Di dalam kehidupan sehari-harinya, seseorang tidak terlepas dari beban dan tanggungan. Di antara tanggungan yang mungkin menimpanya ialah utang. Terutama ketika kondisi yang mendesak dan amat membutuhkan, atau kondisi-kondisi lainnya. Baik utang tersebut terkait dengan hak manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur masalah ini, sebagaimana telah tertuang dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah ﷺ.
Adapun yang terkait hak manusia, Rasulullah ﷺ sendiri pernah berutang. Seperti pernah diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahwa Nabi ﷺ pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga pembayaran di belakang (utang), dan memberi jaminan dengan baju besi milik beliau”. [Hadis Riwayat Bukhari 2386 Fathul Bari- dan Muslim 1603]
Hadis tersebut menunjukkan adanya dalil bolehnya bermuamalah dengan Ahli Dzimmah (Kafir Dzimmi), dan boleh memberi suatu jaminan untuk utang di saat mukim. [Lihat Syarhu Shahih Muslim 11/33]
Meski Nabi ﷺ berutang, beliau ﷺ adalah orang yang senantiasa ingin bersegera dalam membayar utangnya dan melebihkan pembayarannya. Jabir Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:
“Aku mendatangi Nabi ﷺ ketika beliau di Masjid -Mis’ar (perawi dalam sanad) berkata: Saya kira ia menyebut waktu Dhuha-. Lalu Nabi ﷺ memiliki utang kepadaku. Maka beliau ﷺ melunasinya dan memberiku tambahan”. [Hadis Riwayat Al-Bukhari 2394 -Fathul Bari- dan Muslim 715]
Demikianlah seharusnya setiap Muslim mencontoh Rasulullah ﷺ. Sehingga utang yang menjadi tanggungan diri seorang Muslim hendaknya segera ditunaikan bila telah memiliki harta yang dapat untuk melunasinya, tidak mengulur-ulurnya, karena hal itu termasuk bentuk kezaliman. Utang ini tetap akan menjadi tanggungannya sampai ia mati sekalipun. Jika belum dilunasi, maka rohnya akan tergantung sampai terlunasi utangnya tersebut. Nabi ﷺ bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Penguluran (utang) oleh orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman” [Hadis Riwayat Al-Bukhari 2400 –Fathul Bari- dan Muslim 1564]
“Jiwa (roh) seorang mukmin tergantung karena utangnya, sampai terlunasi” [Hadis Riwayat At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 6779]
Nabi ﷺ pernah tidak mau menyalati jenazah seseorang, karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan utang. Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
“Bahwasanya pernah dihadapkan kepada Nabi ﷺ seorang jenazah untuk beliau salati. Lalu beliau ﷺ bertanya, “Apakah dia punya utang?” Mereka menjawab, “Tidak”, maka beliau ﷺ pun menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain, lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya utang?”, Mereka menjawab, “Ya” maka beliau ﷺ berkata, “Salatilah teman kalian ini oleh kalian”. Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi utangnya”, maka beliau pun mau menyalatinya”. [Hadis Riwayat Al-Bukhari 2295 –Fathul Bari-]
Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus ditunaikan SEBELUM dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk para ahli warisnya ialah melunasi utang-utang si mayit, bila ia meninggalkan utang, baik utang yang terkait dengan hak Allah maupun hak manusia. Meskipun ketika melunasi utang-utangnya tersebut sampai menghabiskan seluruh harta yang ditinggalkannya. [Lihat juga Ahkamul Janaiz, hal. 25]
Akan tetapi jika harta si mayit tersebut tidak mencukupi untuk melunasi utang-utangnya, maka apa yang harus dilakukan ?
Jika utang-utangnya berkaitan dengan hak manusia, maka dibolehkan bagi wali mayit untuk meminta pengampunan dari para pemilik harta utang atas utang-utang si mayit kepada mereka, baik sebagian maupun keseluruhan. Hal ini terisyaratkan dalam kisah yang dialami oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu ketika ayahnya terbunuh di medan perang Uhud, sementara ia menanggung utang. Dia meminta kepada para pemilik harta utang untuk membebaskan sebagian utang ayahnya, tetapi mereka menolak dan tetap berkeinginan untuk mengambil hak mereka. Akhirnya Jabir Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi ﷺ (dan memintanya menyelesaikan masalah tersebut). Maka Nabi ﷺ meminta kepada mereka agar mau meneriman kurma-kurma yang ada di kebun Jabir Radhiyallahu ‘anhu sebagai pembayarannya, dan menghalalkan (membebaskan) sebagian utang ayahnya, tetapi mereka menolak. [Lihat Shahih Al-Bukahri, hadis 2395 dan 2405 – Fathul Bari]
Dari kisah di atas terdapat dalil, bahwa wali mayit boleh meminta kepada para pemilik harta utang untuk mebebaskan utang-utang si mayit. Dan pemilik harta boleh membebaskan sebagian atau seluruh utang si mayit, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththal dan Ibnu Munayyir. [Lihat Fathul Bari, 3/73]
Dan dari kisah di atas juga terpahami, bahwa bila si mayit tidak memiliki harta yang cukup untuk melunasi utang-utangnya, maka dilunasi oleh walinya, atau kerabatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadis yang dituturkan Sa’ad bin Athwal Radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi ﷺ mengatakan kepadanya:
“Sesungguhnya saudaramu tertahan (rohnya) karena utangnya. Maka lunasilah utangnya”. Kemudian Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah. Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua Dinar yang diakui oleh seorang wanita, sementara dia tidak punya bukti”. Maka Nabi ﷺ berkata: “Berilah dia, karena dia berhak”. [Hadis Riwayat Ibnu Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [Lihat Ahkamul Janaiz hal.25-26]
Namun jika tidak ada seorang pun dari keluarga atau kerabat mayit yang bisa melunasi utang-utangnya, maka negara atau pemerintah yang menanggung pelunasan utangnya, [Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 25] diambilkan dari Baitul Mal.
