بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
DOA MINTA HUJAN DAN TATA CARA SALAT ISTISQO
Musim kemarau terjadi di berbagai belahan wilayah Indonesia akhir-akhir ini. Beberapa daerah bahkan mengalami kekeringan karena hujan tak kunjung turun. Titik-titik api kebakaran hutan dan lahan juga muncul pada daerah-daerah tertentu seperti Kalimantan dan Sumatera. Pada kondisi di mana hujan tak kunjung turun, umat Islam diajarkan untuk berdoa dan salat meminta hujan turun kepada Allah ﷻ.
Di antara dalil yang menunjukkan disyariatkannya Salat Istisqo adalah hadis Abdullah bin Zaid. Beliau berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ. قَالَ إِسْحَاقُ فِى حَدِيثِهِ وَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا
“Rasulullah ﷺ pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan Istisqo (meminta hujan). Beliau ﷺ pun mengubah posisi ridanya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya) ketika beliau menghadap Kiblat. (Ishaq mengatakan): “Beliau ﷺ memulai mengerjakan salat sebelum berkhutbah, kemudian beliau menghadap Kiblat dan berdoa”.” [HR. Ahmad (4/41). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim]
Rida adalah pakaian yang menutupi badan bagian atas. Sedangkan ada pula yang disebut izar yang menutup separuh badan ke bawah.
Berikut ini adalah panduan ringkas Salat Istisqo:
Pertama: Hendaklah jamaah bersama imam keluar menuju tanah lapang dalam keadaan hina, betul-betul mengharap pertolongan Allah, dan meninggalkan berpenampilan istimewa (meninggalkan berhias diri).
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُتَبَذِّلاً مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى – زَادَ عُثْمَانُ فَرَقِىَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا – وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِى الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
“Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri, menghinakan diri, dan banyak mengharap pertolongan Allah, hingga sampai ke tanah lapang. Utsman menambahkan, bahwa kemudian Nabi ﷺ menaiki mimbar, lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini. Akan tetapi beliau senantiasa memanjatkan doa, berharap pertolongan dari Allah, dan bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan salat dua rakaat sebagaimana beliau melaksanakan salat Ied.” [HR. Abu Daud no. 1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadis ini Hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665]
Kedua: Imam berkhutbah di mimbar yang disediakan untuknya sebelum atau sesudah Salat Istisqo. Ketika itu tidak ada azan dan iqomah.
Dalil yang menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilaksanakan sesudah Salat Istisqo adalah hadis Abdullah bin Zaid yang telah disebutkan di atas: “Rasulullah ﷺ pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan Istisqo (meminta hujan). Beliau pun memgubah posisi ridanya ketika beliau menghadap Kiblat. (Ishaq mengatakan): “Beliau ﷺ memulai mengerjakan salat sebelum berkhutbah, kemudian beliau menghadap Kiblat dan berdoa”.” [HR. Ahmad (4/41). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini Sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim]
Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa khutbah tersebut boleh dilaksanakan sebelum Salat Istisqo (2 rakaat) adalah hadis ‘Abbad bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid), ia berkata:
خَرَجَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتَسْقِى فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Nabi ﷺ keluar untuk melakukan Istisqo (meminta hujan). Kemudian beliau menghadap Kiblat dan mengubah posisi ridanya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya). Lalu beliau melaksanakan salat dua rakaat dengan menjahrkan bacaannya.” [HR. Bukhari no. 1024]
Syaikh Abu Malik hafizhahullah mengatakan: “Berdasarkan hadis-hadis di atas, perintah untuk berkhutbah di sini ada kelonggaran, boleh dilakukan sebelum atau sesudah salat. Pendapat ini adalah pendapat ketiga (dari perselisihan ulama yang ada), dan dipilih oleh Madzhab Imam Ahmad, pendapat Asy Syaukani dan lainnya.” [Shahih Fiqh Sunnah, 1/441]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan:
“Tidak disunnahkan azan dan iqomah pada Salat Istisqo. Kami tidak tahu kalau dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan pendapat).” [Al Mughni, 2/285]
Ketiga: Hendaknya imam memerbanyak doa sambil berdiri menghadap Kiblat, bersungguh-sungguh mengangkat tangan ketika berdoa (sampai nampak ketiak), dan hendaknya imam mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit. Para jamaah ketika itu juga dianjurkan untuk mengangkat tangan. Kemudian imam ketika itu mengubah posisi ridanya (yang kanan dijadikan ke kiri dan sebaliknya) [Di sini jamaah tidak perlu mengubah posisi ridanya. Hanya khusus imam. Sebagaimana hal ini diterangkan oleh Syaikh Umar Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi’]
Sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam hadis-hadis yang telah lewat, ditambah hadis dari Anas bin Malik, beliau mengatakan:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.
