Manakah batasan aurat wanita? Yang kita bahas kali ini adalah aurat wanita yang tidak boleh ditampakkan di hadapan umum, di hadapan para pria yang bukan mahramnya. Tinjauan kali ini adalah berdasarkan Madzhab Syafi’i.
Aurat itu wajib ditutupi, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Jagalah (tutuplah) auratmum kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” [HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini Hasan]
Imam Nawawi menyatakan, bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia. Dan ini adalah Ijmak (kata sepakat ulama). (Idem).
Adapun aurat wanita disinggung oleh Imam Nawawi yaitu seluruh badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. [Al Majmu’, 3: 122]. Juga disinggung beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188.
Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat Mayoritas Ulama, dan itulah pendapat terkuat.
Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah penyusun kitab Al Iqna’ menyatakan, bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah ﷻ:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya,” [QS. An Nur: 31]
Yang dimaksud, menurut ulama pakar tafsir, adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan. [Lihat Al Iqna’, 1: 221]
Asy Syarbini berkata:
“Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” [QS. An Nur: 31]
Yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah tafsiran dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.” [Mughnil Muhtaj, 1: 286]
Konsekuensi dari pernyataan aurat wanita di atas, BAGIAN TANGAN dan KAKI adalah AURAT, termasuk juga BADAN. Sehingga kalau bagian tersebut hanya dibalut dengan baju dan tidak longgar, alias ketat, maka berarti aurat BELUMLAH tertutup.
Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian wanita muslimah dengan memakai penutup kepala namun sayangnya masih berpakaian ketat, BELUMLAH menutup aurat, karena bagian aurat seperti tangan, badan, masih terlihat bentuk lekuknya. Celana ketat pada paha pun masih menampakkan lekuk tubuh yang seksi. Lebih-lebih di dada, walau kepala tertutup, masih bisa membuat laki-laki tergoda syahwatnya.
Berjilbab yang benar bukan hanya menutup rambut kepala, tetapi juga harus memerhatikan baju dan rok yang digunakan, mestilah lebar. Adapun menggunakan celana panjang tidaklah menggambarkan menutup aurat dengan sempurna meski longgar, karena bentuk lekuk tubuh masih terlihat.
Jadi yang aman bagi wanita adalah menggunakan baju atau gamis, lalu ditutupi dengan jilbab yang lebar di luarnya, yang panjangnya hingga pinggang atau paha, sehingga lebih menutupi sempurna bagian badan. Kemudian bagian bawah lebih baik menggunakan rok lebar (longgar), tidak ketat. Rok tersebut hingga menutupi kaki. Adapun panjang rok tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadis Ummu Salamah berikut ini:
Dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada Hari Kiamat.”
Ummu Salamah lantas berkata: “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?”
Nabi ﷺ menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.”
Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu, telangkap kakinya masih tersingkap.”
Beliau ﷺ bersabda: “Turunkan satu hasta. Jangan lebih dari itu.“[HR. Tirmidzi no. 1731 dan An Nasai no. 5338. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini Hasan Sahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini Sahih]
Pelajaran yang bisa kita petik dari penjelasan ulama Syafi’iyah di atas, punggung dan bagian dalam telapak tangan bukanlah aurat yang mesti ditutupi. Wallahu a’lam.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc hafizhahullah