Sesungguhnya lisan merupakan organ tubuh yang sangat penting, karena ialah yang menakbir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam hati seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap. Jika seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan, maka ia akan memeroleh kebaikan yang banyak. Adapun jika ia membiarkannya mengucapkan keburukan-keburukan, maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka. Dan inilah yang lebih banyak terjadi. Rasulullah ﷺ bersabda:
أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
“Mayoritas dosa seorang anak Adam adalah pada lisannya.” [1]
Oleh karena itu, lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat manusia ke dalam api Neraka.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ: الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam Neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.” [2]
Sesungguhnya penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak terkendali sangatlah banyak. Namun di sana ada sebuah penyakit yang paling merajalela dan menjangkiti kaum Muslimin. Penyakit tersebut terasa sangat ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk didengarkan [3] (bagi orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa setan), namun dosanya sangatlah besar. Penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan saudara sesama Muslim) [4]
Betapa banyak persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan ghibah…???
Betapa banyak kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada kaum Muslimin dikarenakan ghibah…???
Betapa banyak permusuhan terjadi di antara kaum Muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???
Dan betapa banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah yang dilakukannya…???
Serta betapa banyak orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarenakan ghibah yang dilakukannya…???
Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan, sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi:
“Ketahuilah, bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek, serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia. Sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah, kecuali hanya sedikit orang.” [5]
Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin.
Banyak kaum Muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah taala dengan baik. Bisa menjalankan Sunnah-sunnah Nabi ﷺ. Mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer. Bahkan mampu untuk salat malam setiap hari, senantiasa puasa Senin Kamis. Namun mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar, namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah.
Berkata Ibnul Qayyim:
“Dan merupakan perkara yang aneh, adalah mudah bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram, menjauhkan dirinya dari perbuatan zalim, zina, mencuri, memimum minuman keras, memandang pada perkara-perkara yang diharamkan baginya, dan perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk menjaga gerak-gerik lisannya.
Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun ia mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah. Dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut, sehingga ia pun terperosok ke Neraka, lebih jauh dari jarak antara Timur dan Barat, hanya dikarenakan satu kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam menjauhi perbuatan-perbuatan keji, perbuatan zalim, namun lisannya ceplas-ceplos menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat. Dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.” [6]
Berkata Al-Ghozaali:
“Dan sebagian mereka berkata: “Kami mendapati para salaf, dan mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa, dan tidak juga pada salat. Akan tetapi mereka memandangnya pada sikap menahan diri dari (melecehkan) harkat dan harga diri manusia.” [7]
Sebagian orang yang dikenal berpegang teguh dengan Sunnah dan berdakwah menyeru kepada Sunnah, serta memiliki semangat untuk membantah Ahlul Bidah, yang hal ini merupakan perkara yang sangat dituntut dalam syariat, namun yang sangat disayangkan, mereka tatkala terbiasa membantah Ahlul Bidah dan membicarakan kejelekan-kejelekan mereka, akhirnya terbiasa pula dengan bergihbah ria membicarakan kejelekan-kejelekan saudara-saudara mereka sendiri sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana perkara mengghibah Ahlul Bidah merupakan hal yang biasa, akhirnya menggibah saudara-saudara mereka sesama Ahlus Sunnah pun menjadi hal yang lumrah dan biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka lupa, bahwa mengghibah Ahlul Bidah merupakan rukhsah yang diberikan oleh syariat, karena ada kemaslahatan yang diperoleh. Dan itu pun harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariat. Dan hal ini tidaklah bisa disamakan dengan mengghibah sesama Ahlus Sunnah.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan bahaya penyakit ini, dan hukum-hukum seputar penyakit ini, untuk mengingatkan penulis pribadi akan bahaya ghibah, dan juga mengingatkan para saudaraku kaum Muslimin.
Allah ﷻ benar-benar telah mencela penyakit ghibah, dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di:
“Kemudian Allah taala menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah. Allah taala berfirman:
“Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati? Pasti kalian membencinya. Maka bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah Maha Menerima tobat dan Maha Pengasih.” [QS. Al Hujurat 12]
Allah taala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging saudara (yang digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai. Yang (hal ini) sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia, sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya, apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa, maka demikian pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup.” [8]
Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan. Namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallahu anhu:
Dari Qois berkata: ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallahu anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai). Maka beliau berkata:”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya), lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang Muslim).” [9]
Syaikh Salim Al-Hilaly berkata:
“… Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk Bani Adam secara tabiat, walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan. Bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama? Sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? Karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [10]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: Tahukah kalian apakah ghibah itu?
Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Nabi ﷺ berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.”
Nabi ﷺ ditanya: “Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya?”
Nabi ﷺ menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu, berarti engkau telah mengghibahinya. Tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar, maka berarti engkau telah berdusta atasnya.” [11]
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu:
Dari Hammad dari Ibrahim berkata, Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:
”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu. Dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya, berarti itu adalah kedustaan.” [12]
Dari hadis ini para ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah: ”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu, yang seandainya dia tahu, maka dia akan membencinya.” Dan hadis ini umum mencakup apa saja yang dibenci oleh saudaramu [13]. Sama saja, apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya, atau nasabnya, atau akhlaknya, atau perbuatannya, atau pada agamanya, atau pada masalah duniawinya, tentang anaknya, saudaranya, atau istrinya. Dan engkau menyebutkan aibnya di hadapan manusia dalam keadaan dia gaib (tidak hadir).
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali:
”Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu), dan dia dalam keadaan gaib (tidak hadir di hadapan engkau). Oleh karena itu, (saudaramu) yang gaib tersebut disamakan dengan mayat, karena si gaib tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui, bahwa daging tubuhnya dimakan, sebagaimana si gaib juga tidak mengetahui ghibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya.” [14]
Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.
Dari Abu Hudzaifah dari Aisyah, bahwasanya beliau (Aisyah) menyebutkan seorang wanita, lalu beliau (Aisyah) berkata: ”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek.” Maka Nabi ﷺ berkata: ”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut.” [15]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلمحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ: تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.
Dari Aisyah beliau berkata, ‘Aku berkata kepada Nabi ﷺ: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu.” Sebagian rawi berkata:”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek.” Maka Nabi ﷺ berkata: ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat, yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut, niscaya akan mengubahnya.” [16]
Dari Jarir bin Hazim berkata: Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki, kemudian dia berkata: ”Dia lelaki yang hitam.” Kemudian dia berkata: “Aku mohon ampunan dari Allah. Sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu.” [17]
Ibnu Sirin pernah berkata: “Jika seseorang benci jika engkau berkata kepadanya: “Rambutmu keriting”, maka janganlah engkau menyebutkan hal itu.” [18]
Adapun pada nasab misalnya engkau berkata:
”Dia dari keturunan orang rendahan.”
“Dia keturunan maling.”
“Dia keturunan pezina.”
“Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain.
Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata:
”Dia akhlaknya jelek. Orang yang pelit.”
“Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian).”
“Dia penakut.”
“Dia itu orangnya lemah.”
“Dia itu hatinya lemah.”
“Dia itu temperamental.”
Adapun pada agamanya, misalnya engkau berkata:
”Dia pencuri.”
“Dia pendusta.”
“Dia peminum khomer.”
“Dia pengkhianat.”
“Dia itu orang yang zalim, tidak mengeluarkan zakat.”
“Dia tidak membaguskan sujud dan rukuk kalau salat.”
“Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain.
Dan menggibahi seseorang dengan menyebutkan perkara-perkara yang berkaitan dengan agamanya merupakan ghibah yang sangat keji.
Berkata Al-Qurthubhi:
“Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi ﷺ dan para tabiin setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang). Karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang Mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya, daripada jika disinggung (cacat) tubuhnya.” [19]
Adapun pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata:
“Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtiram kepada manusia”, “Tidak memerhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si Fulan lebih baik daripada dia” dan lain-lain.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata, ‘Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata:
“Aku menemui Muhammad bin Sirin, dan aku dalam keadaan sakit.
Maka dia (Ibnu Sirin) berkata: ”Aku melihat engkau sedang sakit.”
Aku berkata: ”Benar.”
Maka dia berkata: ”Pergilah ke tabib Fulan, mintalah resep kepadanya.” (Tetapi) kemudian dia berkata:”Pergilah ke Fulan (tabib yang lain), karena dia lebih baik daripada si Fulan (tabib yang pertama).”
Kemudian dia berkata: “Aku mohon ampun kepada Allah. Menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama).” [20]
Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain. Misalnya berjalan dengan pura-pura pincang, atau pura-pura bungkuk, atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya, dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis:
Aisyah berkata: “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi ﷺ.” Maka Nabi ﷺ pun berkata: ”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang, (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian.” [21]
Termasuk ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata: ”Si Fulan telah berkata demikian-demikian,” dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah haram. Jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah. Bahkan merupakan nasihat yang wajib, yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.
Demikian pula jika seorang penulis berkata, atau yang lainnya berkata: “Telah berkata suatu kaum, atau suatu jamaah, demikian-demikian. Dan pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan, atau kebodohan, atau keteledoran, dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jamaah tertentu. [22]
Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya, seperti isyarat dengan perkataan, atau isyarat dengan mata, atau bibir dan lainnya.Yang penting bisa dipahami, bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain.
Di antaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau, lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah taala yang telah menjaga kita dari sifat pelit.” Atau “Semoga Allah taala melindungi kita dari memakan harta manusia dengan kebatilan,” atau yang lainnya. Sebab orang yang mendengar perkataan engkau itu paham, bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek. [23] Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya. Sebab engkau telah menunjukkan kepada manusia, bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.
Ghibah Dilakukan dalam Hati??!!
Berkata Al-Ghozaali dalam sub judul “Penjelasan Pengharaman Ghibah dengan Hati”:
((Ketahuilah, bahwasanya berprasangka buruk merupakan perkara yang haram, sebagaimana perkataan yang buruk. Sebagaimana haram bagimu untuk menyampaikan kepada orang lain tentang kejelekan-kejelekan saudaramu dengan lisanmu, maka demikian juga tidak boleh bagimu untuk menyampaikan kepada hatimu (tentang kejelekan-kejelekan saudaramu), dan engkau berprasangka buruk terhadap saudraramu itu. Bukanlah maksudku dengan prasangka di sini melainkan adalah menekankan hati dan menghukumi orang lain dengan kejelekan. Adapun hanya sekadar lintasan pikiran, maka dimaafkan oleh Allah. Bahkan keraguan juga dimaafkan oleh Allah. Akan tetapi yang dilarang adalah (jika sampai pada tingkat) prasangka. Dan prasangka merupakan sesuatu keadaan, di mana hati telah condong dan cenderung meyakininya.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” [QS. 49:12]
Dan sebab pengharamannya adalah karena rahasia-rahasia hati tidaklah diketahui, kecuali oleh Yang Maha Mengetahui hal-hal gaib. Maka tidak boleh engkau meyakini kejelekan pada diri orang lain, kecuali jika engkau mengungkapnya dengan melihat dengan dua matamu, sehingga tidak bisa ditakwil lagi. Maka tatkala itu tidak mungkin bagimu untuk meyakini, kecuali apa yang engkau ketahui dan engkau lihat. Adapun apa yang tidak engkau lihat dengan mata kepalamu, dan tidak engkau dengar langsung dengan telingamu, kemudian terlintas di hatimu (tentang kejelekan saudaramu), maka ini berasal dari setan yang telah melemparkan prasangka tersebut kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau mendustakan setan, karena dia adalah makhluk yang paling fasik.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum, tanpa mengetahui keadaannya.” [QS. Al-Hujurat 49:6]
Maka tidak boleh bagimu untuk membenarkan iblis. Jika di sana ada indikasi yang menunjukkan akan keburukan (saudaramu), namun masih ada kemungkinan selain itu, maka tidak boleh bagimu untuk membenarkannya. Karena orang fasik, meskipun memang bisa jujur dalam menyampaikan berita, akan tetapi tidak boleh bagimu untuk membenarkannya. Bahkan barang siapa yang mencium bau mulut orang lain, kemudian ia mendapatkan bau khamer (bir/ minuman beralkohol lainnya), maka tidak boleh baginya kecuali hanya berkata: “Mungkin orang ini hanya sekadar berkumur-kumur dengan khamer, kemudian ia membuangnya dan tidak meminumnya.” Atau “Mungkin ia dipaksa untuk meminum khamer.” Dan hal ini menunjukkan akan indikasi-indikasi yang masih mengandung kemungkinan-kemungkinan. Maka tidak boleh dibenarkan dengan hati, dan berprasangka buruk kepadanya. Maka tidak dibolehkan prasangka buruk, kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya dihalalkan harta [24], yaitu dengan melihatnya secara langsung, atau adanya persaksian dari orang-orang yang adil. Jika ia tidak memiliki perkara-perkara tersebut, kemudian terlintas dalam benakmu was-was prasangka buruk, maka hendaknya engkau menolaknya dari dirimu. Dan engkau menekankan pada hatimu, bahwasanya (hakikat) keadaan saudaramu masih tertutup (tidak engkau ketahui) sebagaimana sebelumnya. Adapun keburukan yang engkau lihat pada dirinya masih mengandung kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk.
Jika engkau berkata: “Bagaimana diketahui perbedaan antara prasangka buruk dengan hanya sekadar ragu atau sekadar lintasan pikiran…??” Kita katakan, bahwasanya tanda adanya prasangka buruk yaitu berubahnya hatimu terhadap orang yang engkau prasangka buruk tersebut. Hatimu lari darinya dan merasa berat, dan malas untuk memerhatikannya, atau mengecek keadaannya, memuliakannya, sedih dengannya. Ini merupakan tanda-tanda, bahwa hatimu telah sampai pada tahap prasangka buruk.)) [25]
Namun bagaimanapun juga penjelasan Al-Ghozali ini masih perlu diteliti kembali. Sebab sebagaimana yang telah lalu penjelasannya, bahwasanya definisi ghibah adalah mencakup pengungkapan kejelekan saudara, (baik dengan lisan ataupun dengan isyarat apapun yang bisa dipahami maksudnya) di hadapan orang lain, tanpa sepengatahuan atau tanpa kehadiran saudaranya tersebut. Dan pernyataan bahwa prasangka buruk termasuk ghibah perlu ditinjau kembali, mengingat penulis belum menemukan perkataan ulama selain Al-Ghozaali yang memasukkan prasangka buruk dalam ghibah. Tentunya dosa ghibah tidak sama dengan dosa prasangka buruk. Wallahu a’lam bisshowaab
Model-Model Para Pengghibah
Ibnu Taimiyah berkata tatkala menjelaskan model-model para pengghibah:
1. Ada orang yang mengghibah untuk menyesuaikan diri (agar obrolannya nyambung) dengan teman-teman duduknya, para sahabatnya, atau karib kerabatnya. Padahal ia mengetahui bahwasanya orang yang dighibahi berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Atau memang benar pada dirinya sebagian apa yang mereka katakan, akan tetapi ia melihat kalau ia mengingkari (ghibah yang) mereka lakukan, maka ia akan memutuskan pembicaraan, dan para sahabatnya akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan meninggalkannya. Maka ia pun memandang, bahwa sikapnya yang menyesuaikan diri dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada mereka, dan merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka marah, jika ia mengingkari mereka. Maka ia pun akan balas marah karena hal itu. Karenanya ia pun tenggelam bersama mereka untuk berghibah ria.
2. Di antara mereka (para tukang ghibah) ada yang bergibah ria dengan model yang bermacam-macam. Terkadang menampakkan ghibah dalam bentuk agama dan kebaikan. Maka ia berkata: “Bukanlah kebiasaanku menyebutkan seorang pun, kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dan aku tidak suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada kalian tentang kondisinya.”
Atau ia berkata: “Kasihan dia…”, atau “Ia orang yang baik, namun pada dirinya ada begini dan begitu.” Dan terkadang ia berkata: “Jauhkanlah kami dari (pembicaraan) tentangnya. Semoga Allah mengampuni kita dan dia,” namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan menjatuhkannya. Mereka membungkus ghibah dengan label-lebel kebaikan dan label-lebel agama. Mereka hendak menipu Allah dengan perbuatan mereka tersebut, sebagaimana mereka telah menipu makhluk (manusia). Dan sungguh, kami telah melihat dari mereka model-model yang banyak seperti ini dan yang semisalnya [26].
3. Di antara mereka ada yang menjatuhkan orang lain karena riya, dalam rangka untuk mengangkat dirinya sendiri. Ia berkata: “Kalau seandainya tadi malam aku berdoa dalam salatku untuk si Fulan, tatkala sampai kepadaku kabar tentang dirinya begini dan begitu…”, untuk mengangkat dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap orang itu baik. Atau ia berkata: “Si Fulan itu pendek akalnya, telat mikirnya.” Padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk menunjukkan bahwa dirinya pandai dan lebih baik dari orang tersebut.
4. Di antara mereka ada yang berghibah karena hasad (dengki). Maka ia telah menggabungkan dua perkara buruk, ghibah dan hasad. Dan jika ada seseorang yang dipuji, maka berusaha sekuat-kuatnya untuk menghilangkan (menangkis) pujian itu dengan merendahkannya, dengan berkedok agama dan kebaikan. Atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad, kefajiran, dan celaan, agar orang tersebut jatuh di hadapan matanya.
5. Di antaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk ejekan, dan menjadikannya bahan mainan, agar membuat yang lainnya tertawa karena ejekannya atau ceritanya (sambil meniru-niru gaya orang yang dihina) tersebut, serta perendahaannya terhadap orang yang ia ejek tersebut.
6. Di antaranya ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk sikap takjub (heran). Dia berkata: “Aku heran dengan si Fulan. Bagaimana ia sampai tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku heran dengan si Fulan, kenapa bisa timbul darinya ini dan itu…”, “Kenapa bisa melakukan demikian dan demikian…”. Maka ia menampakkan nama saudaranya (yang ia ghibahi tersebut) dalam bentuk sikap keheranannya.
7. Di antaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk rasa sedih. Ia berkata: “Si Fulan kasihan dia. Sungguh aku sedih dengan apa yang telah dilakukannya, dan yang telah terjadi pada dirinya.” Maka orang lain yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih dan menyayangkan saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika ia mampu, maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu di hadapan musuh-musuh saudaranya tersebut, agar mereka bisa membalasnya (menghabisinya). Model yang seperti ini dan juga yang lainnya merupakan penyakit-penyakit hati yang paling parah, dan juga merupakan bentuk usaha untuk menipu Allah dan para hamba-Nya.
8. Di antara mereka ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk marah dan mengingkari kemungkaran. Dia menampakkan kata-kata yang indah (untuk mengghibahi saudaranya), dengan cara seperti ini (dengan alasan mengingkarai kemungkaran). Padahal maksudnya bertentangan dengan apa yang ia nampakkan. Hanya Allah-lah tempat meminta pertolongan. [27]
Bagaimana Jika yang Dighibahi adalah Orang Kafir?
Berkata As-Shon’ani:
“Dan perkataan Rasulullah ﷺ (dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama, merupakan dalil, bahwasanya selain Mukmin boleh mengghibahinya.”
Berkata Ibnul Mundzir:
”Dalam hadis ini ada dalil, bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti Yahudi, Nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebidahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya.” [28]
Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata As-Shon’ani:
“Dan pada perkataan Rasulullah ﷺ بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yang dia benci) menunjukkan, bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak membenci aib yang ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah.” [29]
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali:
”Jika kita telah mengetahui hal itu, (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek, namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang haram, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci. Tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Alquran (yaitu firman Allah):
ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ
“Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. [QS. Al-Hujurat: 11-pent], yang jelas-jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek), sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu).” [30]
Bagaimana Jika yang Gighibahi Tidak Diketahui Orangnya?
Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwasanya ghibah yang haram adalah jika orang yang dighibahi tersebut jelas diketahui. Adapun jika tidak diketahui orangnya, maka bukanlah merupakan ghibah yang haram. Karena hanyalah yang merasa tersakiti tatkala dighibahi, adalah orang yang diketahui. Adapun jika tidak diketahui, maka yang dighibahi tidak akan tersakiti. Dan tidak ada orang yang akan mengabarkan ghibahnya tersebut kepadanya, karena ia tidak diketahui. [31]
Al-A’masy berkata:
“Mereka (salaf) tidaklah memandang ghibah, jika tidak disebutkan nama orang yang sedang disebutkan kejelekannya.” [32]
Faktor-Faktor Pendorong Timbulnya Ghibah
Berkata Al-Ghozaali:
((Ketahuilah, bahwasanya faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ghibah banyak. Akan tetapi semuanya terkumpul pada sebelas faktor. Delapan di antaranya berlaku pada orang-orang awam, dan yang tiga sisanya berlaku pada orang-orang taat beragama dan orang-orang khusus.
Adapun yang delapan maka sebagai berikut:
1. Untuk memuaskan kemarahan. Hal ini terjadi jika kemarahan mengalir pada seseorang terhadap saudaranya. Tatkala kemarahan tersebut bergelora, maka secara tabiat (wajar) jika ia tidak memiliki (ghirah) agama yang kuat, maka kemarahan tersebut akan terlampiaskan dengan menyebutkan keburukan-keburukan saudaranya tersebut. Terkadang ia tidak melampiaskan kemarahannya tatkala sedang marah (terhadap saudaranya), maka akhirnya kemarahan tersebut terpendam di dalam batinnya, kemudian berubah menjadi kedengkian yang menetap. Akhirnya kedengkian ini menjadi sebab yang selalu membuatnya menyebutkan keburukan-keburukan (saudaranya). Kedengkian dan kemarahan merupakan faktor besar yang memotivasi timbulnya ghibah.
2. Untuk menyesuaikan diri dengan para sahabat, dan sikap basa-basi terhadap mereka, serta ikut andil bersama mereka dalam berghibah ria. Jika para sahabatnya sedang berasyik-asyik menyebutkan kejelekan-kejelekan orang lain, maka ia memandang, seandainya ia mengingkari perbuatan mereka tersebut, atau memutuskan pembicaraan mereka, maka mereka akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya, dan akan meninggalkannya. Maka ia pun mendukung mereka. Dan ia memandang, bahwa sikapnya merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Dia menyangka sikapnya tersebut merupakan bentuk basa-basi dalam pergaulan. Terkadang sahabat-sahabatnya tersebut marah (terhadap orang yang sedang mereka ghibahi). Maka ia butuh untuk ikut-ikutan marah bersama mereka, sebagai untuk menunjukkan, bahwasanya ia ikut andil bersama mereka dalam kesenangan dan kesulitan. Akhirnya ia pun tenggelam bersama mereka dalam menyebutkan aib-aib dan keburukan-keburukan saudara mereka.