Dikatakan oleh Nabi ﷺ sebagai pemimpin kaum Muslimin:
“Aku lebih berhak menolong kaum Mukminin dari diri mereka sendiri. Jika ada seseorang dari kaum Mukminin yang meninggal dan meninggalkan utang, maka aku yang akan melunasinya…” [Hadis Riwayat Al-Bukhari 2298 –Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari Abu Haurairah Radhiyallahu ‘anhu]
Maksud Nabi ﷺ ialah, akan melunasinya dari harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah (harta rampasan perang), jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum Muslimin), infak atau sedekah serta zakat. [Lihat Fathul Bari 4/558. Dan lihat perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam Syarh Shahih Muslim 11/52]
Sebagiamana yang dipahami dari perkataan Nabi ﷺ kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu (di saat ia tidak mampu melunasi utang-utang ayahnya yang wafat dalam keadaan meninggalkan utang).
“Kalaulah telah datang harta (jizyah) dari Bahrain, niscaya aku memberimu sekian dan sekian” [Hadis Riwayat Al-Bukahri 2296, Fathul Bari, dan Muslim 2314]
Dan jika negara atau pemerintah tidak menanggungnya, kemudian ada di antara kaum Muslimin yang siap menanggungnya, maka hal itu dibolehkan, sebagaimana kandungan hadis Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu di atas. Hal itu memberi pelajaran, bahwa mayit dapat memeroleh dengan dilunasinya utang-utangnya, meskipun oleh selain anaknya. Dengan demikian berarti akan membebaskannya dari azab. [Lihat Ahkamul Janaiz, hal 28]
Berbeda halnya dengan sedekah, karena si mayit bisa memeroleh manfaat dan pahala dari sedekah atas nama dirinya yang dilakukan oleh anaknya saja. Sebab anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana dalam firman Allah ﷻ:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan bahwasanya, seorang manusia tiada memeroleh selain apa yang telah diusahakannya”. [QS. An-Najm: 39]
“Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah dari hasil usahanya sendiri. Dan anaknya, termasuk dari hasil usahanya”. [Hadis Riwayat Abu Dawud 3528, An-Nasa’i 4449 dan 4451, At-Tirmidzi 1358 –dengan lafazh jamak- Ibnu Majah 2137. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami 2208 dan tahqiq Misykatul Mashabih 2770] [Lihat Ahkamul Janaiz, hal.16]
Jika utang si mayit berkaitan dengan hak Allah seperti nazar haji, maka wajib ditunaikan oleh si mayit dengan harta si mayit bila mencukupi. Sedangkan bila harta si mayit tidak mencukupi ketika wafatnya, maka ditanggung oleh walinya yang akan menghajikan untuk si mayit, sebagaimana kandungan dari hadis Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa pernah ada seorang wanita dari Bani Juhainah datang kepada Nabi ﷺ dan berkata:
“Sesungguhnya ibuku telah bernazar haji, tetapi belum berhaji sampai meninggalnya. Apakah aku harus menghajikan untuknya?” Nabi ﷺ menjawab, “Ya, hajikanlah untuknya. Bukankah jika ibumu menanggung utang maka kamu yang akan melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadis Riwayat Al-Bukhari 1852- Fathul Bari]
Jika ia memiliki utang yang berkaitan dengan hak Allah dan hak manusia, manakah yang lebih dahulu ditunaikan?
Dalam permasalahan ini, para ulama berbebda pendapat dalam tiga kelompok: [Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah, hal.26]
Pertama: Harta si mayit yang ada dibagikan untuk utang-utang tersebut dengan masing-masing mendapat jatah bagian berdasarkan nisbah (prosentase), seperti pada kejadian seorang yang mengalami kebangkrutan, pailit (muflis), (yaitu) ketika dia menanggung utang-utang yang melampaui harta miliknya. Ini adalah pendapat ulama Madzhab Hambali.
Kedua: Diutamakan utang-utang yang berkait dengan hak manusia, dengan memertimbangkan oleh sifat asal manusia yang bakhil (tidak memaafkan). Adapun hak Allah dibangun atas dasar sifat Allah yang suka memaafkan. Ini adalah pendapat ulama Madzhab Hanafi dan Maliki.
Ketiga: Yang benar adalah diutamakan hak Allah daripada hak manusia, berdasarkan keumuman hadis Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu ketika Nabi ﷺ bersabda:
اُقْضُوا اللهَ، فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Tunaikan hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan.” [Hadis Riwayat Al-Bukhari 1852 –Fathul Bari-] [9]
Pendapat ketiga ini merupan pendapat ulama Madzhab Syafi’i. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus (7-8) /Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197]