BENARKAH ALMARHUM SEBUTAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL?
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
BENARKAH ALMARHUM SEBUTAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL?
Dalam kehidupan sehari-hari, acapkali kita mendengar atau membaca di media massa cetak ataupun elektronik, yaitu penyebutan kalimat almarhum (orang yang mendapatkan rahmat) kepada orang yang sudah meninggal, sehingga seakan-akan menjadi gelar. Bagaimanakah pandangan ulama mengenai penyebutan kalimat ini?
Berikut ini adalah nukilan sebuah pertanyaan dan jawabannya.
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ ditanya:
“Saya mendengar sebagian kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang. Saya ingin mengetahui pandangan Islam terhadap kalimat ini. Misalnya jika ada seseorang tertentu meninggal dunia, sebagian orang ada yang mengatakan “almarhum Si Fulan”. Jika orang yang meninggal itu memiliki kedudukan, mereka mengatakan “al maghfur lahu Fulan”.
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ menjawab:
Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang setelah orang itu meninggal dunia, merupakan perkara gaib, hanya diketahui oleh Allah. Kemudian makhluk yang diberitahu oleh Allah ﷻ, seperti para malaikat-Nya dan para nabi-Nya.
Jadi pemberitaan orang lain, selain para malaikat atau para nabi tentang mayit, bahwa ia sudah mendapatkan rahmat atau maghfirah, merupakan sesuatu yang TIDAK BOLEH. Kecuali (tentang) orang yang sudah dijelaskan nash dari Nabi ﷺ. (Kalau berani berbicara) tanpa nash, bararti telah berlaku lancang atas sesuatu yang gaib, padahal Allah ﷻ berfirman:
“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak memerlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya.” [QS. al Jin:26-27]
Namun seorang Muslim diharapkan mendapatkan maghfirah (ampunan), rahmat, dan masuk Surga, sebagai karunia dan kasih sayang dari Allah. Dan dia didoakan agar mendapatkan ampunan, sebagai ganti dari pemberitaan, bahwa ia telah mendapatkan ampunan dan rahmat.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” [QS. an Nisa’:48]
“Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit, bahwa Ummul Ala’, dia seorang wanita yang sudah pernah membaiat Nabi ﷺ memberitahuku, bahwa kaum Muhajirin diundi (untuk menentukan siapa di kalangan Muhajirin yang ditempatkan di rumah dari kalangan Anshar). Maka Utsman bin Mazh’un terpilih buat kami, lalu kami tempatkan di rumah kami. Lalu dia sakit yang menyebabkannya meninggal dunia. Ketika sudah meninggal, dimandikan, dan telah dikafani dengan kain-kainnya, Rasulullah ﷺ masuk.
Lalu aku mengatakan: “Rahmat Allah atasmu, wahai Abu Sa’ib (maksudnya Utsman bin Mazh’un). Aku bersaksi, bahwa sungguh Allah telah memuliakanmu.”
Mendengar ucapanku ini, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Apa yang telah membuat engkau mengetahui bahwa Allah telah memuliakannya?”
Aku mengatakan: ”Demi bapakmu (ini bukan untuk bersumpah, Pent), lalu siapa yang dimuliakan Allah?”
Rasulullah ﷺ menjawab:”Karena dia sudah meninggal dunia. Maka demi Allah, saya sungguh mengharapkan kebaikan baginya. Dan demi Allah, saya tidak tahu, padahal saya adalah Rasulullah, apa yang akan Allah lakukan pada diri saya!”
Kemudian Ummul ‘Ala mengatakan: “Demi Allah. Setelah itu, seterusnya, (kepada seorang pun) saya tidak (lagi) memberi persaksian, bahwa si Fulan mendapatkan kebaikan setelah meninggalnya”. [HR Bukhari]
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada kamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang.” [QS. al Fath:1- 2]
Juga sebelum Allah memberitahukan beliau ﷺ termasuk sebagai penghuni Surga:
Komite Fatwa Dan Pembahasan Ilmiah. Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazaq Afifi; Anggota: Abdullah Al Gadyan dan Abdullah Qu’ud
[Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’, 2/159-160]
Mengenai ucapan almarhum, jika maknanya pemberitaan tentang keadaan si mayit, bahwa ia telah mendapatkan rahmat dari Allah, maka ini haram. Karena ucapan ini berarti sama dengan memastikan, bahwa si Fulan termasuk penduduk Surga. Padahal ini termasuk perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah, dan orang-orang yang diberitahu oleh Allah ﷻ.
Syaikh Bin Baz mengatakan:
“Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan, sesungguhnya tidak diperbolehkan memberikan persaksian atas diri seseorang, bahwa orang itu di Surga atau di Neraka, kecuali yang telah dijelaskan dalam nash Alquran. Seperti Abu Lahb (sebagai penghuni Neraka), dan orang yang dipersaksikan Rasulullah ﷺ sebagai penghuni Surga, seperti sepuluh sahabat (yang diberitakan akan masuk Surga), atau yang semisalnya. Demikian juga (tidak diperbolehkan) persaksian atas seseorang, bahwa ia maghfur lahu (mendapatkan ampunan), atau almarhum (mendapatkan rahmat).
Oleh karena itu, sebagai ganti dari ucapan almarhum dan al maghfur, sebaiknya diucapkan:
غَفَرَالله لَهُ
Semoga Allah mengampuninya. Atau
رَحِمَهُ اللهُ
Semoga Allah merahmatinya.
Atau ungkapan sejenis yang termasuk doa bagi si mayit.” [Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalatu Mutanawwi’ah, 4/335]
“Namun jika makna almarhum itu sebagai ungkapan optimisme atau harapan, semoga si mayit mendapatkan rahmat, maka tidaklah mengapa mengucapkan kata-kata ini.” [Lihat Majmu’ Fatawa, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/85]
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami, semestinya jika kalimat almarhum diganti dengan rahimahullah, ghafarallahu lahu, Allahu yarhamuhu atau sejenisnya, yang merupakan doa.
Demikian, semoga bermanfaat bagi kita. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]