“Rasulullah ﷺ memasang tenda dari tikar di masjid, sehingga jadi sebuah kamar berukuran kecil, dan beliau salat (malam) di situ. Melihat hal tersebut, beberapa orang sahabat mendatangi tempat itu dan ikut salat bermakmum di belakang Nabi Muhammad ﷺ (di riwayat lain, malam kedua para sahabat juga datang ke masjid untuk salat bersama Nabi. Di malam ketiga jumlah yang ikut salat lebih banyak lagi, dan Nabi ﷺ tetap ke masjid).
Pada suatu malam (yaitu malam keempat), mereka datang ke masjid. Ketika Rasulullah ﷺ dirasa terlambat dan tidak keluar menemui mereka, maka mereka mengeraskan suara dan melempari pintu rumah Nabi ﷺ dengan kerikil, untuk memberi tahu beliau ﷺ, karena mereka menyangka kalau-kalau beliau lupa.
Maka dalam keadaan marah Rasulullah ﷺ keluar menemui mereka sambil bersabda (di riwayat al-Bukhari, no. 2012, yaitu setelah selesai Salat Subuh):
“Janganlah kalian berbuat demikian, karena aku khawatir bahwa salat malam itu akan diwajibkan kepada kalian. Karena itu salatlah di rumah masing-masing. Karena sebaik-baik salat seseorang adalah yang dilakukan di rumahnya sendiri, kecuali salat wajib.” [HR. Al-Bukhari (6113) dan Muslim (731)]
Al-‘Allamah as-Sindi rahimahullah menyatakan:
قد ورد هذا الحديث في صلاة رمضان فى مسجده – صلى اللَّه عليه وسلم -، فإذا كان صلاة رمضان في البيت خيرًا منها في مسجده – صلى اللَّه عليه وسلم -، فكيف غيرها في مسجد آخر، نعم كثير من العلماء يرون أن صلاة رمضان في المسجد أفضل، وهذا يخالف هذا الحديث، لأن مورده صلاة رمضان
“Hadis ini dalam konteks pelaksanaan Salat Tarawih di masjid Nabi Muhammad ﷺ. Apabila Salat Tarawih di rumah lebih utama daripada mengerjakannya di masjid Nabi, lantas bagaimana lagi jika dibandingkan dengan masjid lain? Benar bahwa banyak ulama berpendapat Salat Tarawih di masjid lebih utama. Akan tetapi pendapat ini menyelisihi kandungan hadis di atas yang konteksnya tentang Salat Tarawih.” [Syarah Sunan an-Nasa’i, 3/198 melalui Ghayah al-Muna, 17/268]
Di riwayat lainnya, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
صلاةُ المرءِ في بيتِهِ أفضلُ مِن صلاتِهِ في مسجِدي هذا، إلَّا المَكْتوبةَ
“Salat seseorang di rumahnya lebih utama daripada salat yang dia kerjakan di masjidku ini (Masjid Nabawi), kecuali salat wajib.” [SAHIH (Ash-Sahih al-Musnad, 359), HR. Abu Dawud (1044)]
“Jika salat sunnah di rumah lebih utama daripada salat di masjid Nabi ﷺ, padahal salat di masjid beliau lebih baik dari 1000 salat, maka keutamaan apalagi yang lebih jelas dari hal ini. Oleh sebab itu Malik, asy-Syafi’i¹, serta ulama yang sejalan dengan mereka berpendapat, bahwa salat di rumah sendirian lebih utama di seluruh salat sunnah. Apabila di masjid sudah ada pelaksanaan Tarawih meski dengan jumlah rakaat yang paling sedikit, maka mengerjakan Salat Tarawih di rumah lebih utama.” [Al-Istidzkar, 2/74]
“Jika salat (Tarawih) memang salat sunnah, maka telah kita ketahui berdasarkan hadis sahih, bahwa salat sunnah yang dikerjakan di rumah ialah yang paling utama.” [At-Tamhid, 8/120]
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata:
وإن استطاع أن يصلي في بيته فهو أفضل
“Jika seseorang mampu untuk salat (Tarawih) di rumahnya (tidak malas), maka ini lebih utama.” [Fadha’ih wa Nasha’ih, hlm. 85]
Dari sini, jika seseorang sanggup, maka mengerjakan Salat Tarawih di rumah tentu hal yang baik.
Imam Malik rahimahullah berkata:
قيام رَمَضَان فِي الْبَيْت لمن قوي عَلَيْهِ أحب إِلَيّ
“Mengerjakan salat malam di bulan Ramadan (Tarawih) di rumah bagi orang yang kuat lebih aku sukai.” [Hilyah al-Ulama, 2/119, baca at-Tamhid, 8/115]
Asy-Syaikh Muhammad Ali Adam al-Ityubi rahimahullah berkata:
من كان يخشى أن لا يقوم في البيت، بأن يغلبه النوم، أو يحصل له تشويش من أهل بيته، أو نحو ذلك مما يصدّه عن قيام الليل، فالأفضل في حقّه أن يصلي في المسجد
“Orang yang khawatir tidak bisa mengerjakan Tarawih jika di rumah, seperti khawatir ketiduran, atau terganggu oleh anggota keluarganya, atau hambatan lainnya yang menghalangi dari mengerjakan Tarawih di rumah, maka yang utama baginya adalah mengerjakan Tarawih di masjid.” [Al-Bahr al-Muhith ats-Tsajjaj, 15/662]
“Ibnu Umar tidak mengerjakan salat malam (Tarawih) bersama dengan orang-orang pada bulan Ramadan.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (Al-Mushannaf, 7714)]
Al-A’masy berkata tentang Ibrahim an-Nakha’i yang tidak mengerjakan Salat Tarawih berjamaah di masjid:
“Ibrahim adalah imam salat pada salat wajib, tetapi beliau tidak mengimami mereka pada salat (Tarawih) Ramadan.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (Al-Mushannaf, 7717)]
“Seandainya saya tidak mempunyai hafalan kecuali satu atau dua surat saja, maka mengulang-ulangnya [dengan Salat Tarawih sendiri] lebih saya suka daripada berdiri di belakang imam pada salat malam Ramadan.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (Al-Mushannaf, 7716)]