3. Ia merasa, bahwa ada seseorang yang sentimen kepadanya, dan menjelek-jelekannya dan keadaannya di sisi orang yang pemalu, atau orang tersebut bersaksi akan kejelekannya. Maka ia pun segera menjelek-jelekan orang tersebut, sebelum dia yang dijelek-jelekan. Dan mencelanya, agar pengaruh persaksian orang tersebut menjadi tidak bernilai. Atau terlebih dahulu ia menyebutkan kejelekan orang tersebut dengan jujur, lantas kemudian ia menjelek-jelekannya dengan berdusta tentangnya, sehingga kebohongannya ini pun laris diterima, karena kejujurannya di awal celaannya. Kemudian dia pun menjadikan kejujurannya pada awal celaannya itu sebagai dalil (untuk melariskan kebohongan-kebohongannya) seraya berkata: “Dusta bukanlah merupakan sifatku. Aku telah mengabarkan kepada kalian tentang kejelekannya tersebut dan kenyataannya, sebagaimana yang telah aku kabarkan kepada kalian.”
4. Ia dituduh telah melakukan suatu keburukan. Maka ia hendak menyatakan, bahwa dirinya berlepas diri dari tuduhan tersebut. Maka ia pun menyebutkan pelaku sebenarnya. Sebenarnya merupakan haknya untuk membela diri, namun tanpa menyebutkan pelaku sebenarnya. Maka janganlah ia menyandarkan tuduhan tersebut terhadap orang lain. Atau ia menyatakan, bahwa ia tidak sendiri melakukan perkara tersebut. Akan tetapi ia menyebutkan orang lain yang ikut serta bersamanya melakukan perkara tersebut, dengan maksud sebagai pembukaan agar uzurnya diterima (karena yang melakukan bukan hanya dia sendiri).
5. Keinginan untuk menampilkan diri dan menyaingi orang lain. Caranya yaitu dengan mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lain seraya berkata: “Si Fulan jahil (goblik), pemahamannya lemah, perkataannya lemah.” Padahal tujuannya adalah untuk menunjukkan kemuliaan dirinya di balik pencelaan-pencelaan tersebut. Atau ia kawatir orang tersebut akan diagungkan seperti diagungkannya (dihormatinya) dirinya, sehingga ia pun mencela orang tersebut.
6. Hasad (dengki). Yaitu terkadang ia dengki kepada seseorang yang dipuji oleh masyarakat, dicintai, dan dimuliakan oleh mereka. Maka ia pun ingin agar kenikmatan yang dikaruniakan kepada suadaranya itu segera hilang. Dan ia tidak menemukan cara untuk mencapai tujuannya, kecuali dengan mencela suadaranya itu. Ia ingin menjatuhkan kemuliaan saudaranya itu di hadapan masyarakat, agar masyarakat berhenti memuji saudaranya. Karena ia merasa berat jika mendengar pujian orang-orang terhadap saudaranya, pemuliaan mereka terhadapnya. Inilah yang disebut hasad. Dan hal ini berbeda dengan kemurkaan dan amarah yang terpendam. Karena amarah akan mendorong si pemarah untuk berbuat tindakan lalim (kriminal) kepada orang yang ia murkai. Adapun hasad terkadang timbul dari seorang sahabat yang berbuat baik dan teman yang sejalan.
7. Bercanda dan bergurau serta mengisi waktu dengan tertawa, lalu menyebutkan aib-aib orang lain, sehingga membuat orang-orang tertawa. (Contohnya) dengan cara meniru-niru gaya orang tersebut. Yang menjadikannya berbuat demikian adalah sifat sombong dan ujub (kagum dengan diri sendiri).
8. Mengejek dengan tujuan untuk merendahkan saudaranya. Hal ini bisa terjadi di hadapan orang yang diejek, dan juga bisa terjadi tidak di hadapannya (dan inilah yang termasuk ghibah). Sebab timbulnya ini adalah rasa angkuh dan perendahan terhadap orang yang ia ejek.
Adapun tiga sebab lain yang menjangkiti orang-orang yang khusus, maka perkaranya sangatlah pelik dan rumit. Hal ini karena ketiga perkara tersebut merupakan kejelekan yang disembunyikan oleh setan, dan dinampakan dalam bentuk kebaikan. Ada kebaikan, namun setan mencampurnya dengan kejelekan.
1. Dikarenakan ghirah terhadap agama, maka muncul dari diri seseorang pendorong rasa kaget dan heran tatkala bernahi mungkar terhadap pelaku kemungkaran. Maka ia pun berkata: “Aku sungguh heran dengan apa yang aku lihat dari perbuatan si Fulan.” Memang bisa jadi ia jujur dalam keheranannya (dia memang benar-benar heran), dan keheranannya itu karena melihat kemungkaran tersebut. Akan tetapi semestinya ia tidak perlu menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut. Namun setan menjadikannya mudah untuk menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut, yang terbungkus dalam label keheranan. Akibatnya jadilah ia seorang penggunjing, dan berdosa tanpa ia sadari. Contohnya adalah perkataan seseorang: “Aku heran dengan si Fulan. Bagaimana bisa ia mencintai budak wanitanya, padahal budaknya tersebut jelek,” dan, “Aku heran dengan si Fulan, bagaimana bisa ia duduk di hadapan si Fulan, padahal ia adalah seorang yang jahil.”
2. Perasaan sayang dan kasihan terhadap seseorang dikarenakan aib yang dimiliki oleh orang tersebut. Maka ia pun berkata: “Si Fulan kasihan. Kondisi dan aib yang ada padanya telah menyedihkanku.” Dan ia memang jujur tatkala mengungkapkan kesedihannya tersebut. Akan tetapi kesedihannya itu telah melalaikannya untuk berhati-hati untuk tidak menyebutkan nama orang tersebut. Maka jadilah ia telah berghibah ria, dan kasih sayangnya dan perasaan kasihannya merupakan kebaikan baginya. Demikian juga rasa takjubnya. Akan tetapi setan membawakan perasaannya itu kepada kejelekan tanpa ia sadari. Sesungguhnya perasaan cinta kasih serta ikut sedih bisa diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama Fulan tersebut, untuk menghancurkan pahala perasaan kasih sayangnya dan ikut sedihnya itu.
3. Kemarahan karena Allah. Karena seseorang bisa jadi marah terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang. Jika ia melihatnya langsung atau mendengarnya, maka ia pun menampakkan kemarahannya, serta menyebutkan nama orang tersebut. Sesungguhnya yang wajib adalah ia menampakan kemarahannya langsung kepada pelaku kemungkaran tersebut dengan cara menegakkan Al-Amr bin Ma’ruf dan An-Nahyu ‘anil mungkar, tanpa menampakkan kemarahannya tersebut kepada selain pelaku. Atau dengan menyembunyikan nama orang tersebut, dan tidak menyebut nama-nama tersebut dengan kejelekan.
Inilah tiga perkara, yang bagi para ulama sangat detail dan mendalam pembahasannya, serta sangat samar. Apalagi terhadap orang-orang awam. Mereka (orang awam) menyangka, bahwa sikap takjub dan perasaan sayang (kasihan) dan kemarahan, jika dilakukan karena Allah, maka hal ini merupakan alasan untuk bolehnya menyebutkan nama. Padahal persangkaan mereka ini merupakan kesalahan…)) [33]
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan harga diri kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini.” Berkata Ibnu Abbas: “Rasulullah ﷺ mengulang-ngulangi perkataan beliau ini.” [35]
Berkata Al-Mubarakfuri:
“Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran terhadap jiwa sebagian yang lain, terhadap harta, dan harga diri pada hari-hari yang lain, sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini di tanah ini (Tanah Suci Mekah)….” [36]
Berkata Imam An-Nawawi:
“… Maksud dari perkataan Rasulullah ﷺ ini semua adalah untuk menjelaskan penekanan akan kerasnya pengharaman harta, jiwa (harta), dan kehormatan, dan untuk memeringatkan akan hal ini.” [37]
Berkata Al-Munawi:
“Islam yang paling mulia adalah manusia selamat dari lisanmu (ucapanmu). Maka janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan yang memberi mudharat kepada mereka.” [38]
Sebagaimana kita tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta (seperti mencurinya), maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harga dirinya. Orang yang mengghibah berarti dia telah mengganggu kehormatan saudaranya. Karena yang dimaksud dengan kehormatan adalah sesuatu yang ada pada manusia, yang bisa dipuji dan dicela.
