Berikut ini beberapa adab yang baik dan akhlak yang mulia kepada orang tua:
- Tidak Memandang Orang Tua Dengan Pandangan Yang Tajam Atau Tidak Menyenangkan
- Tidak Meninggikan Suara Ketika Berbicara Dengan Orang Tua
Dalil kedua ada di atas adalah hadis Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengenai bagaimana adab para Sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, disebutkan di dalamnya:
وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له
“Jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan: “Setiap adab di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa adab-adab tersebut merupakan sikap penghormatan”.
Maka dari hadis ini, merendahkan suara dan tidak memandang dengan tajam, merupakan akhlak yang mulia dan sikap penghormatan yang tentu sangat layak untuk kita terapkan kepada orang tua kita, karena merekalah orang yang paling layak mendapatkan perlakuan yang paling baik dari kita.
- Tidak Mendahului Mereka Dalam Berkata-Kata
Di antara adab yang mulia kepada orang tua adalah tidak mendahului mereka dalam berkata-kata dan memersilakan serta membiarkan mereka berkata-kata terlebih dahulu hingga selesai. Lihatlah bagaimana Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu menerapkan adab ini. Beliau berkata:
كنَّا عندَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فأتيَ بِجُمَّارٍ، فقالَ: إنَّ منَ الشَّجرةِ شجَرةً، مثلُها كمَثلِ المسلِمِ ، فأردتُ أن أقولَ: هيَ النَّخلةُ، فإذا أنا أصغرُ القومِ، فسَكتُّ، فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: هيَ النَّخلةُ
“Kami pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di Jummar, kemudian Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘Sebetulnya aku ingin menjawab: pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini maka aku diam’. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberi tahu jawabannya (kepada orang-orang): ‘Ia adalah pohon kurma’” (HR. Al Bukhari 82, Muslim 2811).
Ibnu Umar radhiallahu’anhuma melakukan demikian karena adanya para sahabat lain yang lebih tua usianya, walau bukan orang tuanya. Maka tentu adab ini lebih layak lagi diterapkan kepada orang tua kita.
- Tidak Duduk Di Depan Orang Tua Sedangkan Mereka Berdiri
Dalilnya hadis Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:
اشتكى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فصلينا وراءَه وهو قاعدٌ, وأبو بكرٍ يُسْمِعُ الناسَ تكبيرَه, فالتفتَ إلينا فرآنا قيامًا فأشار إلينا فقعدنا, فصلينا بصلاتِه قعودًا. فلما سلَّمَ قال: إن كدتُم آنفًا لتفعلون فعلَ فارسَ والرومِ, يقومون على ملوكِهم وهم قعودٌ. فلا تفعلوا. ائتموا بأئمَّتِكم. إن صلى قائمًا فصلوا قيامًا وإن صلى قاعدًا فصلوا قعودًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaduh (karena sakit), ketika itu kami sholat bermakmum di belakang beliau, sedangkan beliau dalam keadaan duduk, dan Abu Bakar memerdengarkan takbirnya kepada orang-orang. Lalu beliau menoleh kepada kami, maka beliau melihat kami sholat dalam keadaan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat kepada kami untuk duduk, lalu kami sholat dengan mengikuti sholatnya dalam keadaan duduk. Ketika beliau mengucapkan salam, maka beliau bersabda, ‘Kalian baru saja hampir melakukan perbuatan kaum Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan raja mereka, sedangkan dia dalam keadaan duduk. Maka janganlah kalian melakukannya. Berimamlah dengan imam kalian. Jika dia sholat dalam keadaan berdiri, maka sholatlah kalian dalam keadaan berdiri, dan jika dia sholat dalam keadaan duduk, maka kalian sholatlah dalam keadaan duduk” (HR. Muslim, no. 413).
Para ulama mengatakan dilarangnya hal tersebut karena merupakan kebiasaan orang kafir Persia dan Romawi. Maka hendaknya kita menyelisihi mereka.
- Lebih Mengutamakan Orang Tua Daripada Diri Sendiri Atau Iitsaar Dalam Perkara Duniawi
Hendaknya kita tidak mengutamakan diri kita sendiri dari orang tua dalam perkara duniawi seperti makan, minum, dan perkara lainnya. Sebagaimana hadis dalam Shahihain mengenai kisah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai tiga orang yang terjebak di dalam gua yang tertutup batu besar, kemudian mereka bertawassul kepada Allah dengan amalan-amalan mereka, salah satunya berkata:
اللهمّ ! إنه كان لي والدان شيخان كبيران . وامرأتي . ولي صبيةٌ صغارٌ أرعى عليهم . فإذا أرحتُ عليهم ، حلبتُ فبدأتُ بوالدي فسقيتُهما قبل بنيّ . وأنه نأى بي ذاتَ يومٍ الشجرُ . فلم آتِ حتى أمسيتُ فوجدتُهما قد ناما . فحلبتُ كما كنت أحلبُ . فجئتُ بالحلابِ . فقمت عند رؤوسِهما . أكرهُ أن أوقظَهما من نومِهما . وأكرهُ أن أسقيَ الصبيةَ قبلهما . والصبيةُ يتضاغون عند قدمي . فلم يزلْ ذلك دأبي ودأبُهم حتى طلع الفجرُ . فإن كنت تعلم أني فعلتُ ذلك ابتغاءَ وجهِك ، فافرجْ لنا منه فرجةً ، نرى منها السماءَ . ففرج اللهُ منه فرجةً . فرأوا منها السماءَ
“Ya Allah sesungguhnya saya memiliki orang tua yang sudah tua renta, dan saya juga memiliki istri dan anak perempuan yang aku beri mereka makan dari mengembala ternak. Ketika selesai menggembala, aku perahkan susu untuk mereka. Aku selalu dahulukan orang tuaku sebelum keluargaku. Lalu suatu hari ketika panen aku harus pergi jauh, dan aku tidak pulang kecuali sudah sangat sore, dan aku dapati orang tuaku sudah tidur. Lalu aku perahkan untuk mereka susu sebagaimana biasanya, lalu aku bawakan bejana berisi susu itu kepada mereka. Aku berdiri di sisi mereka, tapi aku enggan untuk membangunkan mereka. Dan aku pun enggan memberi susu pada anak perempuanku sebelum orang tuaku. Padahal anakku sudah meronta-ronta di kakiku karena kelaparan. Dan demikianlah terus keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau tahu aku melakukan hal itu demi mengharap wajah-Mu, maka bukalah celah bagi kami yang kami bisa melihat langit dari situ. Maka Allah pun membukakan sedikit celah yang membuat mereka bisa melihat langit darinya“.
Semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiiq was sadaad.
Referensi: Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Asy Syaikh Al Muhaddist Musthofa Al ‘Adawi hafizhahullah
Penulis: Yulian Purnama
Leave A Comment