“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).“ [HR. Muslim no. 1015).
Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadis tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal, melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya, hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” [HR. Muslim no. 1014].
Halal Mempengaruhi Amalan Saleh
Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (1: 260) berkata:
“Dalam hadis ‘Allah tidaklah menerima selain dari yang halal’ terdapat isyarat, bahwa amal tidaklah diterima kecuali dengan memakan yang halal. Sedangkan memakan yang haram dapat merusak amal dan membuatnya tidak diterima.” Oleh karena itu, setelah mengatakan Allah tidak menerima melainkan dari yang halal, Nabi ﷺ membawakan ayat yang berisi perintah yang sama pada para Rasul dan orang beriman:
“Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. Al Mu’minun: 51]
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.” [QS. Al Baqarah: 172]
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, para Rasul dan umat mereka diperintahkan untuk mengonsumsi yang halal, dan diperintahkan pula untuk beramal saleh. Jika yang dikonsumsi adalah yang halal, maka amalan salehnya diterima. Jika yang dikonsumsi adalah yang haram, maka bagaimana bisa diterima? Karenanya, Nabi ﷺ dalam hadis Abu Hurairah di atas menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa:
“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram. Maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?“ [HR. Muslim no. 1014]
Dijelaskan pula oleh Syaikh Saleh Al Fauzan hafizhohullah, anggota Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) ketika menjelaskan hadis ‘Allah hanya menerima dari yang halal,’ bahwa memakan makanan yang halal bisa menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah, karena beramal saleh diperintahkan setelah perintah memakan makanan yang halal. Jadi, semakin baik makanan yang kita konsumsi, semakin mudah pula kita dalam beramal.[ Lihat Al Minhah Ar Robbaniyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 137. Juga lihat bahasan Syaikh Saleh Alu Syaikh dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 163]
Haji dan Salat dengan Harta Haram
Dari pembahasan ini, para ulama memiliki bahasan, apakah salat di tanah rampasan itu sah ataukah tidak. Imam Ahmad berpendapat tidak sahnya. Sedangkan Jumhur (Mayoritas) Ulama berpendapat sahnya, tetapi berdosa.
Begitu pula para ulama membahas bagaimana jika ada yang berhaji dengan harta haram, sahkah hajinya? Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini, namun yang masyhur, hajinya tidak sah. Landasannya adalah hadis yang mengatakan, bahwa Allah hanya menerima dari yang thayyib. Sedangkan Jumhur Ulama berpendapat sahnya haji dengan harta haram, namun hajinya tidak mabrur. Sehingga wajib bagi yang ingin melaksanakan haj memperhatikan harta yang ia gunakan.
Kita dapat mengambil pelajaran pula, bahwa Allah hanyalah menerima dari yang bertakwa. Di antara bentuk takwa adalah menjaga diri dari penghasilan haram. Allah Taala berfirman:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa” [QS. Al Maidah: 27]
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang mengenai makna ‘Muttaqin’ (Orang yang bertakwa) dalam ayat tersebut, dan beliau menjawab, bahwa yang dimaksud adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal yang masuk ke dalam perut. Demikian dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 262. Lihat pula pembahasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi dalam Shifat Hajjatin Nabi, hal. 39-40 dan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 92.
Sedekah dengan Harta Haram
Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya, dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima, dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima, dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi ﷺ bersabda:
“Tidaklah diterima salat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram).” [HR. Muslim no. 224].
Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan:
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal, melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya, hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” [HR. Muslim no. 1014]. Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,
1- Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat Mayoritas Ulama.
2- Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama, di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. [Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268]