Hukum ghibah adalah haram berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan Ijmak kaum Muslimin.
Asy-Syaukani berkata setelah menjelaskan pengharaman ghibah berdasarkan Alquran, As-Sunnah, dan Ijmak:
“Jika telah jelas perkaranya bagimu, maka engkau telah mengetahui bahwasanya ghibah termasuk kemungkaran yang paling keras, dan keharaman yang paling besar. Oleh karenanya, mengingkari pelaku ghibah adalah wajib bagi setiap Muslim.” [39]
Berkata As-Shon’aani:
“Dan hadis-hadis yang memeringatkan akan bahaya ghibah sangatlah banyak, yang hal ini menunjukkan akan kerasnya pengharaman ghibah.” [40]
Namun terjadi khilaf di antara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk dosa kecil? Imam Al-Qurthubi menukilkan Ijmak, bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah dari Syafi’iyah berpendapat, bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil.
Berkata Al-Auza’i:
“Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas menyatakan, bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua.”
Az-Zarkasyi berkata:
“Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai daging (manusia) sebagai dosa besar, (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga adalah dosa besar. Padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia.” [41]
Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di:
”Dalam ayat ini (QS. Al-Hujurat:12) ada peringatan keras terhadap gibah. Dan bahwasanya gibah termasuk dosa-dosa besar, karena diserupakan dengan memakan daging bangkai (manusia). Dan hal itu (memakan daging bangkai) termasuk dosa besar.” [42]
Alasan mereka yang menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil, di antaranya perkataan mereka:
”Kalau seandainya ghibah itu bukan dosa kecil, maka sebagian besar manusia tentu menjadi fasik. Atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya sedikit sekali yang bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan yang sangat besar.”
Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu kemaksiatan dan banyak manusia yang melakukannya, tidaklah menunjukkan bahwa kemaksiatan tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak, sebab tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang. Adapun pada zaman dahulu (zaman para salaf), kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk ghibah) tidak tersebar sebagaimana sekarang. Justru yang tersebar adalah kebaikan.
Perkara-perkara yang menunjukkan bahwa ghibah merupakan dosa besar:
(I) Ghibah termasuk riba yang paling parah, dan riba merupakan dosa besar
Imam Abu Dawud As-Sajistaani meriwayatkan dalam Sunannya dalam bab في الغيبة (Tentang Ghibah)[43], sebuah hadis yang diriwayatkan oleh hadis Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang Muslim tanpa hak.” [44]
Berkata Syamsul Haq Al-‘Azhim Aabaadi:
, أَرْبَى الرِّبَا
“Yaitu riba yang paling besar bahayanya, dan yang paling keras pengharamannya.”
, الاِسْتِطَالَةُ
“Yaitu mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang Muslim. Maksudnya yaitu merendahkannya dan merasa tinggi atasnya, serta mengghibahnya. Semisal menuduhnya berzina atau mencelanya. Hanyalah hal ini merupakan riba yang paling keras pengharamannya, karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih daripada harta.” [45]
Berkata Ibnul Atsir:
“Mengulurkan lisan pada harga diri manusia, yaitu merendahkan mereka dan merasa tinggi di hadapan mereka, serta menggibahi mereka.” [46]
Berkata Al-Baidhowi:
“الاستطالة
(Mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang Muslim, yaitu dengan menjelekkannya lebih dari yang seharusnya, sebagaimana perkataannya kepadanya, [47]. Atau lebih dari yang rukhsah yang diberikan [48].
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ memisalkannya dengan riba, dan memasukkannya dalam bagian riba. Kemudian menjadikannya riba yang paling besar, karena hal ini lebih berbahaya, dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri), baik menurut syariat ataupun menurut akal, adalah lebih mulia pada diri seseorang dibanding hartanya, dan lebih besar bahayanya daripada harta.” [49]
Pelanggaran yang berkaitan dengan harga diri lebih berat daripada yang berkaitan dengan harta. Oleh karena seseorang lebih terasa sakit tatkala harga dirinya dijatuhkan, direndahkan, dan dihinakan, apalagi di hadapan khalayak ramai, daripada jika hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa hak.
“Satu Dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tahu, lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan.” [Hadis Sahih diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani, lihat Goyatul Marom:172, Ar-Roudl An-Nadzhir: 459, As-Sahihah 1033, Sahih Al-Jami’ 3375]
Asy-Syaukani mengomentari hadis ini: “Sabda Rasulullah ﷺ ((lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan … dan seterusnya)) menunjukkan, bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling parah. Karena maksiat yang senilai maksiat zina yang merupakan maksiat yang paling jelek dan jijik dengan jumlah yang banyak (36 kali zina). Bahkan (maksiat riba) lebih parah dari zina-zina tersebut. Maka tidak diragukan lagi, bahwa maksiat tersebut telah melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk dari ini adalah mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama Muslim.
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ menjadikan hal ini (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang lain) merupakan riba yang paling parah. Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah), orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan kelezatan dalam ucapannya tersebut, dan tidak menambah hartanya, serta tidak juga meninggikan kedudukannya, lantas dosanya di sisi Allah lebih besar daripada dosa orang yang berzina, sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon kepada Allah keselamatan (dari hal ini). Aamiin. Aamiin.” [Nailul Author V/297]
(II) Pelaku ghibah disiksa dengan azab yang sangat pedih
Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
”Pada malam Isra aku melewati sebuah kaum, yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka.”
Lalu aku berkata:”Siapakah mereka ya Jibril?”
Beliau berkata:”Yaitu orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia.”
Dalam riwayat yang lain:
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم: لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ: هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka.
Maka aku bertanya:”Siapakah mereka ya Jibril?”
Beliau berkata:”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia.” [HR Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879), berkata Syaikh Abu ishaq Al-Huwaini: Isnadnya Sahih, lihat kitab As-Somt hadis no 165 dan 572]
(III) Ghibah merupakan penyebab siksa kubur
Imam Al-Bukhari membawakan sebuah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma di bawah Bab Ghibah. Beliau (Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma) berkata:
مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، أَمَّا هَذَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا هَذَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ
“Rasulullah ﷺ melewati dua kuburan lalu ia berkata: “Sesungguhnya keduanya sedang diazab. Dan tidaklah keduanya disiksa karena perkara yang besar. Adapun yang ini ia tidak bersih tatkala buang air kecil. Dan adapun yang ini ia berjalan sambil bernamimah.” [HR Al-Bukhari V/2249 no 5705 باب الغيبة]
Meskipun hadis ini tidak meyebutkan ghibah, namun Imam Al-Bukhari membawakannya di bawah Bab Ghibah.
