Dahulu sebelum ibu ana meninggal, beliau titip pesan ke ana untuk di-qadhakan atau dibayarkan fidyah atas puasanya yang ditinggalkannya. Bagaimana hukum meng-qadha atau fidyahnya? Apakah wajib atau tidak?
Jawaban:
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ bersabda:
من مات وعليه صيام صام عنه وليُّه
“Siapa yang meninggal dan dia masih memiliki tanggungan puasa, maka walinya wajib memuasakannya.” [HR. Bukhari 1952 dan Muslim 1147]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
أنّ امرأة ركبَت البحر فنذَرت، إِنِ الله -تبارك وتعالى- أَنْجاها أنْ تصوم شهراً، فأنجاها الله عز وجل، فلم تصم حتى ماتت. فجاءت قرابة لها إِلى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فذكرت ذلك له، فقال: أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟ قالت: نعم، قال: فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فاقضِ عن أمّك
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
Ada wanita yang naik perahu di tengah laut. Kemudian dia bernazar. Jika Allah menyelamatkan dirinya, maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah menyelamatkan dirinya. Namun dia belum sempat puasa sampai mati. Hingga datang putri wanita itu menghadap Nabi ﷺ, dan dia menyebutkan kejadian yang dialami ibunya. Lantas beliau ﷺ bertanya: ‘Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang? Apakah engkau akan melunasinya?’ ‘Ya.’ Jawab wanita itu. Kemudian beliau ﷺ bersabda: ‘Utang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Lakukan qadha untuk membayar utang puasa ibumu.’ [HR. Ahmad 1861, Abu Daud 3308, Ibnu Khuzaimah 2054, dan sanadnya dishahihkan Al-A’dzami]
Juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
أنّ سعد بن عبادة -رضي الله عنه- استفتى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: إِنّ أمّي ماتت وعليها نذر فقال: اقضه عنها
Bahwa Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi ﷺ: ‘Sesungguhnya ibuku mati dan beliau memiliki utang puasa nadzar.’ Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Lunasi utang puasa ibumu.’ [HR. Bukhari 2761, An-Nasai 3657 dan lainnya]
Ketiga hadis di atas menunjukkan, bahwa ketika ada seorang muslim yang memiliki utang puasa dan belum dia qadha hingga meninggal, maka pihak keluarga (wali) orang ini berkewajiban memuasakannya.
Kemudian dari ketiga hadis di atas, hadis pertama bersifat umum. Di mana qadha puasa atas nama mayit berlaku untuk semua utang puasa wajib, baik utang puasa Ramadan maupun utang puasa nadzar. Sedangkan dua hadis berikutnya menegaskan, bahwa wali berkewajiban meng-qadha utang puasa nadzar yang menjadi tanggungan mayit.
Berangkat dari sini ulama berbeda pendapat, apakah kewajiban meng-qadha utang puasa mayit berlaku untuk semua puasa wajib, ataukah hanya puasa nadzar saja?
Pendapat pertama menyatakan, bahwa kewajiban meng-qadha utang puasa mayit berlaku untuk semua puasa wajib, baik puasa Ramadan, puasa nadzar, maupun puasa kaffarah. Ini adalah pendapat Syafiiyah dan pendapat yang dipilih Ibnu Hazm. Dalil pendapat ini adalah hadis A’isyah di atas, yang maknanya umum untuk semua utang puasa.
Pendapat kedua, bahwa kewajiban meng-qadha utang puasa mayit hanya berlaku untuk puasa nadzar. Sedangkan utang puasa Ramadan ditutupi dengan bentuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Madzhab Hambali, sebagaimana keterangan Imam Ahmad yang diriwayatkan Abu Daud dalam Masailnya. Abu Daud mengatakan:
سمعت أحمد بن حنبل قال: لا يُصامُ عن الميِّت إلاَّ في النَّذر
“Saya mendengar Ahmad bin Hambal mengatakan: ‘Tidak diqadha utang puasa mayit, kecuali puasa nadzar.” [Ahkam Al-Janaiz, hlm. 170)]
Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis dari Ummul Mukminin, A’isyah radhiyallahu ‘anha.
Dari Amrah, murid A’isyah, beliau bertanya kepada gurunya A’isyah, bahwa ibunya meninggal dan dia masih punya utang puasa Ramadan. Apakah aku harus meng-qadha’nya? A’isyah menjawab:
لا بل تصدَّقي عنها مكان كل يوم نصف صاعٍ على كل مسكين
“Tidak perlu qadha, namun bayarlah fidyah dengan bersedekah atas nama ibumu dalam bentuk setengah sha’ makanan, diberikan kepada orang miskin. [HR. At-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar 1989, dan dishahihkan Al-Albani]
Dalil lainnya adalah fatwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dari Said bin Jubair, murid Ibnu Abbas, bahwa gurunya pernah mengatakan:
إِذا مرض الرجل في رمضان، ثمّ مات ولم يصم؛ أطعم عنه ولم يكن عليه قضاء، وإن كان عليه نَذْر قضى عنه وليُّه
“Apabila ada orang sakit ketika Ramadan (kemudian dia tidak puasa). Sampai dia mati belum melunasi utang puasanya, maka dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin, dan tidak perlu membayar qadha. Namun jika mayit memiliki utang puasa nadzar, maka walinya harus meng-qadhanya. [HR. Abu Daud 2401 dan di shahihkan Al-Albani]
Berdasarkan keterangan di atas, pendapat yang kuat untuk pelunasan utang puasa mayit dirinci menjadi dua: