Berkaitan dengan banyaknya baju / topi yang bertuliskan Kalimat Tauhid, bagaimana kita menyikapinya? Apakah memang diperbolehkan kita memakai seperti itu?
Jawaban:
Alhamdulillah
Washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa ash habihi ajma’in.
Sebelum kita jawab, perlu ditelusuri dulu apa niat dan latar belakang memakai atribut tauhid itu? Sebagai pertanda keimanan atau untuk syiar Islam?
Jika tujuannya sebagai pertanda keimanan, maka tidak perlu. Kenapa? Memakai atribut tauhid tidak menunjukkan level keimanan seseorang, tidak berbanding lurus dengan kualitas keimanan seseorang. Walaupun ia memakai atribut tauhid mulai dari kaos, rompi, syal, sampai topi, tidak akan otomatis membuatnya jadi ahli tauhid. Lebih baik ia buktikan kualitas keimanannya dengan memahami atau memelajari tentang tauhid dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun jika mengenakan atribut untuk syiar, ini juga tidak perlu. Kenapa? Walaupun di sana ada sisi positifnya, namun banyak di antara kita yang masih belum tahu batasan-batasannya. Bisa jadi saat ia berusaha menyiarkannya pada khalayak, yang ada justru merendahkannya.
Sejatinya memakai atribut tauhid dapat mempersempit ruang gerak, atau malah berpotensi melakukan kesalahan. Misalnya jika para pemakai atribut tauhid akan menunaikan buang hajat, masuk kamar mandi harus dilepas, dan ini tentu saja merepotkan. Kalau sekadar topi mungkin tidak masalah, tapi kalau kaos? Saat sedang jalan ke mall dan butuh ke kamar mandi, maka ia pun harus melepas kaosnya sebelum masuk kamar mandi. Repot kan? Dan andai ia terlanjur masuk kamar mandi dengan memakai atribut tauhid ‘Laa Ilaaha Illallah’, tercatat baginya dosa karena merendahkan Kalimat Tauhid. Karenanya lebih baik hal ini dihindari.
Apakah lantas dilarang memakai antribut secara mutlak?
Berarti tidak boleh kita pakai atribut tauhid apapun tujuannya? Boleh, tapi harus paham konsekuensinya dan ada hal lain yang harus lebih diprioritaskan. Dan ini harus dipahami bukan dari sisi konsumen atribut tauhid saja, tapi juga produsennya. Ia harus memahami bahwa Kalimat Tauhid adalah kalimat yang mulia, sebagaimana mulianya Alquran. Maka tidak boleh ia meremehkan dan merendahkannya, bahkan terlarang pula baginya untuk melakukan sesuatu yang berpotensi merendahkan kalimat mulia tersebut.
Para ulama telah menjelaskan tentang hal ini:
قال الإما فخر الدين الزيلعي الحنفي رحمه الله: وَيُكْرَهُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى على ما يُفْرَشُ ، لِمَا فيه من تَرْكِ التَّعْظِيمِ ، وَكَذَا على الْمَحَارِيبِ وَالْجُدْرَانِ ، لِمَا يُخَافُ من سُقُوطِ الْكِتَابَةِ ، وَكَذَا على الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ
“Dimakruhkan menulis Alquran dan nama-nama Allah taala (lafa; Allah) di sesuatu yang dihamparkan. Karena hal itu termasuk meninggalkan pengagungan terhadapnya (meremehkan atau merendahkan). Begitu juga (menulis) di mihrab dan dinding. Karena dikhawatirkan tulisannya jatuh. Begitu juga di koin Dirham dan Dinar.” [Tabyinul Haqaiq, 1/58]
وقال الشيخ محمد بن عليش المالكي رحمه الله: وينبغي حُرمة نقش القرآن ، وأسماء الله تعالى مطلقاً ، لتأديته إلى الامتهان ، وكذا نقشها على الحيطان
Syaikh Muhammad bin Ulaisy Al-Maliky rahimahullah berkata:
“Seyogyanya diharamkan mengukir Alquran dan nama-nama Allah secara mutlak, karena bisa menuju penghinaan. Begitu juga mengukir di dinding.” [Minahul Jalil, 1/517-518]
Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah yang mewakili pendapat Syafi’iyyah juga mengatakan hal yang sama:
قال الإمام النووي رحمه الله: وتكره كتابته على الجدران عندنا
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Dan dimakruhkan menulisnya di dinding menurut (madzhab) kami.” [At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal 110]
Cara memuliakan lafal Tauhid adalah dengan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari. Nah, jika kalimat mulia seperti Lafal Allah, Kalimat Tauhid, atau bahkan Alquran saja tidak dianjurkan untuk diletakkan/ditulis di sembarang tempat karena khawatir adanya potensi diremehkan, apalagi jika mengenakannya. Jangan sampai saat mengenakan pakaian beratribut tauhid namun dibarengi dengan maksiat, dibarengi dengan merokok, dan aktivitas maksiat lainnya. Kecuali jika ia bisa menjaga adab-adabnya dan paham batasan-batasannya. Dan kecuali pula jika itu untuk hal yang sifatnya syiar dan urgen, seperti lafal mulia yang terpampang pada bendera suatu negara (Saudi Arabia), karena memang sifatnya sebagai lambang identitas dan pembeda dengan yang lain, atau pada bendera perang di zaman dahulu. Karena memang tidak ada kita dapati dalam literatur-literatur sejarah, bahwa para sahabat menuliskan lafal tauhid di pakaian mereka, di kain jubah atau gamis mereka. Justru dengan tidak menuliskan dan meletakkan di sembarang tempat itulah yang dikatakan sebagai bentuk pemuliaan lafal tauhid. Sebab para Salafus Sholeh telah paham, bahwa yang terpenting bukan mengenakan atribut berlafalkan tauhid, tapi memahami, memuliakan, dan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.
Wallahu A’lam
Wabillahittaufiq.
Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله