Apabila seseorang bertekad untuk melakukan safar, disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah taala. Dia melakukan salat dua rakaat selain salat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut:
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara gaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan Anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku berkah padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan Anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di mana pun dia, dan jadikanlah aku rida dengannya.” [HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi ﷺ: فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا (pada seluruh perkara): “Lafal ini umum namun yang dimaksud adalah khusus. Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.” [Fathul Bari, 11/188]
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan salat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2. Musyawarah Sebelum Safar
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan. Allah ﷻ berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.” [QS. Ali ‘Imran: 159]
Perintah ini ditujukan kepada Nabi ﷺ, padahal beliau ﷺ adalah manusia yang paling baik dan paling benar pandangannya. Beliau ﷺ bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan. Demikian pula khalifah-khalifah setelahnya, mengajak orang-orang yang shalih dan memiliki pandangan yang baik untuk bermusyawarah dengan mereka. [Syarh Riyadhis Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, 2/520]
Maka, bermusyawarah sebelum safar merupakan petunjuk Nabi ﷺ yang seharusnya diikuti.
3. Menyiapkan Bekal Safar
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakal.” [Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 121]
Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Penduduk Yaman pernah naik haji tanpa membawa bekal. Mereka berkata: ‘Kami bertawakkal kepada Allah.’ Setelah tiba di Makkah, ternyata mereka meminta-minta kepada orang-orang di sana. Lalu Allah menurunkan ayat teguran:
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (3/449) berkata: “Al-Muhallab berkata: ‘Dalam hadis ini terdapat faidah bahwa meninggalkan meminta-minta kepada orang lain termasuk ketakwaan’.”
4. Membawa Teman dalam Safar
Dianjurkan bagi musafir untuk membawa teman yang bisa membantu tatkala dibutuhkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seandainya manusia mengetahui apa-apa yang ada pada safar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka seorang musafir tidak akan melakukan safar pada malam hari sendirian.” [HR. Al-Bukhari no. 2998 dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma]
Adapun hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma:
“Pada perang Khandaq, Nabi ﷺ menawarkan (untuk menjadi mata-mata) kepada para sahabatnya. Maka Az-Zubair segera menyambutnya. (Rasulullah ﷺ mengulangi tawarannya sampai tiga kali, dan Az-Zubair selalu menyambutnya). Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Setiap nabi punya penolong, dan penolongku adalah Az-Zubair’.” [HR. Al-Bukhari no. 2997]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: “Hadis ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang safar sendirian dalam keadaan darurat, atau untuk kemaslahatan yang tidak didapatkan melainkan dengan safar sendirian, seperti mengutus mata-mata (dalam perang). Sedangkan safar sendirian selain keadaan tersebut adalah makruh. Bisa jadi pembolehan (safar sendirian) itu adalah saat dibutuhkan pada kondisi aman. Sedangkan pelarangan safar sendirian itu adalah ketika kondisi bahaya, sementara tidak ada kepentingan mendesak untuk melakukan safar.” [Fathul Bari, 6/161]
5. Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila tiga orang akan berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).” [HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
6. Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa Saja yang Diinginkan kepada Allah Taala
Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalmu.” [HR. Abu Dawud no. 2601, dengan sanad yang shahih, dari Abdullah Al-Khatmi radhiyallahu ‘anhu. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud. Asy-Syaikh Muqbil t berkata dalam Al-Jami’ Ash-Shahih [2/503]: “Hadis shahih menurut syarat Muslim.”)
7. Disunnahkan Berangkat pada Hari Kamis
Al-Imam Al-Bukhari t meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 2950) dari Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwasanya Nabi ﷺ berangkat ketika perang Tabuk pada hari Kamis, dan adalah beliau ﷺ menyukai safar pada waktu Kamis.”
Disunnahkan pula berangkat di waktu pagi, karena Rasulullah ﷺ telah berdoa:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berilah berkah untuk umatku di waktu pagi mereka.”