“Nabi ﷺ pernah melakukan Istisqo, lalu ia mengangkat punggung tangannya dan diarahkan ke langit.” [HR. Muslim no. 896]
Dalil yang menunjukkan bahwa para jamaah juga ikut mengangkat tangan adalah hadis dari Anas bin Malik:
فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
“Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Kemudian para jamaah ketika itu turut serta mengangkat tangan mereka bersama beliau untuk berdoa.” [HR. Bukhari no. 1029]
Anas bin Malik juga mengatakan:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
“Nabi ﷺ biasa tidak (bersungguh-sungguh) mengangkat kedua tangannya dalam setiap doa beliau, kecuali dalam doa Istisqo. Ketika itu beliau mengangkat tangan sampai-sampai terlihat ketiaknya yang putih.” [HR. Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 895]
Keempat: Membaca doa Istisqo
Di antara doa Istisqo yang dibaca adalah:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْىِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ
Allaahummasqi ‘ibaadaka wabahaa imaka wansyur rohmataka wa ahyi baladakal mayyita.
Artinya:
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada hamba-Mu, pada hewan ternak-Mu. Berikanlah rahmat-Mu dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati.” [HR. Abu Daud no. 1176, Hasan]
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
Allaahumma aghistnaa, Allaahumma aghistnaa, Allaahumma aghistnaa.
Artinya:
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.” [HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897]
Kelima: Mengerjakan Salat Istisqo sebanyak dua rakaat sebagaimana Salat Ied. Sehingga pengerjaan Salat Istisqo:
• Pada rakaat pertama ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali, dan
• Pada rakaat kedua ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak lima kali.
Bacaan ketika salat tersebut dijahrkan (dikeraskan).
Dalilnya adalah hadis Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan:
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
“Kemudian beliau ﷺ mengerjakan salat dua rakaat sebagaimana beliau melaksanakan Salat Ied.” [HR. Abu Daud no. 1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadis ini Hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665]
Dari ‘Abdullah bin Zaid, beliau mengatakan:
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Lalu beliau ﷺ melaksanakan salat dua rakaat dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaannya.” [HR. Bukhari no. 1024]
Catatan:
Istisqo (meminta hujan) juga bisa dilakukan tanpa keluar ke tanah lapang. Istisqo bisa dilakukan ketika khutbah Jumat dan berdoa ketika itu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:
Dari Anas bin Malik, beliau menceritakan:
“Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada waktu Jumat melalui arah Darul Qodho. Kemudian ketika Rasulullah ﷺ berdiri dan berkhutbah, Rasulullah ﷺ kemudian menghadap Kiblat sambil berdiri. Kemudian laki-laki tadi pun berkata: “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang mati, dan kami pun sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk unta, pen). Mohonlah pada Allah agar menurunkan hujan pada kami.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdoa:
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
Allaahumma aghistnaa, Allaahumma aghistnaa, Allaahumma aghistnaa
Artinya:
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.”
Anas mengatakan:
“Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan gumpalan awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun rumah. Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung tersebut. Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah hujan. Demi Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian ketika Jumat berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui pintu Darul Qodho, dan ketika itu Rasulullah ﷺ sedang berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berdiri dan menghadap beliau ﷺ, lalu ia mengatakan: “Wahai Rasulullah, sekarang ternak kami malah banyak yang mati, dan kami pun sulit melakukan perjalanan. Mohonlah pada Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari.
Artinya:
“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan”
Setelah itu hujan pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengatakan, bahwa beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang bertanya sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak tahu.” [HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897]
Dari riwayat di atas, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah memberikan faidah berharga:
“Hadis ini menunjukkan bolehnya Doa Istisqo dibaca ketika Khutbah Jumat. Doa ini dibaca di mimbar, tanpa perlu menukar posisi rida, dan tanpa perlu menghadap Kiblat. Hadis ini juga menunjukkan boleh mencukupkan Salat Jumat untuk menggantikan Salat Istisqo.” [Fathul Baari, 2/506-507]
Hal ini menunjukkan bahwa Istisqo (meminta hujan) tidak mesti dengan mengerjakan salat khusus. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/444]
Tulisan di atas diambil dari buku penulis: Panduan Amal Shalih di Musim Hujan yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[Artikel Muslim.Or.Id]
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
#SalatIstisqo #ShalatIstisqa #SolatIstisqa #Istisqa #Istisqo #caramintahujan #doamintahujan #salatmintahujan #bagaimanamintahujan #tatacaraSalatIstisqoIstisqa
DOA MINTA HUJAN DAN
Leave A Comment