بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
DOA MEMOHON AKHLAK MULIA
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallohu’anhu Rasulullah ﷺ dalam salah satu doanya beliau mengucapkan:
اَلَّهُمَّ ا هْدِ نِيْ لِأَ حْسَنِ الأَ خْلاَ قِ، فَاِ نّهُ لاَ يَهْدِ يْ لِأَ حْسَنِهَا اِلاَّ أَنْتَ،
وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَا لَا يَسْرِفُ عَنِّىْ سَيِّئَهَا اِلَّا اَنْتَ
ALLAHUMMAHDINII LIAHSANIL AKHLAAQI FA INNAHU LAAYAHDII LIAHSANIHAA ILLA ANTA, WASHRIF ‘ANNII SAYYI–A–HAA LAA YASRIFU ‘ANNII SAYYI–A–HAA ILLA ANTA
Artinya:
“Ya Allah… tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menunjukkan kepadanya selain engkau. Dan jauhkanlah aku dari keburukan, karena sesungguhnya tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.” [HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419]
Beberapa Faidah
Akhlak menurut bahasa artinya karakter, perilaku dan budi pekerti. Sedangkan menurut istilah, akhlak mulia adalah menghiasi diri dengan kebaikan dan menahan diri dari kejelekan. Dan kebaikan sendiri harus sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah.
Hadis ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad ﷺ sebagai suri tauladan bagi seluruh umat ini memunyai karakter dan budi pekerti Robbani yang agung. Allah ﷻ berfirman:
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” [QS. Al-Qolam:4]
Di antara keutamaan akhlak mulia adalah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabda beliau:
مَا مِنْ شَئٍ اَثْقَلَ فِىْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَاِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيَ
“Tidak ada yang lebih berat timbangan orang yang beriman pada Hari Kiamat dibandingkan akhlak mulia. Dan sesungguhnya Allah membenci orang yang berbuat jelek dalam bicara.” [HR. At-Tirmidzi:2002, Ahmad:6/451, dan disahihkan Al-Bani dalam Ash-Shohiihah 876]
Berkata syaikh Sholih bin Thoha Abdul Wahid [Al-Jami’ fid du’ain Nafi’ halaman 466-467]:
“Di antara Islam memerintahkan akhlak mulia adalah:
1. Ahlak mulia bisa menjadikan seseorang kekasih Allah. Dengan demikian, jika dia berdoa, niscaya dikabulkan doanya dan tidak mendapatkan azab.
2. Akhlak mulia bisa menambah berat timbangan amal pada Hari Kiamat kelak.
3. Akhlak mulia sebagai jalan menuju Surga.
4. Akhlak mulia dapat meninggikan derajat seseorang di Surga.
5. Akhlak mulia dapat menjadikannya teman dekat Rasulullah ﷺ pada Hari Kiamat.
6. Akhlak mulia bisa menjadikan pelakunya termasuk orang-orang Mukmin yang paling mulia.”
Akhlak Mulia Antara Sifat Alami dan Usaha
Sebagaimana akhlak merupakan sebuah tabiat atau ketetapan asli, akhlak juga bisa diperoleh atau diupayakan dengan jalan berusaha. Maksudnya, bahwa seorang manusia sebagaimana telah ditetapkan padanya akhlak yang baik dan bagus, sesungguhnya memungkinkan juga baginya untuk berperilaku dengan akhlak yang baik dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya.
Untuk itu Nabi ﷺ berkata kepada Asyajj ‘Abdul Qais:
إن فيك لخلقين يحبهما الله: الحلم والأناة
“Sesungguhnya dalam dirimu ada dua sifat yang Allah sukai: Sifat santun dan tidak tergesa-gesa.”
Ia berkata:
يا رسول الله , أهما خلقان تخلقت ما , أم جبلني الله عليهما
“Wahai Rasulullah, Apakah kedua akhlak tersebut merupakan hasil usahaku, atau Allah-kah yang telah menetapkan keduanya padaku?”
Beliau ﷺ menjawab:
بل جبلك الله عليهما
“Allah-lah yang telah mengaruniakan keduanya padamu.”
Kemudian ia berkata:
الحمد لله الذي جبلني على خلقين يحبهما ورسوله
“Segala puji bagi Allah yang telah memberiku dua akhlak yang dicintai oleh-Nya dan oleh Rasul-Nya.” [Dikeluarkan oleh Abu Daud, No (5225) di Kitaabul Adab, dan Ahmad (4 / 206). Imam Muslim hanya mengeluarkan bagian yang pertama saja, No (25 & 26) di Kitaabul Iimaan,juga oleh Imam Tirmidzi, No (2011) di Kitaabul Bir Wash Shilah]
Maka hal ini menunjukkan, bahwa akhlak terpuji dan mulia bisa berupa perilaku alami (yakni karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya), dan juga dapat berupa sifat yang dapat diusahakan atau diupayakan. Akan tetapi tidak diragukan lagi, bahwa sifat yang alami tentu lebih baik dari sifat yang diusahakan. Karena akhlak yang baik, jika bersifat alami akan menjadi perangai dan kebiasaan bagi seseorang. Ia tidak membutuhkan sikap berlebih-lebihan dalam membiasakannya.
