بسم الله الرحمن الرحيم
BOLEHKAH BUDI DAYA LELE YANG MAKANANNYA DARI KOTORAN MANUSIA?
Pertanyaan:
Ustadz saya mau bertanya perihal beternak lele dan mengonsumsinya, karena simpang siurnya mengenai kehalalan ikan lele untuk dikonsumsi. Apakah beternak dan mengonsumsi ikan lele halal dan diperbolehkan? Ada seorang kawan bercerita, , bahwa ikan lele dengan rasa yang enak, adalah memberi makan ikan lele tersebut dengan kotoran manusia/hewan.
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Ikan lele adalah salah satu hewan air, dan setiap hewan air adalah halal untuk dimakan, berdasarkan keumumam firman Allah ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ. المائدة 96
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut, sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” [QS. Al Maidah: 96]
Para ulamamenjelaskan, bahwa maksud dari makanan laut ialah hewan laut yang mati dengan sendirinya, sehingga mengapung atau terhempas ke pantai.
Sebagaimana mereka juga menjelaskan , bahwa yang dimaksud dengan laut ialah bukan hanya laut yang dipahami oleh banyak orang. Sebutan laut dalam Alquran mencakup sungai, rawa dan yang serupa dengannya. Hal ini nampak dengan jelas pada firman Allah ta’ala berikut:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [QS. Ar-Rum: 41]
Pada suatu hari, Nabi ﷺ ditanya tentang hukum air laut, maka beliau ﷺ menjawab pertanyaan sahabatnya ini dengan bersabda:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya.” [Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan lainnya]
Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk memermasalahkan kehalalan ikan lele atau yang serupa. Hanya tradisi sebagian masyarakat yang membudi dayakan ikan lele yang kurang baiklah yang layak dipermasalahkan:
Banyak dari masyarakat kita, bila membuat kolam untuk membudidayakan ikan, mereka menghubungkan kolamnya dengan septik tank miliknya. Dengan demikian, tidaklah ada orang yang buang hajat, melainkan akan masuk ke dalam kolam ikannya, dan dimakan oleh ikan-ikan piaraannya.
Permasalahan ini menjadi parah, bila ternyata mayoritas makanan ikan piaraannya ini adalah kotoran yang mengalir dari septik tank ini. Hal ini menyebabkan ikan tersebut dikatagorikan sebagai hewan jallalah, yaitu hewan yang mayoritas makanannya adalah barang-barang najis. Ketentuan ini berlaku, bukan hanya pada ikan, akan tetapi pada seluruh jenis hewan ternak.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا. رواه الترمذي وابن ماجة وغيرهما
“Dari sahabat Ibnu Umar, ia menuturkan: Rasulullah ﷺ melarang umatnya dari memakan daging hewan jallalah dan meminum air susunya.” [Riwayat At-Tirmizy dan Ibnu Majah]
Berdasarkan hadis ini, para ulama, terutama para penganut Mazhab As-Syafii dan Hambali, melarang kita untuk memakan daging atau minum, bahkan mengendarai hewan yang demikian ini halnya. Dan sebagian dari mereka dengan tegas menyatakan , bahwa larangan ini bermaknakan haram.
Bila ditinjau dari larangan yang termaktub pada hadis di atas, maka pendapat yang mengharamkan inilah yang lebih benar. Menurut ulama’ ahli ilmu Ushul Fikih: Pada asalnya, setiap larangan itu bermakanakan haram, kecuali bila ada dalil lain yang memalingkannya dari haram menjadi makruh, atau mubah.
Solusinya: Bila kita telah terlanjur memiliki hewan jallalah, maka sebelum mengonsumsi dagingnya atau air susunya, hendaknya terlebih dahulu hewan tersebut dikarantina dalam waktu tertentu. Menurut sebagian ulama minimal tiga hari. Akan tetapi menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang mengaitkan hukum karantina dengan keadaan daging dan susunya. Bila aroma, warna dan rasa pakan najis telah sirna dari hewan ternak, baik itu setelah dikarantina tiga hari atau kurang darinya, maka telah halal untuk dikonsumsi. Akan tetapi walaupun telah dikarantina tiga hari, akan tetapi aroma, rasa atau warna najis masih melekat pada hewan itu, maka karantina harus diteruskan, hingga tanda-tanda najis benar-benar hilang darinya.
Singkat kata: bila ikan lele dibudi daya dengan cara-cara yang baik, tidak diberi pakan najis, maka halal. Dan bila dibudi daya dengan pakan najis, maka sebelum dikonsumsi atau dipasarkan, wajib dikarantina dengan diberi pakan yang bersih tidak najis, hingga pengaruh pakan najis benar-benar bersih darinya.
Wallahu ta’ala a’alam.
[Artikel: pengusahamuslim.com]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…