Berkata Ibnut Tin: “Imam Al-Bukhari menyebutkan hadis ini di bawah judul ghibah, padahal yang disebutkan dalam hadis ini adalah namimah, karena keduanya sama-sama merupakan bentuk penyebutan sesuatu yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan, dan dia sedang tidak hadir.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470]
Berkata: “Al-Kirmani:
“Ghibah merupakan salah satu bentuk dari namimah. Karena jika orang yang sedang dinukil perkataannya mendengar perkataan yang dinukil darinya, maka akan menyedihkannya.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470]
Ibnu Hajar berkata:
((Ghibah terkadang terdapat dalam sebagian bentuk-bentuk namimah. Yaitu jika ia menyebutkan saudaranya, dan ia tidak hadir, tentang perkara yang tidak disukai oleh saudaranya tersebut, dengan maksud untuk menyebarkan kerusakan. Maka ada kemungkinan, bahwa kisah tentang orang yang diazab di kuburnya demikian kisahnya (yang disebutkan hanyalah namimah). Dan ada kemungkinan juga bahwa Imam Al-Bukhari memberi isyarat kepada lafal yang terdapat pada beberapa jalan hadis, yaitu lafal “ghibah” yang sangat jelas…[50],))[51]
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, [52] serta berbuat kebodohan [53], maka Allah tidak butuh kepada puasanya, dari meninggalkan makan dan minumnya.” [HR Al-Bukhari no 1903, 6057. Hadis ini diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/572 no 1200 pada bab الْغِيْبَةُ لِلصَّائِمِ “Ghibah yang Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa”)
Berkata Ibnu At-Thin:
” Zahir hadis menunjukkan, bahwa barang siapa yang berbuat ghibah tatkala sedang puasa, maka puasanya batal. Demikianlah pendapat sebagian Salaf [54]. Adapun Jumhur Ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal). Namun menurut mereka, makna dari hadis ini, bahwasanya gibah termasuk dosa besar, dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya. Maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya.” [55]
“Orang yang berpuasa berada dalam ibadah. Bahkan meskipun ia sedang tidur, selama tidak berbuat ghibah.” [56]
Hukum mendengarkan ghibah
Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar:
”Ketahuilah, bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain), untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudharat yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya, dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut, jika memungkinkan hal itu.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya, atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya, berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah,” namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya, dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka haram baginya untuk istima’ (mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu.
Yang dia lakukan adalah hendaknya dia berzikir kepada Allah taala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu, maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekadar mendengar, namun tidak memerhatikan dan tidak paham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu, jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis, dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis.” [57]. Allah taala berfirman:
“Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka, hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh setan, maka janganlah kalian duduk, setelah kalian ingat bersama kaum yang zalim.” [QS. Al-An’am 68]
“Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan.
Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya.
Maka waspadalah.”
Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat), mereka berpaling darinya. [QS. Al-Qosos: 55]
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” [QS. Al-Mu’minun:3]
Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi, bukan hanya sekadar mencegah gibah tersebut, tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ
Dari Abu Darda’ radhiyallahu anhu berkata, Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa yang memertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api Neraka dari mukanya.” [HR. At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Sahih atau Hasan”]
Dan demikianlah pengamalan para Salaf ketika ada saudaranya yang digibahi, mereka membelanya, sebagaimana dalam hadis-hadis berikut:
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يُصَلِّي فَقَالَ: أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الَّنارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ
Dar ‘Itban bin Malik radhiyallahu anhu berkata: “Nabi ﷺ menegakkan salat, lalu (setelah selesai salat) beliau berkata: “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”
Lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Maka Nabi ﷺ berkata: “Janganlah engkau berkata demikian. Tidakkah engkau lihat, bahwa ia telah mengucapkan La ila ha illallah dengan ikhlas karena Allah? Dan Allah telah mengharamkan api Neraka atas orang yang mengucapkan La ilaha illallah dengan ikhlas karena Allah.” [HR Bukhari dan Muslim]
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكً رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ الْقَوْمِ بِتَبُوْكَ: مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ رضي الله عنه: بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
Ka’ab bin Malik radhiyallahu anhu berkata: “Ketika Nabi ﷺ telah sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya: “Apa yang dilakukan Ka’ab?”
Maka ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya.”
Lalu Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu. Demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatu pun dari dia, melainkan hanya kebaikan.” Rasulullah ﷺ pun diam. [HR Bukhari dan Muslim]
Bertobat dari Ghibah
Berkata Syaikh Utsaimin:
“…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia di hadapan manusia, dan dia tidak ada. Untuk masalah ini para ulama berselisih. Di antara mereka ada yang berkata, (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang ke dia (yang digibahi) dan berkata kepadanya: ”Wahai Fulan, sesungguhnya aku telah membicarakan engkau di hadapan manusia. Maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku, dan merelakan (perbuatan)ku.”
Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan, (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia. Tetapi ada perincian:
• Jika yang digibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya, dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu.
• Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya. (Tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya, dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan pendapat ini lebih benar. Yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengghibahinya, dan engkau memohon ampun untuknya. Engkau berkata: ”Ya Allah ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadis:
“Kafarahnya orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya.” [58]
Berkata Ibnu Katsir:
”…Berkata para ulama yang lain: ”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya -pent) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu. Maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah), hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat di mana dia telah mencela orang itu….” [59]
Berkata Ibnul Qayyim:
“Yang benar, yaitu tidak perlu untuk memberitahu kepada yang dighibahi. Akan tetapi cukup dengan beristighfar (bagi yang dighibahi), dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang dulu ia menghibahinya. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [60] dan yang lainnya [61].
Mereka yang berpendapat harus mengabarkan orang yang dighibahi (bahwa ia telah menggibahnya), menjadikan ghibah seperti hak-hak yang berkaitan dengan harta. Padahal perbedaan antara keduanya jelas. Hak-hak yang berkaitan dengan harta, orang yang dizalimi akan mendapatkan manfaat dengan kembalinya haknya kepadanya. Jika dia ingin, maka bisa ia ambil atau ia sedekahkan. Adapun ghibah, maka hal ini tidaklah mungkin. Dan hal ini terwujudkan dengan mengabarkan kepada yang dighibahi, kecuali akibatnya bertolak belakang dengan tujuan syariat. Karena pengabaran ini akan memanaskan hatinya dan menyakitinya, jika ia mendengar tuduhan-tuduhan yang terlontarkan kepadanya. Bahkan bisa jadi akan mengobarkan permusuhan, dan tidak akan hilang selama-lamanya. Maka keadaan yang seperti ini tidak akan diperbolehkan oleh syariat yang bijaksana, dan tidak akan dibenarkan. Apalagi sampai diperintahkan dan diwajibkan. Dan tujuan syariat berputar sekitar peniadaan mafsadah-masadah dan meminimalisirnya. Bukan untuk menimbulkan mafsadah dan menyempurnakannya.” [62]
“Penebus dosa ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau ghibahi.” [63]
Cara Menghindarkan Diri dari Ghibah
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar, bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah taala. Allah ﷻ berfirman:
“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban).” [QS. Al-Isra: 36]
Hendaknya sebelum berucap kita renungkan dahulu akibat yang timbul dari ucapan-ucapan kita. Ibnul Qayyim berkata:
“Adapun menjaga ucapan-ucapan, maka caranya adalah janganlah seseorang sampai mengeluarkan sebuah lafal pun dengan sia-sia. Bahkan janganlah ia berbicara, kecuali tentang sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau tambahan bagi agamanya.
Jika ia hendak mengucapkan suatu perkataan, maka hendaknya ia renungkan terlebih dahulu, apakah perkataan tersebut mendatangkan keuntungan dan berfaidah atau tidak? Jika tidak ada untungnya, maka hendaknya ia menahan lisannya, dan tidak mengucapkannya.
Kemudian jika pada perkataan tersebut ada keuntungannya, maka ia renungkan lagi, apakah ia bisa mengungkapkannya dengan perkataan lain yang lebih baik dan berfaidah, daripada perkataan yang pertama? Jika ada, maka janganlah sia-siakan perkataan tersebut, dan lantas mengucapkan perkataan pertama (yang kurang faidahnya).” [64]
Dan jika kita tidak menjaga lisan kita, sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu, yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya, maka hal ini akibatnya sangatlah fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam Neraka. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam Neraka, melainkan akibat lisan-lisan mereka?”
