Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kamu dengan bersedekah, dan bentengilah hartamu dengan (mengeluarkan) zakat. Karena sesungguhnya hal itu akan mencegah berbagai keburukan dan penyakit.”
Hadis ini dikeluarkan oleh Imam ad-Dailami dalam Musnadul-Firdaus [1] dengan sanad beliau dari jalur Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dari Badal bin al-Muhabbar, dari Hilal bin Malik al-Huwa-i, dari Yunus bin ‘Ubaid, dari Hurr bin ash-Shayyah, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah ﷺ.
Hadis ini adalah HADIS PALSU atau MINIMAL SANGAT LEMAH. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimi. Dia tertuduh memalsukan hadis.
Imam Abu Bakr bin Wahb at-Tammar berkata: “Abu Dawud tidak menampakkan (tuduhan) dusta terhadap seseorangm kecuali terhadap al-Kudaimi dan Ghulam Khalil.” [2]
Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Dia tertuduh memalsukan dan mencuri hadis. Mengaku bertemu orang-orang (para rawi hadis), padahal ia tidak pernah bertemu mereka. Serta mengaku meriwayatkan (hadis) dari mereka, padahal mereka tidak mengenalnya. Mayoritas guru-guru kami meninggalkan riwayat (hadis) darinya.” [3]
Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia memalsukan hadis atas (nama) rawi-rawi hadis yang terpercaya secara jelas. Dan barangkali ia telah memalsukan lebih dari seribu hadis”. [4]
Muhammad bin Yunus al-Kudaimi juga telah melakukan kesalahan dalam hadis ini, karena meriwayatkannya dari jalur lain dengan lafal hadis yang agak berbeda dengan tambahan di akhir hadis. Jalur ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman, [6] dari Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dari al-Muhabbar al-Yarbu’i, dari Hilal bin, dari Yunus bin ‘Ubaid, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma.
Setelah membawakan hadis ini, maka Imam al-Baihaqi berkata: “Hadis ini mungkar (sangat lemah) dengan sanad ini.”
Hadis ini juga dihukumi sebagai hadis palsu oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilatul- Ahaditsidh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah, 8/87, no. 3591.
Hadis ini juga dihukumi tidak sahih oleh al-Lajnah ad-Da-imah (Komite Para Ulama Besar di Arab Saudi) yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baz, dalam Fatwa no. 18369.
Hadis yang semakna dengan hadis di atas juga diriwayatkan oleh beberapa sahabat radhiyallahu anhum dan al-Hasan al-Bashri secara Mursal, tetapi semua riwayat tersebut sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.
Kesimpulannya, hadis ini sangat lemah, bahkan sebagian dari jalur periwayatannya palsu. Yang paling ringan penyebab kelemahannya adalah riwayat Mursal al-Hasan al-Bashri. Akan tetapi tidak ada riwayat lain yang bisa mendukung atau menguatkannya, karena semua sangat lemah. Sehingga hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran atau argumentasi, meskipun sebagian dari para ulama ada yang mengamalkan kandungannya.
Adapun penukilan dari dua kitab Syaikh al-Albani [7] bahwa hadis ini adalah hadis Hasan, maka ini tidak bisa diterima karena beberapa hal:
1. Dalam kitab Sahihul-Jami’ish-Shagir sendiri terdapat tiga nukilan dari beliau rahimahullahm bahwa hadis ini lemah, sangat lemahm dan palsu [8]. Ditambah lagi tiga nukilan dari kitab Silsilatul-Ahaditsidh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah (no. 3591, 3492 dan 575) yang menerangkan bahwa hadis ini palsu, sangat lemah, dan mungkar.
2. Nukilan dari dua kitab di atas hanya bersifat kesimpulan tanpa perincian. Sedangkan nukilan dari kitab Silsilatul-Ahaditsidh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah disertai keterangan rinci dan detail, sehingga lebih layak untuk didahulukan.
3. Ada kemungkinan hadis ini termasuk hadis-hadis yang diteliti ulang oleh Syaikh al-Albani, kemudian beliau rahimahullah rujuk. Awalnya beliau menghukuminya sebagai hadis Hasan. Kemudian setelah menelitinya kembali dan jelas kelemahannya yang sangat, maka beliau menghukuminya sebagai hadis yang sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran. Wallahu a’lam.
Kelemahan hadis yang sangat fatal menjadikan hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk membolehkan bersedekah dengan niat untuk kesembuhan penyakit. Karena ini termasuk keinginan duniawi, yang asalnya tidak boleh dihadirkan ketika melakukan ibadah kepada Allah ﷻ. [9]
Ibadah adalah amal perbuatan mulia yang seharusnya ditujukan untuk meraih balasan mulia dan kekal di sisi Allah ﷻ. Ibadah dan amal saleh yang dilakukan dengan niat untuk mendapatkan balasan duniawi adalah termasuk bentuk perbuatan syirik kepada Allah ﷻ, yang bisa menjadikan pahala amal saleh tersebut gugur.
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna. Dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di Akhirat (kelak) tidak akan memeroleh (balasan) kecuali Neraka. Dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” [QS. Hud/11:15-16]
Ayat yang mulia ini menunjukkan, bahwa amal saleh yang dilakukan dengan niat duniawi termasuk perbuatan syirik, dan bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga. Perbuatan ini juga bisa menggugurkan amal kebaikan. [10]
Sehingga Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (saleh yang dilakukan)nya. [11]
Adapun Syaikh Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menunjukkan contoh-contoh perbuatan ini, beliau menyebutkan di antaranya adalah seseorang yang beribadah dengan tujuan untuk menolak gangguan, penyakit, dan keburukan (dalam urusan dunia) dari dirinya. [12]
Semoga Allah ﷻ melindungi kita dari segala bentuk keburukan yang merusak agama kita. Dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.
Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Catatan Kaki:
[1]. Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam al-Gharaibul-Multaqathah min Musnadil-Firdaus, no. 244 – Disertasi S2.
[2]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Tahdzibut-Tahdzib, 9/476.
[3]. Kitab al-Kamil fi Dhu’afa-ir-Rijal, 6/292-293.
[4]. Kitab al-Majruhin, 2/313.
[5]. Kitab Sualatu Hamzah as-Sahmi, hlm. 111, no. 74.
[6]. Lihat Syu’abul-Iman, 3/282, no. 3556.
[7]. Kitab Sahihut-Targhibi wat Tarhib, 1/182, no. 744 dan Sahihul-Jami’ish-Shaghir, no. 5669.
[8]. Lihat kitab Sahihul-Jami’ish-Shaghir, no. 6469, 6470 dan 6702.
[9]. Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab al-Qaulul-Mufid ‘ala Kitabit-Tauhid, 2/245.
[10]. Lihat kitab Fathul-Majid, hlm. 451.
[11]. Ibid.
[12]. Kitab al-Qaulul-Mufid ‘ala Kitabit-Tauhid, 2/243