BENARKAH MAYIT DISIKSA KARENA TANGISAN KELUARGANYA?
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
BENARKAH MAYIT DISIKSA KARENA TANGISAN KELUARGANYA?
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan hal itu, berikut di antaranya:
Hadis dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
المَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الحَيِّ عَلَيْهِ
Mayit disiksa karena tangisan orang yang hidup untuknya. [HR. Bukhari 1292 & Muslim 930].
Kemudian hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ pernah melewati wanita Yahudi yang meninggal dan ditangisi keluarganya. Kemudian Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa yang diratapi, maka dia disiksa karena ratapan yang ditujukan kepadanya.” [HR. Bukhari 1291 & Muslim 927]
Kemudian disebutkan dalam hadis Ibnu Umar
Bahwa Rasulullah ﷺ dan beberapa sahabatnya pernah menjenguk Sa’d bin Ubadah yang ketika itu sedang dirundung kesedihan seluruh keluarganya. Melihat suasana sedih, Nabi ﷺ bertanya, “Apa dia sudah meninggal?”
’Belum ya Rasulullah.’ jawab keluarganya.
Kemudian Nabi ﷺ menangis. Para sahabat pun ikut menangis. Kemudian Nabi ﷺ bersabda:
“Tidakkah kalian mendengar, bahwa Allah tidak menyiksa disebabkan tetesan air mata atau kesedihan hati. Namun Allah menyiksa atau merahmati disebabkan ini, – beliau ﷺ berisyarat ke lisannya -. Sesungguhnya mayit disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya.” [HR. Bukhari 1304 & Muslim 924]
Dari dua hadis di atas kita bisa memahami, bahwa tangisan yang menyebabkan mayit disiksa adalah tangisan ratapan. Tangisan sebagai ungkapan tidak terima dan tidak rida terhadap takdir dan keputusan Allah. Bukan tangisan karena kesedihan semata. Karena menahan tangisan kesedihan itu di luar kemampuan manusia. Sampai pun Rasulullah ﷺ tidak bisa menahan bentuk tangisan itu.
Makna semacam ini, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Ketika ada orang yang mati, kemudian keluarga yang menangisinya itu meratapinya dengan mengatakan, ’Duhai sandaran hidupku, duhai pahlawanku…’ atau semacamnya, maka Allah menyuruh malaikat untuk mendorong-dorong dadanya sambil ditanya: ”Apa benar kamu dulu seperti itu?” [HR. Turmudzi 1003 dan dihasankan al-Albani]
Kalimat semacam ini, ’Wahai pujaanku kenapa kau tinggalkan aku, pahlawanku, sandaran hidupku, ’ dst. merupakan ungkapan yang menunjukkan, bahwa keluarganya tidak menerima takdir Allah dengan kematiannya. Sehingga hukuman yang diberikan Allah adalah dia dipukuli malaikat, sambil dihina dengan pertanyaan, ”Apa benar kamu seperti yang diucapkan orang itu?”
Mengapa Mayit Ikut Disiksa?
Permasalahan berikutnya, mengapa mayit turut disiksa karena tangisan mereka yang hidup? Padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun. Tangisan itu adalah kesalahan keluarganya yang ditinggal mati.
Kita simak keterangan an-Nawawi:
واختلف العلماء في هذه الأحاديث فتأولها الجمهور على من وصى بأن يبكى عله ويناح بعد موته فنفذت وصيته فهذا يعذب ببكاء أهله عليه ونوحهم لأنه بسبه ومنسوب إليه
Ulama berbeda pendapat tentang maksud hadis, bahwa mayit disiksa karena ratapan keluarganya. Mayoritas Ulama memahami, bahwa hukuman itu berlaku untuk mayit yang berwasiat agar dia ditangisi dan diratapi setelah dia meninggal. Kemudian wasiatnya dilaksanakan. Maka dia disiksa dengan tangisan dan ratapan keluarganya karena kematiannya. Karena dia menjadi penyebab adanya tangisan itu.
قالوا فأما من بكى عليه أهله وناحوا من غير وصية منه فلا يعذب لقول الله تعالى ولا تزر وازرة وزر أخرى قالوا وكان من عادة العرب الوصية بذلك
Mereka juga mengatakan, mayit yang ditangisi keluarganya dan diratapi tanpa ada wasiat sebelumnya, maka dia tidak disiksa, berdasarkan firman Allah, (yang artinya):”Seseorang tidak menanggung dosa yang dilakukan orang lain.”
Mereka mengatakan, bahwa bagian dari kebiasaan orang Arab, mereka berwasiat agar diratapi. [Syarh Shahih Muslim, 6/228]
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)