Demikian juga sabda Nabi ﷺ:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ: الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam Neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.” [65]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya beliau mendengar Nabi ﷺ bersabda: ”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah, yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam Neraka Jahannam gara-gara kalimat itu.” [HR. Bukhari]
Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Barang siapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada di antara dagunya (yaitu lisannya), dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yaitu kemaluannya), maka aku jamin baginya Surga.” [HR Bukhari dan Muslim]
Berkata Imam Nawawi:
“Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk. Dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia. Sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini, kecuali hanya segelintir manusia.” [66]
Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya,
Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya.”
Sebagian orang tidak bisa mengendalikan lisannya. Tidak peduli dengan apa yang diucapkannya. Tidak peduli siapa pun yang sedang ia bicarakan, yang sedang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya. Tidak peduli siapa yang sedang ia ghibahi.
Apalagi ghibah yang ia lakukan berkaitan dengan agama seseorang.
Berkata Al-Qurthubhi:
“… Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi ﷺ dan para tabiin setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka, dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang). Karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang Mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya, daripada jika disinggung (cacat) tubuhnya.” [67]
Bahkan para ulama pun tidak selamat dari lisannya. Tidak hanya ulama di masanya yang tidak selamat dari lisannya, bahkan ulama masa lalu pun tidak selamat dari lisannya.
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah murka, dan ia tidak perduli dengan perkataan tersebut, maka ia pun terjerumus dalam Neraka Jahannam.” [68]
Dia tidak tahu, bahwasanya bisa jadi orang yang ia ghibahi atau yang ia rendahkan dan ia lecehkan, kedudukannya di sisi Allah sangatlah agung. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya tersebut, yang terasa sangatlah ringan di lisannya, ternyata sangatlah berat di sisi Allah.
“Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” [QS. An Nur:15]
Ia tidak tahu, bahwa satu kalimat yang ia keluarkan untuk menggibahi orang tersebut, atau merendahkan kedudukannya dan harga dirinya, bisa menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak, yang seukuran gunung, yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan keletihan.
“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”
Mereka (para sahabat) berkata: “Orang bangkrut yang ada di antara kami adalah orang yang tidak ada Dirhamnya dan tidak memiliki barang.”
Rasulullah ﷺ berkata: “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa amalan salat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si Fulan, telah menuduh si Fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si Fulan, menumpahkan darah si Fulan, dan memukul si Fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya, dan diberikan kepada si Fulan dan si Fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya, maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia zalimi), kemudian dipikulkan kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke Neraka.” [69]
Dikatakan kepada Al-Hasan Al-Bashri, bahwasanya si Fulan telah mengghibahmu. Maka beliau pun mengirim sepiring makanan yang manis kepada orang yang telah mengghibahnya tersebut, lalu berkata kepadanya: “Telah sampai kabar kepadaku, bahwasanya engkau telah menghadiahkan (pahala) kebaikan-kebaikanmu kepadaku. Maka aku ingin membalas kebaikanmu tersebut.” [70]
“Orang yang mengghibahmu bersamamu bersyarikat dalam memiliki kebaikan-kebaikannya.
Dan ia menghadiahkan kepadamu pahala puasa dan salatnya.
Maka hendaklah engkau membalasnya dengan kebaikan, dan katakanlah: “Wahai Tuhanku, balaslah dia dengan kebaikan, dan hapuslah dosa-dosanya.”
Wahai orang yang menggibahku, tambahlah hadiahmu kepadaku.
Jika masih tersisa pahala salatmu dan zakatmu, maka berikanlah kepadaku.”
Orang yang menyadari akan berharganya sebuah kebaikan di Akhirat kelak tatkala amalannya ditimbang di hadapan Allah Yang Maha Adil, maka ia tidak akan rela satu kebaikannya pun diambil oleh orang lain pada Hari Kiamat kelak. Apalagi banyak kebaikan-kebaikannya yang diambil !! Oleh karena itu ia tidak akan rela mengghibah saudaranya, yang mengakibatkan kebaikan-kebaikannya diambil oleh saudaranya yang ia ghibahi tersebut pada Hari Kiamat.
Dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwasanya ada seseorang yang berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau telah mengghibahku!” Maka beliau berkata:
“Kalau seandainya aku mengghibahi seseorang, maka aku akan menggibahi kedua orangtuaku. Karena mereka berdualah yang lebih berhak (untuk memeroleh) kebaikan-kebaikanku.” [72]
Kalau maksiat yang ia lakukan berkaitan antara ia dan Allah, maka Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah. Mudah bagi Allah untuk mengampuninya, jika Dia menghendaki. Namun jika kezaliman berkaitan dengan hak manusia, ketahuilah, bahwa semuanya membutuhkan hasanaat (kebaikan) pada Hari Kiamat. Semuanya butuh untuk menyelamatkan dirinya dari api Neraka.
Berkata Ibnu Taimiyah:
“Adapun hak orang yang terzalimi, maka tidaklah gugur hanya dengan sekadar bertobat. Barang siapa yang bertobat dari kezaliman, maka tidaklah gugur hak orang yang terzalimi dengan tobatnya tersebut. Akan tetapi merupakan kesempurnaan tobatnya, hendaknya ia mengganti hak tersebut dengan yang seperti kezaliman yang dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia, maka ia pasti akan menggantinya di Akhirat.
Maka wajib bagi orang yang berbuat zalim yang telah bertobat untuk memerbanyak perbuatan-perbuatan baik. Hingga jika orang-orang yang dizaliminya telah mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak di Akhirat sebagai penebus hak-hak mereka), maka ia tidak jadi orang yang bangkrut (yaitu masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian, jika Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terzalimi dari sisi-Nya, maka tidak ada yang menolak karunia-Nya. Sebagaimana jika Allah menghendaki untuk mengampuni dosa-dosa yang di bawah kesyirikan, bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan ghibah merupakan kezaliman yang berkaitan dengan kehormatan. Allah ﷻ berfirman:
“Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati? Pasti kalian membencinya. Maka bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah Maha Menerima tobat dan Maha Pengasih.” [QS. Al Hujurat 12]
Allah telah memeringatkan kaum Mukminin untuk bertobat dari ghibah, dan ia merupakan kezaliman….” [73]
Tidakkah ia tahu, bahwasanya ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, Hakim yang Maha Adil, yang tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya? Tidakkah ia tahu, bahwasanya orang yang ia ghibahi dan ia lecehkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah pada Hari Kiamat kelak…??
Bagaimana lagi jika ia telah mengghibah orang banyak??
“Kalian akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada Hari Kiamat, hingga kambing yang bertanduk diqishas untuk kambing yang tidak bertanduk.” [74]
Tidakkah ia tahu bahwa …
إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kezaliman adalah kegelapan-kegelapan pada Hari Kiamat.” [75]
Oleh karena itu, karena besarnya bahaya menjatuhkan harga diri seorang Muslim tanpa hak, maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang melakukan kezaliman kepada seseorang, baik berkaitan dengan harga dirinya atau yang lainnya, maka hendaknya ia memintanya untuk menghalalkannya pada hari ini, sebelum datang hari, yang tidak ada Dinar, dan tidak juga Dirham. Jika ia memiliki amalan saleh, maka akan diambil darinya sesuai dengan ukuran kezalimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan, maka akan diambil kejelekan-kejelekan orang tersebut, dan dipikulkan kepadanya.” [76]
Rasulullah ﷺ mengkhususkan penyebutan harga diri pada hadis ini menunjukkan, bahwa perkara melecehkan harga diri orang lain tanpa alasan yang dibenarkan merupakan perbuatan yang berbahaya.
