Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan Kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka. Para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barang siapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya. [HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi) dan selainnya]
Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama Rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama Rabbani, sebagaimana firman Allah ﷻ:
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata):”Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [QS. Ali Imran: 79].
Hal ini pun dilakukan Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu, dengan sabdanya:
Jika kalian melewati taman Surga maka berhentilah. Mereka bertanya: ”Apakah taman Surga itu?” Beliau ﷺ menjawab: ”Halaqah zikir (majelis Ilmu). [HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4].
Di antara faidah majelis ilmu ialah:
• Mengamalkan perintah Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ dan mencontoh jalan hidup para Salaf Shalih.
• Mendapatkan ketenangan.
• Mendapatkan rahmat Allah ﷻ
• Dipuji Allah di hadapan para malaikat.
• Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
• Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.
Adab Majelis Ilmu
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu di antaranya ialah:
• Ikhlas
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu hanya karena Allah semata, tanpa disertai riya dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya, karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata: “Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.” [Lihat Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, hal.68]
• Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangatlah diperlukan. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.
Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab, seorang ulama Nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi: “Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran Nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Melainkan ilmu didapatkan dengan kesungguhan dan kesabaran.
Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal:
‘Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukai-Nya. Tidak ada seorang pun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah Ahli Bait Nabi ﷺ.”
Demikian juga Imam Malik ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain: “Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris.”
Abul Hasan Al Karkhi berkata:
“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jumat walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya.”
Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu, sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.
• Bersegera Datang ke Majelis Ilmu dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya dari Selainnya
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua,?” ia menjawab:“Tidak bergantung kepada orang lain, bepergian ke negeri-negeri, dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang.” [Lihat Rihlah Fi Thalabil Hadis, hal.196]
• Mencari dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran yang Ada di Majelis Ilmu yang Tidak Dapat Dihadirinya
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu, seperti sakit dan yang lainnya, sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.
• Mencatat Fidah-Faidah yang Didapatkan dari Kitab
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita, jika membeli sebuah buku agar tidak memasukkannya ke perpustakaan, kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis, pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi, dan membuka-buku sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.
• Tenang dan Tidak Sibuk Sendiri dalam Majelis Ilmu
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata: “Tidak ada seorang pun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung. Atau seakan-akan mereka berada dalam shalat” [Tadzkiratul Hufadz 1/331]. Dan dalam riwayat yang lain: “Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar.” [Siyar A’lam Nubala 4/1470]
• Tidak Boleh Berputus Asa
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk di sana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti: “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata: “Lalu terpecahlah problem tersebut.”
Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.
• Jangan Memotong Pembicaraan Guru atau Penceramah
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita dengan sabdanya:
ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه
Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’].
Imam Bukhari menulis di Shahihnya: Bab “Orang Yang Ditanya Satu Ilmu dalam Keadaan Sibuk Berbicara, Hendaknya Menyempurnakan Pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadis:
Dari Abu Hurairah, beliau berkata:“Ketika Rasulullah ﷺ berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang Arabi dan bertanya:”Kapan Hari Kiamat?” (Tetapi) beliau ﷺ terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau ﷺ) bertanya: “Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang Hari Kiamat?” Dia menjawab:”Saya, wahai Rasulullah ﷺ.” Lalu beliau ﷺ berkata: “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah Hari Kiamat”. Dia bertanya lagi: “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau ﷺ menjawab: “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” [HR. Bukhari].
Rasulullah ﷺ dalam hadis ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.
• Beradab dalam Bertanya
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah ﷻ dalam firman-Nya:
Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174].
Imam Ibnul Qayim berkata:
”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.” [Miftah Daris Sa’adah 1/169]
Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan:”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.” [Al Faqiih Wal Mutafaaqih 1/143]
Adab Bertanya
Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, di antaranya:
a. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji
Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. [QS. An Nahl: 43].
Dalam ayat ini Allah ﷻ menyebutkan syarat pertanyaan adalah tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah ﷺ dalam hadis Jibril yang masyur.
b. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya, atau menyebabkan kesulitan bagi kaum Muslimin. Sebagaimana Allah ﷻ melarang dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. Dan jika kamu menanyakan di waktu Alquran itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [QS. Al Maidah: 101].
Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya. [Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad].
Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi. Rabi’ bin Khaitsam berkata: “Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitabnya dari ilmu maka syukurilah. Dan yang Allah tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang alim dan jangan mengada-ada. Karena Allah taala berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ:
Katakanlah (hai Muhammad): ”Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Alquran ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Alquran setelah beberapa waktu lagi. [Shad: 86-88]. [Jami’ Bayanil Filmi Wa Fadhlihi 2/136]
c. Diperbolehkan bertanya kepada seorang alim tentang dalil dan alasan pendapatnya
Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148: “Jika seorang alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.
d. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang alim yang belum jelas. Berdasarkan dalil hadis Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Saya shalat bersama Nabi ﷺ, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan? Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud: “Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab: “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. [HR. Bukhari dan Muslim].
e. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain
• Mengambil Akhlak dan Budi Pekerti Gurunya
Tujuan hadir di majelis ilmu bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius, yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang alim, untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.
Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau. [Siyar A’lam Nubala 11/316]
Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata: “Saya menghadiri majelis Abu Abdillah, beliau sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya, duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”. [Siyar A’lam Nubala 11/316]
Demikianlah perihal kehadiran kita dalam majelis ilmu. Hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.
Mudah-mudahan bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Dinukil dari tulisa berjudul: “Adab Majelis Ilmu” yang ditulis oleh: Abu Asma Kholid Syamhudi