“Wahai Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu dan anak hamba laki-laki-Mu dan anak hamba perempuan-Mu.” Hingga sabda beliau: “Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namai diri-Mu dengannya, atau yang telah Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang telah Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu gaib di sisi-Mu.” [Dikeluarkan oleh Ahmad: I/391]
Apa yang disimpan oleh Allah dalam ilmu gaib tidak mungkin untuk diketahui. Dan apa yang tidak diketahui tidaklah terbatas (dengan jumlah bilangan tertentu). Adapun sabda Nabi ﷺ:
“Sesunguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu. Barang siapa yang menjaganya, maka dia masuk Surga.” [HR. Bukhari, no.2736, Muslim, no.2677 dan Ahmad, no.7493]
BUKANLAH maknanya bahwa Allah tidak memiliki nama kecuali nama-nama itu saja. Akan tetapi maknanya adalah, bahwa orang yang menghafal nama-nama yang 99 ini dia akan masuk Surga.
Kata beliau ﷺ: “Barang siapa menghafalnya,” adalah pelengkap kalimat pertama, bukan kalimat permulaan yang terpisah. Contoh seperti ini perkataan orang Arab: “Aku mempunyai seratus kuda yang aku siapkan untuk jihad fi sabilillah.” Ini bukan berarti dia tidak memiliki kecuali seratus kuda. Akan tetapi seratus kuda inilah yang disiapkan jihad tersebut.
Keterangan Syekh Abdul Aziz bin Baz megenai makna hadis:
“Makna dari ‘menjaga’ adalah dengan menghafalnya, merenungkan maknanya, dan mengamalkan kandungan maknanya. Mengingat adanya kebaikan yang banyak dan ilmu yang bermanfaat dalam mengamalkan kandungan makna Asmaul Husna tersebut. Karena mengamalkannya merupakan sebab kebaikan bagi hati, kesempurnaan takut kepada Allah, dan menunaikan hak-Nya.” [http://www.binbaz.org.sa/mat/12132]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab ‘Majmu Fatawa: Solusi Problematika Umat Islam Sekitar Aqidah dan Ibadah’ berkata:
“Dan bukanlah yang dimaksud menghafal (Ihsha’) adalah kamu tulis di papan kemudian kamu mengulangi berkali-kali hingga kamu hafal. Akan tetapi maknanya adalah:
a) Menguasai secara lafal.
b) Memahami maknanya.
c) Beribadah kepada Allah dengan mengamalkan konsekuensinya, yaitu dengan cara:
Pertama: Kamu berdoa kepada Allah dengan menyebut-Nya karena firman Allah Jalla Jalaaluhu:
“Maka memohonlah dengan nama-Nya.” [QS. Al-A’raf: 180]
Kamu jadikan nama-nama-Nya sebagai wasilah mendapatkan permintaanmu dengan kamu pilih nama yang sesuai dengan permintaanmu. Ketika meminta ampunan, kamu ucapkan: “Wahai yang Maha Pengampun, ampunilah aku.”
Tidaklah sesuai kalau kamu ucapkan: “Wahai yang siksanya keras, ampunilah aku.” Bahkan itu mirip dengan penghinaan. Yang benar kamu katakan: “Selamatkan aku dari siksa-Mu.”
Kedua: Kamu wujudkan dalam ibadahmu apa yang menjadi konsekuensi nama-nama tersebut. Konsekuensi ar-Rahman adalah rahmat. Lalu kerjakanlah amal saleh yang menjadi penyebab mendapatkan rahmat Allah. Inilah makna mengihsha’ (menghafal) nama-nama itu. Jika seperti ini, maka semestinyalah menjadi pembayar untuk masuk Surga. [Majmu’ Fatawa: Solusi Problematika Umat Islam Sekitar Aqidah dan Ibadah” karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin , dengan pengubahan seperlunya tanpa mengurangi makna]