Melubangi daun telinga (tindik) bayi perempuan untuk menempatkan perhiasan diperbolehkan oleh syariat, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ahmad. Adapun untuk bayi laki-laki, hukumnya dibenci. Alasan perbedaan tersebut karena perempuan membutuhkan perhiasan, sehingga melubangi daun telinga merupakan kebutuhan baginya. Berbeda halnya dengan bayi laki-laki. Hal ini diperkuat dengan dua hadis sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha dalam kisah sebelas wanita yang berkumpul membicarakan suami-suami mereka. Di antaranya perkataan Ummu Zar’in:
أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ
“Suamiku memberikanku perhiasan pada telingaku.”
Kemudian di akhir hadis, Rasulullah ﷺ bersabda kepada ‘Aisyah radhiallahu’anha:
فَكُنْتُ لَكَ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
“Bagimu, aku bagaikan Abu Zar’in bagi Ummu Zar’in” [HR. Al Bukhari no. 5189 dan Muslim no. 2448]
Dari Jabir bin ‘Abdillah dalam kisah salat hari raya:
فجعلْنَ يتصدقْنَ من حليِّهِنَّ . يُلقِين في ثوبِ بلالٍ من أقرطتهِنَّ وخواتمهِنَّ
“… Maka para wanita menyedekahkan perhiasan-perhiasannya, mereka meletakkan anting-anting dan cincinnya pada baju Bilal.” [HR. Al Bukhari no. 964, dan Muslim no. 885]
Al Hafidz Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Cukuplah perbuatan dan persetujuan (para sahabat) akan hal tersebut sebagai dalil diperbolehkannya masalah ini. Kalau hal itu dilarang, tentu dijelaskan dalam Alquran dan As Sunnah.” [Tuhfatul Maudud, hal. 178]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya tentang hukum melubangi daun telinga atau hidung anak perempuan sebagai perhiasan, beliau menjawab:
“Yang benar, tidak mengapa melubangi telinga perempuan, karena ini merupakan sarana perhiasan yang diperbolehkan. Dan telah shahih, bahwa wanita-wanita shahabiyah dahulu memakai anting-anting di telinga mereka. Adapun melubangi hidung, saya pribadi belum mendapati penjelasan ahli ilmu tentangnya. Menurut saya hal itu menjelekkan ciptaan Allah. Bila ada suatu negeri perhiasan di hidung merupakan keindahan, maka melubanginya tidak apa-apa” [Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, XI/137]
[Disalin dari buku “Bekal Menanti Si Buah Hati” karya Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi, hal. 45-47]