Apabila mengutus pasukan, beliau ﷺ juga memberangkatkan mereka di waktu pagi. [HR. Abu Dawud, no. 2602, At-Tirmidzi no. 1212 dari Shakhr ibnu Wada’ah Al-Ghamidi radhiyallahu ‘anhu. Lihat Shahihul Jami’ no. 2180, Al-Misykat no. 3908, Shahih Abi Dawud no. 2270]
8. Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah Naik Di Atas Kendaraan
”Maha Suci Zat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.” [HR.Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma]
9. Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Kebiasaan Nabi ﷺ dan pasukannya, apabila mereka mendaki bukit-bukit (berjalan naik), mereka bertakbir. Apabila turun, mereka bertasbih.” [HR. Abu Dawud no. 2599, lihat Shahih Abi Dawud no. 263]
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau bersabda:
“Kebiasaan Nabi ﷺ apabila kembali bepergian dari haji atau umrah, tatkala melewati bukit atau tempat yang tinggi, beliau bertakbir tiga kali.” [HR. Al-Bukhari no. 6385 dan Muslim no. 1344]
Hal ini sepantasnya dilakukan oleh seorang musafir, baik tatkala berada di udara (seperti di atas pesawat terbang) ataupun tatkala berada di atas bumi (darat).
10. Berjalan pada Malam Hari
Disunnahkan bagi musafir untuk berjalan pada malam hari, berdasarkan hadis Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hendaklah kalian berjalan pada malam hari (tatkala safar) karena sesungguhnya bumi itu dilipat (dipendekkan) pada malam hari.” [HR. Abu Dawud no. 2571, dishahihkan oleh Asy-Syaih Al-Albani rahimahullah di dalam Ash-Shahihah no. 681. Lihat juga Shahihul Jami, no. 4064]
11. Perbanyak Doa Ketika Safar
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/ minuman yang haram. Anas berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.” [HR. Al-Baihaqi, 3/345. Lihat Ash-Shahihah no. 596]
12. Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadis Khaulah bintu Hakim, beliau berkata, Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.” [HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
14. Mendatangi Keluarganya pada Awal Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
“Rasulullah ﷺ tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau ﷺ mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938]
15. Jika safar cukup lama, dilarang mendatangi keluarganya di malam hari, kecuali ada pemberitahuan sebelumnya
“Rasulullah ﷺ melarang seseorang yang telah lama melakukan safar untuk mendatangi keluarga/istrinya pada malam hari.” [HR. Muslim no. 1928]
Faidah:
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab mereka, bahwa larangan ini berlaku bagi yang datang mendadak tanpa pemberitahuan. Adapun musafir yang sudah memberitahu sebelumnya, maka tidak termasuk dalam larangan ini. Wallahu a’lam. [Fathul Bari, 9/252, Syarh Shahih Muslim, 13/73]
‘Orang-orang yang kembali, bertobat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau ﷺ terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” [HR. Muslim no. 1345]
17. Melakukan salat dua rakaat di masjid terdekat ketika telah tiba
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan salat dua rakaat dengan niat Salat Qudum (salat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadis Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
“Adalah Rasulullah ﷺ apabila kembali dari suatu safar, beliau ﷺ memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan salat dua rakaat di dalamnya.” [HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769]
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dulu kami bersama Nabi ﷺ dalam suatu safar. Tatkala kami tiba di Madinah, Rasulullah ﷺ berkata kepadaku:
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masuklah masjid kemudian salatlah dua rakaat.” [HR. Al-Bukhari no. 3087]
Kebanyakan manusia lalai dari sunnah ini, mungkin karena tidak tahu atau karena menyepelekan. Namun sepantasnya setiap muslim menghidupkan sunnah ini. Wallahul muwaffiq.
Ini adalah sebagian dari adab-adab safar. Bagi yang menginginkan pembahasan lebih luas, silakan membaca dan merujuk kitab Al-Majmu’ karya An-Nawawi rahimahullah dan Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim rahimahullah, serta Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.