بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#Birrul_Walidain
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
MAKNA “AL BIRR”
Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ (artinya): “Al Birr adalah baiknya akhlak”. (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794).
Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al ‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq.
“Al Birr adalah menaati kedua orang tua di dalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.” (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)
Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah ﷻ (artinya): “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isra’: 24). Yaitu: “Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikit pun”. (Ad Darul Mantsur 5/259)
Berkata Imam Al Qurtubi, mudah-mudahan Allah merahmatinya: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah. Sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau menaatinya, selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya. Demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan). (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, mudah-mudahan Allah merahmatinya: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir “Barang siapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”. (Ghadzaul Al Baab 1/382).
HUKUM BIRRUL WALIDAIN
Para Ulama’ Islam sepakat, bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua adalah wajib. Hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.
Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya: “Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkata beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: “Birrul walidain adalah wajib, pada selain perkara yang haram.” (Ghdzaul Al Baab 1/382)
Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali , di antaranya:
Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah. Dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak memersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).
Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir: yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy: yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: “Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua, seiring dengan perintah untuk menauhidkan dan beribadah kepada-Nya. Ini pemberitahuan tentang betapa besar hak mereka berdua. Sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).
Berkata Ibnu Abbas, mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua: “Tiga ayat dalam Alquran yang saling berkaitan, di mana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan di antaranya firman Allah ﷻ (artinya): “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu”. Berkata beliau: “Maka, barang siapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.” (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
Berkaitan dengan ini, Rasulullah ﷺ bersabda (artinya): “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadis ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadis Ash Shahiihah No. 516).
KEUTAMAAN BIRRUL WALIDAIN
Pertama: Termasuk Amalan Yang Paling Mulia
Dari Abdullah bin Mas’ud, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah ﷺ: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah? Bersabda Rasulullah ﷺ: “Sholat tepat pada waktunya”. Saya bertanya: Kemudian apa lagi? Bersabada Rasulullah ﷺ: “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi: Lalu apa lagi? Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Berjihad di jalan Allah”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Kedua: Merupakan Salah Satu Sebab Diampuninya Dosa
Allah ﷻ berfirman (artinya): “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….”, hingga akhir ayat berikutnya: “Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka, amal yang baik yang telah mereka kerjakan. Dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni Surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al Ahqaf 15-16)
Diriwayatkan oleh ibnu Umar, mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya, bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar. Apakah masih ada pintu taubat bagi saya? Maka bersabda Rasulullah ﷺ: “Apakah Ibumu masih hidup?” Berkata dia: Tidak. Bersabda beliau ﷺ: “Kalau bibimu masih ada?” Dia berkata: “Ya” . Bersabda Rasulullah ﷺ: “Berbuat baiklah padanya”. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth: Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406).
Ketiga: Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga
Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, Rasulullah ﷺ ditanya: Siapa wahai Rasulullah? Bersabda Rasulullah ﷺ: “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut, kemudian dia tidak masuk Surga”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah, mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah ﷺ, kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasihat pada Anda. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah kamu masih memiliki Ibu?” Berkata dia: “Ya”. Bersabda Rasulullah ﷺ: “Tetaplah dengannya, karena sesungguhnya Surga itu di bawah telapak kakinya”. (Hadis Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadis ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)
Keempat: Merupakan Sebab keridhoan Allah
Sebagaimana hadis yang terdahulu “Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua”.
Kelima: Merupakan Sebab Bertambahnya Umur
Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang suka Allah besarkan rezekinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim”.
Keenam: Merupakan Sebab Barokahnya Rezeki
Dalilnya, sebagaimana hadis sebelumnya.
ADAB BIRRUL WAALIDAIN
(Berbakti Kepada Kedua Orang Tua)
Kedua orang tua adalah manusia yang paling berjasa dan utama bagi diri seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan dalam berbagai tempat di dalam Alquran, agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah menyebutkannya berbarengan dengan penauhidan-Nya Azza wa Jalla, dan memerintahkan para hamba-Nya untuk melaksanakannya sebagaimana akan disebutkan kemudian.
Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim. Di sini akan dicantumkan beberapa adab yang berkaitan dengan masalah ini. Antara lain hak yang wajib dilakukan semasa kedua orang tua hidup dan setelah meninggal. Dengan pertolongan Allah saya akan sebutkan beberapa adab tersebut, antara lain:
Hak-Hak Yang Wajib Dilaksanakan Semasa Orang Tua Masih Hidup
Di antara hak orang tua ketika masih hidup adalah:
Menaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai keduanya. Tidak diperbolehkan sedikit pun mendurhakai mereka berdua, kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk memersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)
Tidak boleh menaati makhluk untuk mendurhakai Allah, Penciptanya, sebagaimana sabda Rasululah ﷺ:
“Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan.” (HR. Bukhari no. 4340, 7145, 7257, dan Muslim no. 1840, dari Ali radhiyallahu ‘anhu)
Adapun jika bukan dalam perkara yang mendurhakai Allah, wajib menaati kedua orang tua selamanya, dan ini termasuk perkara yang paling diwajibkan. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh mendurhakai apa saja yang diperintahkan oleh kedua orang tua.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua ibu bapaknya…” (QS. Al-Ahqaaf: 15)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu memersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak…” (QS. An-Nisaa’: 36)
Perintah berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan lanjut, hingga kondisi mereka melemah dan sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘Ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.'” (QS. Al-Israa’: 23-24)
Di dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi, orang yang mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta, atau salah seorang dari mereka, kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam Surga.” (HR. Muslim no. 2551, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau dengan ucapan ‘Ah’. Termasuk berbakti kepada keduanya ialah senantiasa membuat mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan, selama hal itu tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang telah disebutkan.
Tidak boleh mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua, atau di hadapan mereka berdua. Tidak boleh juga berjalan di depan mereka, masuk dan keluar mendahului mereka, atau mendahului urusan mereka berdua. Rendahkanlah diri di hadapan mereka berdua dengan cara mendahulukan segala urusan mereka, membentangkan dipan untuk mereka, memersilakan mereka duduk di tempat yang empuk, menyodorkan bantal, janganlah mendahului makan dan minum, dan lain sebagainya.
Berbicara dengan lembut merupakan kesempurnaan bakti kepada kedua orang tua, dan merendahkan diri di hadapan mereka, sebagaimana firman Allah ﷻ:
“…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘Ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa’: 23)
Oleh karena itu, berbicaralah kepada mereka berdua dengan ucapan yang lemah lembut dan baik serta dengan lafaz yang bagus.
Menyediakan makanan juga termasuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika ia memberi mereka makan dari hasil jerih payah sendiri. Jadi, sepantasnya disediakan untuk mereka makanan dan minuman terbaik, dan lebih mendahulukan mereka berdua daripada dirinya, anaknya, dan istrinya.
Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah ﷺ dan bertanya: “Ya, Raslullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau ﷺ balik bertanya: “Apakah kamu masih memunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.” Beliau ﷺ bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari no. 3004, 5972, dan Muslim no. 2549, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata: “Aku datang membai’atmu untuk hijrah dan tinggalkan kedua orang tuaku menangisi (kepergianku). Maka Nabi ﷺ bersabda: “Pulanglah dan buatlah mereka tertawa, sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” (HR. Abu Dawud no. 2528, an-Nasa-i, VII/143, Ibnu Majah no. 2782, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu. Lihat kitab Shahiih Abi Dawud no. 2205)
Seorang laki-laki hijrah dari negeri Yaman, lalu Nabi ﷺ bertanya kepadanya: “Apakah kamu masih memunyai kerabat di Yaman?” Laki-laki itu menjawab: “Masih, yaitu kedua orang tuaku.” Beliau ﷺ kembali bertanya: “Apakah mereka berdua mengizinkanmu?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak.” Lantas, Nabi ﷺ bersabda: “Kembalilah kamu kepada mereka, dan mintalah izin dari mereka. Jika mereka mengizinkan, maka kamu boleh ikut berjihad. Namun jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya.” (HR. Ahmad, III/76; Abu Dawud no. 2530; al-Hakim, II/103, 103, dan ia men-shahihkannya serta disetujui oleh Adz-Dzahabi dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu. Lihat kitab Shahihh Abu Dawud no. 2207)
Seorang laki-laki berkata kepada beliau: “Aku membai’at Anda untuk berhijrah dan berjihad, semata-mata hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Beliau ﷺ bersabda kepada laki-laki tersebut: “Apakah salah satu kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab: “Masih, bahkan keduanya masih hidup.” Beliau ﷺ kembali bersabda: “Apakah kamu ingin mendapatkan pahala dari Allah ﷻ?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Kemudian, Nabi ﷺ bersabda: “Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu, dan berbaktilah kepada keduanya.” (HR. Muslim no. 2549, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: “Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi ﷺ bersabda: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR. Ahmad, II/204, Abu Dawud no. 3530, dan Ibnu Majah no. 2292, dari Ibnu ‘AMr radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaami no. 1486)
Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya.
Hendaknya seseorang membuat kedua orang tua ridha dengan berbuat baik kepada para saudara, karib kerabat, teman-teman, dan selain mereka. Yakni, dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka. Akan disebutkan nanti beberapa hadis yang berkaitan dengan masalah ini.
Apabila kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.
Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia mencela ayah orang lain, kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain, lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR. Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
Perbuatan ini merupakan perbuatan dosa yang paling buruk.
Orang-orang sering bergurau dan bercanda dengan melakukan perbuatan yang sangat tercela ini. Biasanya perbuatan ini muncul dari orang-orang rendahan dan hina. Perbuatan seperti ini termasuk dosa besar sebagaimana yang telah disebutkan.
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Beliau ﷺ menjawab: “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Beliau ﷺ kembali menjawab: “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya: “Lalu siapa lagi?” Beliau ﷺ kembali menjawab: “Ibumu.” Lalu siapa lagi?” tanyanya. “Ayahmu,” jawab beliau ﷺ.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Hadis di atas tidak bermaksud lebih menaati ibu daripada ayah. Sebab, menaati ayah lebih didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dibolehkan dalam syariat. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan untuk taat pada suaminya, yaitu ayah anaknya. Hanya saja, jika salah seorang dari mereka menyuruh berbuat taat dan yang lain menyuruh berbuat maksiat, maka wajib untuk menaati yang pertama.
Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu, yaitu lebih bersikap lemah-lembut, lebih berperilaku baik, dan memberikan sikap yang lebih halus daripada ayah. Hal ini apabila keduanya berada di atas kebenaran.
Sebagian salaf berkata: “Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi.”
Demikian penjelasan umum hak-hak orang tua semasa mereka masih hidup.
Hak-Hak Orang Tua Setelah Mereka Meninggal Dunia
Di antara hak orang tua setelah mereka meninggal adalah:
Maksud menyalati di sini adalah mendoakan keduanya, yakni setelah keduanya meninggal dunia, karena ini termasuk bakti kepada mereka. Oleh karena itu, seorang anak hendaknya lebih sering mendoakan kedua orang tuanya setelah mereka meninggal, daripada ketika masih hidup. Apabila anak itu mendoakan keduanya, niscaya kebaikan mereka berdua akan semakin bertambah, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
“Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan dirinya.” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Orang tua adalah orang yang paling utama bagi seorang Muslim untuk didoakan, agar Allah mengampuni mereka, karena kebaikan mereka yang besar. Allah ﷻ menceritakan kisah Ibrahim Alaihissalam dalam Alquran:
“Ya, Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku…” (QS. Ibrahim: 41)
Hendaknya seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua, apabila amalan kebaikan yang dulu pernah dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.
Memuliakan teman kedua orang tua juga termasuk berbuat baik pada orang tua, sebagaimana yang telah disebutkan. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berpapasan dengan seorang Arab Badui di jalan menuju Makkah. Kemudian, Ibnu Umar mengucapkan salam kepadanya dan memersilakannya naik ke atas keledai yang ia tunggangi. Selanjutnya, ia juga memberikan sorbannya yang ia pakai. Ibnu Dinar berkata: “Semoga Allah memuliakanmu. Mereka itu orang Arab Badui dan mereka sudah biasa berjalan.” Ibnu Umar berkata: “Sungguh, dulu ayahnya teman Umar bin al-Khaththab dan aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya, bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal.” (HR. Muslin no. 2552 dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu)
Hendaknya seseorang menyambung tali silaturahim dengan semua kerabat yang silsilah keturunannya bersambung dengan ayah dan ibu, seperti paman dari pihak ayah dan ibu, bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek, nenek, dan anak-anak mereka semua. Bagi yang melakukannya, berarti ia telah menyambung tali silaturahim kedua orang tuanya, dan telah berbakti kepada mereka. Hal ini berdasarkan hadis yang telah disebutkan dan sabda beliau ﷺ:
“Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.” (HR. Ibnu Hibban no. 433 dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaami’ no. 5960)
Demikianlah akhir dari adab berbakti kepada kedua orang tua yang telah dimudahkan Allah kepadaku untuk menuliskannya, yang seluruhnya berjumlah enam belas adab. Walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.*
Referensi tambahan: Shahiih Muslim (IV/1974) dan halaman setelahnya, Fathul Baari (X/414) dan halaman setelahnya, al-Ihsan bi Tattiibi Shahiih Ibni Hibban (I/315) dan halaman setelahnya, al-Aadaab karya al-Baihaqi (hlm.5) dan halaman setelahnya, al-Aadaab asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih (I/433) dan halaman setelahnya, Ihyaa’ Uluumuddin karya al-Ghazali (II/216) dan halaman setelahnya, Birrul Waalidain karya ath-Thurthusi, dan lain-lain.
Dikutip langsung dari Ensiklopedi Adab Islam Menurut Alquran dan As-Sunnah, Jilid I, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, cetakan pertama Agustus 2007, hlm. 171-179).
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…