang mengandung sel-sel kanker tersebut adalah obat yang bermanfaat. Sehingga dalam hal ini, memotong (membuang) sebagian anggota tubuh untuk menyelamatkan anggota tubuh lainnya hukumnya menjadi wajib.
Adapun rincian hukum berobat yang beliau rahimahullah jelaskan adalah sebagai berikut:
Pertama: Jika betul-betul diketahui manfaatnya atau terdapat sangkaan (dugaan) kuat adanya manfaat suatu pengobatan, atau terdapat kemungkinan timbulnya bahaya jika meninggalkannya, maka hukum berobat dalam hal ini adalah wajib.
Kedua: Jika terdapat sangkaan kuat manfaat suatu pengobatan, akan tetapi tidak ada bahaya yang nyata jika tidak berobat, maka hukum berobat dalam hal ini adalah sunnah.
Ketiga: Jika antara berobat dan tidak berobat kemungkinannya sama, maka lebih baik ditinggalkan (tidak perlu berobat), agar seseorang tidak menjerumuskan dirinya sendiri dalam bahaya tanpa dia sadari. [Lihat Syarhul Mumti’, 2: 464-465]
Ulama lainnya memberikan perincian yang lain, yaitu kadang-kadang hukum berobat adalah wajib, kadang-kadang sunnah, kadang-kadang mubah, kadang-kadang makruh, dan kadang-kadang haram. Berobat dengan barang-barang yang haram, maka hukumnya haram.
Selain itu, hukum berobat menjadi wajib apabila ada hak-hak orang lain yang akan terabaikan dengan adanya penyakit. Misalnya seorang suami yang terkena penyakit yang menghalanginya untuk berhubungan badan dengan istrinya, sedangkan terdapat obat (mujarab) yang sudah diketahui. Jika sang suami tidak mau berobat, hal tersebut justru akan menjerumuskan istrinya ke dalam masalah (yaitu kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi), bahkan dalam perbuatan keji (yaitu selingkuh atau berzina). Orang yang ditimpa penyakit seperti ini, maka wajib baginya untuk berobat.
Kadang-kadang disunnahkan untuk tidak berobat, apabila penyakit tersebut tidak berpengaruh terhadap keselamatan ibadah, atau tidak terkait dengan hak-hak orang lain. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ kepada orang yang terkena penyakit ayan (epilepsi):
“Jika kamu mau, kamu bersabar, maka bagimu Surga. Jika kamu mau, aku akan berdoa kepada Allah, sehingga Dia menyembuhkanmu.” [HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576]
Berobat dimakruhkan bila menggunakan hal-hal makruh, atau akan menyebabkan dibukanya aurat, tanpa ada keperluan mendesak untuk itu. Dalam beberapa kasus lain, berobat hukumnya hanya mubah. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Musthafa bin Al-‘Adawi hafidzahullah, dalam kata pengantar beliau terhadap buku Keajaiban Thibbun Nabawi, hal. 24-25]
Berobat Merupakan Bagian dari Tawakal
Seseorang kadang beralasan ketika tidak mau berobat dengan mengatakan: ”Tawakal saja kepada Allah, Zat Yang memberi kesembuhan.”
Sebenarnya tidak ada yang salah pada kalimat ini. Namun yang kurang tepat adalah pemahaman orang tersebut terhadap hakikat dari tawakal itu sendiri. Seolah-olah kalau kita sakit kemudian berobat, itu tidak termasuk bertawakal kepada Allah ﷻ.
Oleh karena itu kita perlu meninjau kembali, apa yang dimaksud dengan tawakal? Tawakal adalah bersandar kepada Allah ﷻ, untuk meraih sesuatu yang diinginkan, dan untuk menolak sesuatu yang dibenci, disertai dengan melakukan sebab-sebab yang diizinkan di dalamnya.
Sehingga di dalam tawakal harus terpenuhi dua hal:
• Pertama: Bersandar kepada Allah ﷻ dengan sebenar-benarnya.
• Kedua: Melakukan sebab-sebab (usaha atau sarana) yang diizinkan oleh syariat.
Barang siapa yang lebih bersandar kepada sebab (semata-mata bersandar kepada usaha yang dia tempuh), maka kuranglah tawakalnya kepada Allah ﷻ. Selain itu juga berarti mencela kekuasaan Allah ﷻ. Adapun orang yang bersandar kepada Allah ﷻ saja tanpa melakukan usaha, maka hal ini merupakan celaan terhadap hikmah (kebijaksanaan) Allah ﷻ. Karena Allah ﷻ menjadikan sebab untuk segala sesuatu. Allah adalah Zat Yang Maha Bijaksana. Allah ﷻ mengaitkan sebab dengan akibatnya (musabbabnya). Hal ini sebagaimana orang yang bersandar kepada Allah untuk memiliki anak, namun dia tidak mau menikah. [Lihat Al-Qaulul Mufiid, 2: 28]
Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah, bahwa berobat tidak bertentangan dengan tawakal. Bahkan hakikat tauhid tidaklah sempurna, kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang dikaitkan oleh Allah dengan musabbabnya, baik menurut ketentuan takdir-Nya, maupun syariat-Nya. Menolak hukum sebab-akibat berarti melecehkan sikap tawakal itu sendiri. Karena hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allah ﷻ untuk meraih hal-hal yang bermanfaat, dan menolak hal-hal yang membahayakan bagi seorang hamba, dalam urusan dunia dan Akhiratnya. Namun penyandaran hati itu harus disertai dengan melakukan usaha. Bila tidak, maka berarti menentang kebijaksanaan dan syariat Allah ﷻ. [Lihat Zaadul Ma’aad, 4: 11]
Meskipun demikian, di antara para ulama terdapat perselisihan pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seseorang yang sedang sakit, apakah berobat atau meninggalkan berobat, dalam rangka mewujudkan sikap tawakal kepada Allah?
