Saya belum memahami hikmah perintah membunuh cicak. Jika membaca riwayat berikut: Diriwayatkan dari Imam Ahmad, “Bahwasanya ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api, maka mulailah semua hewan melata berusaha memadamkannya, kecuali cicak, karena sesungguhnya cicak itu mengembus-embus api yang membakar Ibrahim.” [HR. Imam Ahmad, 6:217]
Cicak yang mengembus agar api semakin membesar terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Apakah cicak termasuk hewan terkutuk sehingga ia tetap harus dibunuh hingga akhir zaman? Bukankah cicak mengurangi populasi nyamuk?
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Pertama:
Terdapat banyak dalil yang memerintahkan kita untuk membunuh cicak, di antaranya:
Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha; Nabi ﷺ memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau menyatakan:
“Dahulu cicak yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” [HR. Muttafaq ‘alaih]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa saja yang membunuh cicak dengan sekali bantingan, maka ia mendapat pahala sekian. Siapa saja yang membunuhnya dengan dua kali bantingan, maka ia mendapat pahala sekian (kurang dari yang pertama), ….” [HR. Muslim]
Dalam riwayat Muslim, dari Sa’ad, bahwa Nabi ﷺ memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebut (cicak) sebagai hewan fasiq (pengganggu).
Semua riwayat di atas menunjukkan, bahwa membunuh cicak hukumnya sunnah, TANPA pengecualian.
Kedua:
Sikap yang tepat dalam memahami perintah Nabi ﷺ adalah sikap “Sami’na wa atha’na” (tunduk dan patuh sepenuhnya) dengan berusaha mengamalkan sebisanya. Demikianlah yang dicontohkan oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka adalah manusia yang jauh lebih bertakwa dan lebih berkasih sayang terhadap binatang daripada kita. Di antara bagian dari sikap tunduk dan patuh sepenuhnya adalah menerima setiap perintah tanpa menanyakan hikmahnya. Dalam riwayat-riwayat di atas, tidak kita jumpai pertanyaan sahabat tentang hikmah diperintahkannya membunuh cicak. Mereka juga tidak mempertanyakan status cicak zaman Ibrahim jika dibandingkan dengan cicak sekarang. Jika dibandingkan antara mereka dengan kita, siapakah yang lebih menyayangi binatang?
Ketiga:
Penjelasan di atas tidaklah menunjukkan, bahwa perintah membunuh cicak tersebut tidak ada hikmahnya. Semua perintah dan larangan Allah ada hikmahnya. Hanya saja ada hikmah yang zahir, sehingga bisa diketahui banyak orang, dan ada hikmah yang tidak diketahui banyak orang. Adapun terkait hikmah membunuh cicak, disebutkan oleh beberapa ulama sebagai berikut:
Imam An-Nawawi menjelaskan: “Para ulama sepakat, bahwa cicak termasuk hewan kecil yang mengganggu.” [Syarh Shahih Muslim, 14:236]
Al-Munawi mengatakan: “Allah memerintahkan untuk membunuh cicak karena cicak memiliki sifat yang jelek, sementara dulu, dia meniup api Ibrahim sehingga (api itu) menjadi besar.” [Faidhul Qadir, 6:193]
Keempat:
Hikmah yang disebutkan di atas hanya sebatas untuk semakin memotivasi kita dalam beramal, bukan sebagai dasar beramal. Karena dasar kita beramal adalah perintah yang ada pada dalil, dan bukan hikmah perintah tersebut, baik kita tahu hikmahnya maupun tidak.
Kelima:
Segala sesuatu memiliki manfaat dan madarat. Kita yang pandangannya terbatas akan menganggap, bahwa cicak memiliki beberapa manfaat yang lebih besar daripada madaratnya. Namun bagi Allah Dzat yang pandangan-Nya sempurna, hal tersebut menjadi lain. Allah menganggap madarat cicak lebih besar dibandingkan manfaatnya. Karena itu Allah memerintahkan untuk membunuhnya. Siapa yang bisa dijadikan acuan: Pandangan manusia yang serba kurang dan terbatas, ataukah pandangan Allah yang Maha Sempurna?
Keenam:
Manakah yang lebih penting, antara mengamalkan perintah syariat atau melestarikan hewan, namun tidak sesuai dengan perintah syariat? Orang yang kenal agama akan mengatakan: “Mengamalkan perintah syariat itu lebih penting. Jangankan hanya sebatas cicak, bila perlu, harta, tenaga, dan jiwa kita korbankan demi melaksanakan perintah jihad, meskipun itu adalah jihad yang sunnah.”
Semoga perenungan ini bisa menjadi acuan bagi kita untuk tunduk dan patuh pada aturan syariat Allah. Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, dari Tim Dakwah Konsultasi Syariah.