Kategori: Landasan Agama

BOLEHKAH PUASA ARAFAH DAN PUASA AWAL DZULHIJJAH NAMUN MASIH MEMILIKI UTANG PUASA RAMADAN?

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

BOLEHKAH PUASA ARAFAH DAN PUASA AWAL DZULHIJJAH, NAMUN MASIH MEMILIKI UTANG PUASA RAMADAN?

Pertanyaan:

Bolehkah melakukan puasa awal Dzulhijjah, namun masih memiliki utang puasa (qadha puasa) Ramadan? Termasuk pula, apakah boleh melakukan puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah, sedangkan masih memiliki utang puasa Ramadan?

Jawaban:

Para fuqoha berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qadha’ puasa Ramadan.

Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qadha’ puasa Ramadan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qadha’ puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.

Ibnu ‘Abdin mengatakan: “Seandainya wajib qadha’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh, jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qadha’ puasa Ramadan. Qadha’ puasa bisa saja diakhirkan, selama masih lapang waktunya.”

Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang bolehnya, namun disertai makruh, jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qadha’ puasa. Karena jika melakukan seperti ini, berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah).

Ad Dasuqi berkata: “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah, padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib, seperti puasa nadzar, qadha’ puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh, baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib, adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan, atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan, seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”

Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum meng-qadha’ puasa Ramadan. Mereka katakan, bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunnah, padahal masih memiliki utang puasa Ramadan, meskipun waktu untuk meng-qadha’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qadha’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadan (qadha’ puasa Ramadan). Dalil dari mereka adalah hadis Abu Hurairah:

من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه

“Barang siapa yang melakukan puasa sunnah, namun masih memiliki utang puasa Ramadan, maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima, sampai ia menunaikan yang wajib.” Catatan penting, hadis ini adalah hadis yang Dho’if (lemah) [HR. Ahmad 3/352. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dan dinilai Dho’if, dan di dalamnya ada perowi yang matruk (Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, 3/86). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah wal Mawdhu’ah (2/235) mengatakan bahwa hadis ini Dho’if. Begitu pula hadis ini diDho’ifkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (3/352)].

Para ulama Hanabilah juga meng-qiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji), atau ia melakukan haji yang sunnah, sebelum haji yang wajib. Maka seperti ini tidak dibolehkan.

Jika Merujuk pada Dalil

Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib, adalah hadis yang Dho’if, sebagaimana diterangkan di atas.

Dalam meng-qadha’ puasa Ramadan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadan berikutnya. Allah Ta’ala sendiri memutlakkan qadha’ puasa, dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya:

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan, bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

“Aku masih memiliki utang puasa Ramadan. Aku tidaklah mampu men-gqadha’nya, kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadis) mengatakan, bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah, karena beliau sibuk mengurus Nabi ﷺ. (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

Sebagaimana pelajaran dari hadis ‘Aisyah, yang di mana beliau baru meng-qadha’ puasanya di saatSya’ban. Dari hadis tersebut Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Tidak boleh mengakhirkan qadha’ puasa lewat dari Ramadan berikutnya.” (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, 4: 191)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Disunnahkan menyegerakan meng-qadha’ puasa Ramadan. Jika ditunda, maka tetaplah sah menurut para ulama Muhaqqiqin, Fuqaha dan ulama Ahli Ushul. Mereka menyatakan, bahwa yang penting punya azam (tekad) untuk melunasi qadha’ tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 23).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu BOLEH melakukan puasa sunnah, sebelum qadha’ puasa, selama waktunya masih lapang, pen). Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qadha’ puasa, PUASANYA SAH dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Barang siapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar, (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).

Dalam ayat ini dikatakan untuk meng-qadha’ puasanya di hari lainnya, dan tidak disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qadha’ tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan, bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qadha’ puasa ada kelapangan.” (Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 6: 448).

Kesimpulannya, MASIH BOLEH berpuasa Arafah maupun berpuasa sunnah di awal Dzulhijjah, meskipun memiliki utang puasa (qadha puasa). Asalkan yang punya utang puasa tersebut bertekad untuk melunasinya.

Wallahu Ta’ala a’lam.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://rumaysho.com/8941-bolehkah-puasa-arafah-dan-puasa-awal-dzulhijjah-namun-masih-memiliki-utang-puasa.html

 

Admin Nasihat Sahabat

Artikel Terbaru

DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…

3 months lalu

BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…

3 months lalu

BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…

3 months lalu

LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…

3 months lalu

KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…

3 months lalu

SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…

4 months lalu