Dalam permasalahan ini ada dua pendapat yang terkenal di antara para ulama. Yang tampak (baca: zahir) dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah adalah, bahwa bertawakal (yaitu dengan meninggalkan berobat, pen.) itu lebih utama bagi orang yang mampu. Pendapat beliau ini didasarkan pada hadis Nabi ﷺ yang menceritakan, bahwa di antara umat beliau ﷺ ada tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:
”Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan tathayyur, tidak meminta agar diruqyah, dan tidak meminta di-kay. Dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakal.” [HR. Muslim no. 218]
Tathayyur adalah menganggap akan tertimpa kesialan setelah mendengar atau melihat sesuatu yang tidak disukai.
Kay yaitu metode pengobatan dengan cara disundut dengan api. Terdapat hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ membenci dan melarang umatnya untuk berobat dengan metode pengobatan tersebut. Beliau ﷺ bersabda:
“Kesembuhan (terapi pengobatan) itu ada tiga cara, yaitu:
• Berbekam,
• Minum madu, dan
• Kay.
Sedangkan aku melarang umatku berobat dengan kay.” [HR. Bukhari no. 5681]
Adapun ulama yang mengatakan bahwa berobat itu lebih utama, mereka rahimahullah mengatakan, bahwa Nabi ﷺ berobat ketika sakit. Dan beliau ﷺ tidaklah melakukan sesuatu, kecuali itulah perkara yang lebih utama. Adapun maksud hadis di atas adalah berobat dengan ruqyah yang makruh, yaitu ruqyah yang dikhawatirkan mengandung unsur kesyirikan. Hal ini bisa dilihat dari penyebutan ruqyah tersebut bersama dengan penyebutan pengobatan dengan metode kay dan tathayyur. Padahal hukum keduanya adalah makruh, atau bahkan haram. [Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 500-501]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga menjelaskan beberapa sebab maksud hadis di atas. Salah satunya karena ketika seseorang meminta orang lain untuk meruqyah dirinya, terdapat unsur ketergantungan hati kepada selain Allah ﷻ. Sehingga dirinya tidak bergantung kepada Allah ﷻ, dan justru bergantung kepada manusia yang meruqyah dirinya, atau kepada ruqyah itu sendiri. [Lihat Al-Qaulul Mufiid, 1: 102-103]
Kondisi yang sama bisa jadi kita dapatkan pada orang yang berobat. Yaitu dia lebih bergantung kepada obat, dokter, atau tabib itu sendiri, dan tidak bergantung kepada Allah ﷻ. Padahal ketika sedang berusaha, seseorang tidak boleh bersandar kepada usahanya, namun hatinya tetap bergantung kepada Allah ﷻ. Mungkin hal inilah yang menjadi landasan pendapat Imam Ahmad rahimahullah ketika mengatakan, bahwa meninggalkan berobat itu lebih utama. [Lihat Al-Qaulus Sadiid Syarh Kitab Tauhiid, 1: 46]
Kesimpulannya, seseorang hendaknya berobat ketika jatuh sakit, dan hal ini tidaklah bertentangan dengan tawakal, selama orang tersebut tetap bergantung kepada Allah ﷻ, Zat Yang menyembuhkan segala macam penyakit. Sebagaimana doa Nabi ﷺ ketika menjenguk sahabatnya yang sedang sakit:
“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Engkaulah Asy-Syaafi (Zat Yang menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” [HR. Bukhari no. 5675 dan Muslim no. 2191]
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
”Jika terbukti bahwa berobat itu hukumnnya mubah berdasarkan ijmak, atau sunnah menurut pendapat sebagian ulama, maka kita tidak perlu memerhatikan pendapat sekelompok orang yang mengatakan bahwa berobat itu bertentangan dengan tawakal. Karena terdapat ijmak, bahwa berobat itu tidaklah bertentangan dengan tawakal. Dan terdapat hadis yang sahih dari Nabi ﷺ bahwa beliau berobat dan memerintahkan untuk berobat. Berobatnya beliau dan perintah beliau (kepada orang lain, pen.) untuk berobat tersebut menunjukkan, bahwa berobat tidaklah bertentangan dengan tawakal.” [Talbiis Ibliis, hal. 287-288] [Dikutip dari catatan kaki dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 501]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadis-hadis yang memerintahkan untuk berobat:
“Dalam hadis-hadis sahih di atas terdapat perintah untuk berobat. Berobat tidak bertentangan dengan tawakal, sebagaimana menghilangkan rasa haus, lapar, panas, atau dingin dengan lawannya juga tidak bertentangan dengan tawakal. Bahkan hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang telah Allah ﷻ tetapkan bisa mewujudkan musabbab menurut syariat dan realita.“ [Zaadul Ma’aad, 4: 14] (Dalam hal ini, “sebab” adalah “berobat”, sedangkan “musabbab” adalah “kesembuhan”)
Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata:
”Berobat, baik yang hukumnya mubah, sunnah, atau wajib, tidaklah bertentangan dengan tawakal. Karena sebagian orang-orang yang bodoh mengatakan: ’Jangan berobat, dalam rangka bertawakal kepada Allah!’ Maka kita katakan, mengambil sebab (baca: berusaha) tidaklah menafikan tawakal. Sedangkan berobat merupakan salah satu bentuk sebab. Mengambil sebab juga telah diperintahkan oleh Allah ﷻ.” [I’aanatul Mustafiid, 1: 83]