Juga tidak membutuhkan tenaga dan kesulitan dalam menghadirkannya. Akan tetapi ini adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Ia diberikan kepada seorang hamba yang dikehendaki oleh-Nya. Barang siapa yang terhalang dari hal ini – yakni terhalang dari akhlak tersebut secara tabiat alami, maka sangat mungkin baginya untuk memerolehnya dengan jalan berusaha dan berupaya untuk membiasakannya, yaitu dengan cara membiasakan dan melakukannya terus-menerus.
Siapakah yang Lebih Utama?
Dari sini timbul pertanyaan, yaitu: Siapakah yang lebih utama, seseorang yang telah dikaruniakan padanya akhlak yang terpuji, dan seseorang yang bersungguh-sungguh berusaha dan berupaya agar dapat memeroleh akhlak tersebut. Manakah di antara keduanya yang lebih tinggi kedudukannya?
Maka, kami berkata sebagai jawaban dari pertanyaan ini:
Sesungguhnya tidak diragukan lagi, bahwa seseorang yang telah diberikan padanya akhlak yang baik, tentu lebih sempurna jika dilihat dari segi perilakunya yang memang sudah seperti itu, ataupun dilihat dari sisi telah tertanamnya akhlak yang baik tersebut pada dirinya. Karena dia tidak akan merasa kepayahan dan kesulitan ketika menghadirkannya, dan juga tidak akan hilang darinya akhlak tersebut meskipun ia berada di mana pun juga, karena memang akhlak yang baik telah menjadi perangai dan tabiat aslinya.
Kapan pun engkau bertemu dengannya, pasti akan mendapatinya baik akhlaknya. Dan dalam keadaan bagaimana pun juga engkau bertatap muka dengannya, pasti akan menemuinya terpuji perilakunya. Maka, dari sisi yang satu ini dia tentu lebih sempurna tanpa diragukan lagi.
Adapun yang satunya lagi, ia telah bersungguh-sungguh berjuang melawan dan melatih dirinya untuk dapat berperilaku baik. Maka tidak diragukan lagi, bahwa dia mendapat pahala dari sisi perjuangannnya dalam melawan dirinya, dan tentu saja dia lebih utama dari sisi yang ini. Akan tetapi bagaimana pun juga, jika ditinjau dari segi kesempurnaan akhlak, tentu saja dia kurang sempurna dari figur yang pertama.
Adapun jika ada seseorang yang mendapatkan karunia tersebut kedua-keduanya, yaitu secara alami dan setelah berusaha dan berupaya, tentu saja dia akan lebih sempurna lagi. Jadi ringkasnya, seseorang dalam masalah ini terbagi menjadi empat golongan:
1. Orang yang terhalang untuk mendapatkan akhlak yang mulia, baik secara alami maupun dengan jalan usaha dan upaya.
2. Orang yang terhalang dari hal tersebut secara alami, akan tetapi ia dapat berusaha untuk memilikinya.
3. Orang yang dikaruniai keduanya.
4. Orang yang memunyai akhlak secara alami, akan tetapi terhalang dari usaha dan upaya untuk memilikinya.
Dan tentu saja tidak diragukan lagi, bahwa golongan yang ketiga adalah yang paling utama, karena ia menyatukan antara keduanya dalam kemuliaan akhlaknya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berpendapat, bahwa semua akhlak mulia terlahir dari dua perkara:
1. Kekhusyukan, dan
2. Tingginya kemauan
Beliau bertutur dalam kitabnya al-Fawaa-id, Hal (210 & 211):
“Adapun akhlak-akhlak yang mulia, seperti sabar, berani, adil, perangai yang baik, menjaga kesucian dari hal-hal haram dan memelihara diri darinya, dermawan, santun, suka memberi maaf, suka memberi ampun, rela menanggung beban, mengutamakan orang lain, mulianya diri dari segala perilaku yang hina-dina, rendah diri, rela menerima apa adanya, jujur, ikhlas, membalas kebaikan dengan semisalnya atau bahkan melebihkannya, menutup mata dari kesalahan-kesalahan orang lain, tidak menyibukkan diri dari hal yang tidak ada manfaatnya, dan sikap hati yang selalu mengritisi akhlak yang tercela dan yang semacamnya. Maka, semua akhlak yang terpuji tersebut tumbuh dari ke-kusyu’-kan dan tingginya kemauan. Dan Allahl telah mengabarkan tentang bumi ini, bahwasanya dahulunya bumi ini khusyu’ atau tunduk, kemudian ia diguyur oleh air hujan lalu mulailah ia bergerak. Dan bertambahlah keindahan dan keelokannya. Begitulah pula keadaan manusia jika ia mendapat bagian dari taufiq atau hidayah-Nya.”
Semoga Allah ﷻ memudahkan kita untuk selalu berakhlak mulia dan menjadikannya jalan meraih tingginya kemuliaan di Surga-Nya kelak.
Wallahul musta’aan…
Maraji:
Majalah Al-Mawaddah Edisi 4/3
Maakaarimal Akhlaaq oleh Faqihuz Zaman Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullâhu wa Askanahu al-Jannah al-Fasîh diterjemahkan oleh Abu Musa Al-Atsari
Sumber: http://assunnah-qatar.com/artikel/akhlak-dan-nasehat/656-do%E2%80%99a-memohon-akhlak-mulia.html
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…