Berkata Sufyan bin Husain:
“Aku menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyah.
Maka ia pun memandang ke wajahku dan berkata: “Apakah engkau telah berjihad melawan negeri Romawi?”
Aku berkata: “Tidak.”
Beliau berkata: “Engkau telah berjihad melawan Sind, India, dan Turki?”
Aku berkata: “Tidak.”
Beliau berkata: “Apakah (orang-orang kafir) dari Romawi, Sind, India, dan Turki selamat dari (kejahatanmu), dan saudaramu sesama Muslim tidak selamat dari kejahatan (lisan)mu?”.
Berkata Sufyan: “Maka aku tidak pernah menggibah lagi setelah itu.” [77]
Renugkanlah perkataan Ibnul Haaj Al-Faasi Al-Maliki berikut ini:
“Ketahuilah, bahwasanya penyebab timbulnya ghibah adalah karena tazkiyatun nafs (merasa diri sudah suci), dan rida dengan diri. Karena engkau hanyalah merendahkan orang lain (saudara), karena ada keutamaan yang kau dapati pada dirimu (dan tidak terdapat pada saudaramu itu). Engkau hanya menggibahnya dengan menyebutkan perkara-perkara kejelekan yang engkau berlepas diri dari perkara-perkara tersebut. Dan engkau tidak akan menggibahnya dengan menyebutkan aibnya, kecuali aib-aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak. Dan ghibahmu itu tidaklah diterima (didengar dan disetujui), kecuali oleh orang-orang yang juga semisalmu.
Jika seandainya engkau memikirkan bahwasanya kekurangan yang terdapat pada dirimu lebih banyak, maka engkau akan meninggalkan mengghibahnya. Dan engkau akan merasa malu kalau sampai mengghibahnya, karena aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak daripada aib yang engkau sebutkan pada saudaramu itu.
Kalau engkau mengetahui bahwasanya dosa yang kau lakukan merupakan dosa yang besar karena telah mengghibahnya, dan engkau menyangka bahwa engkau bebas dari aib-aib, maka niscaya engkau tidak akan mengghibahnya. Dan engkau akan sibuk memikirkan aib-aibmu sendiri, dan tidak sibuk mengurusi aib-aibnya.
Maka berhati-hatilah wahai saudaraku, dari penyakit ghibah, sebagaimana engkau berhati-hati dari malapetaka yang sangat besar yang akan menimpamu. Karena sesungguhnya ghibah, jika datang menimpa seseorang dan mengakar di hati, serta pemiliknya mengizinkan dirinya untuk membiarkan ghibah menempati hatinya, maka ghibah tidaklah akan rida (rela) untuk tinggal sendirian di hatinya, hingga sang hati memerluas tempat tinggal untuk saudara-saudara ghibah, yaitu namimah, al-baghyu, berprasangka buruk, dusta, dan kesombongan. Orang yang cerdas tidak akan membiarkan hal ini menimpa dirinya. Orang yang bijak tidak akan rida dengan hal seperti ini. Seorang Wali Allah tidak akan membiarkan penyakit ghibah bercokol di hatinya….” [78]
Ghibah yang Dibolehkan
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali:
“Ketahuilah, bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan benar yang syari. Yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut, kecuali dengan ghibah itu.” [79]
Dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair:
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memeringatkan,
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa, dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran.”
Pertama: Pengaduan
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada Sultan (penguasa), atau hakim, dan yang selainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si Fulan telah menganiaya saya demikian-demikian.” Dalilnya firman Allah ﷻ:
“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya.” [QS. An-Nisa’ 148]
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan, bahwa bolehnya orang yang dizalimi mengghibahi orang yang menzaliminya, dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kezaliman yang telah dialaminya dari orang yang menzaliminya. Dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu, dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka. [80]
Kedua: Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran.
Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si Fulan telah berbuat demikian. Maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu,” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran. Jika niatnya tidak demikian, maka hal ini adalah haram.
Ketiga: Meminta fatwa
Misalnya dia berkata kepada seorang Mufti: “Bapakku telah berbuat zalim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si Fulan telah menzalimiku. Apakah dia mendapatkan hukuman ini? Dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kezaliman?”, dan yang semisalnya.
Tetapi yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si Mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang, atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?” Maka dengan cara ini, tujuan bisa diperoleh, tanpa harus menyebutkan orang tertentu. Namun menyebutkan orang tertentu pun boleh, sebagaimana dalam hadis Hindun:
Dari Aisyah berkata, Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi ﷺ: ”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir, dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil di luar pengetahuannya.”
Nabi ﷺ berkata: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik.” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit).” [81]
Keempat: Memeringatkan kaum Muslimin dari kejelekan.
Hal ini di antaranya:
Apa yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadis dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan Ijmak akan bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para Salaf umat ini senantiasa men-jarh orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syariat. [82] Seperti perkataan Ahlul Hadis: ”Si Fulan pendusta”, “Si Fulan lemah hafalannya”, “Si Fulan munkarul hadis”, dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasihat. Dan tidak mengapa dengan men-takyin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadis Fatimah binti Qois:
Fatimah binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya.”
Maka Nabi ﷺ berkata: “Adapun Mu’awiyah, maka ia seorang miskin. Adapun Abul Jahm, maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya.” [HR Bukhari dan Muslim].
Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480): ”Adapun Abul Jahm, maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya).” [83]
Dan jika nasihat, hukumnya wajib untuk memeroleh kemaslahatan yang sifatnya khusus bagi orang-orang tertentu (sebagaimana pada hadis-hadis di atas). Maka bagaimanakah dengan nasihat yang berkaitan dengan banyak orang? Tidak diragukan lagi, maka hukumnya lebih wajib lagi.
Contohnya seperti menjelaskan kesalahan-kesalahan para perawi hadis. Berkata Yahya bin Sa’id: “Aku bertanya kepada Malik, Ats-Tsauri, dan Al-Laits bin Sa’ad, dan aku rasa juga Al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh berdusta dalam hadis, atau seorang perawi yang tidak hafal.”
Mereka berkata:
بَيِّنْ أَمْرَهُ
“Jelaskanlah perkaranya.”
Ada orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Aku merasa berat untuk berkata si Fulan demikian, si Fulan demikian…”
“Jika engkau diam (tidak menjelaskan), dan aku juga diam (tidak menjelaskan), maka kapankah orang jahil membedakan antara yang benar dari yang salah?!”
Contohnya juga (yang berkaitan dengan kemaslahatan orang umum), adalah menjelaskan kesalahan-kesalahan pemuka-pemuka bidah, para pencetus pemikiran-pemikiran dan model-model ibadah baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan Al-Hadis. Maka menjelaskan kesalahan mereka, dan memeringatkan umat dari bahaya mereka hukumnya adalah wajib, berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. [84]
Berkata Ibnul Qayyim:
“Perbedaan antara nasihat dan gibah adalah, tujuan dari nasihat adalah untuk memeringatkan seorang Muslim dari (bahaya) seorang mubtadi. Maka engkau menjelaskan kondisi mubtadi tersebut (kepadanya), jika ia meminta pendapatmu, karena ingin bersahabat dengan mubtadi tersebut, atau ingin bermuamalah dengannya, atau ingin berhubungan dengannya. Sebagaimana Nabi ﷺ berkata kepada Fathimah binti Qois.
Jika ghibah disampaikan dalam bentuk nasihat untuk Allah, Rasul-Nya, dan hamba-hamba-Nya kaum Muslimin, maka jadilah ghibah tersebut merupakan qurbah (ibadah) kepada Allah, yang merupakan sebuah kebaikan. Dan jika ghibah disampaikan dalam bentuk celaan terhadap saudaramu, dan untuk mengoyak kehormatannya, dan bersenang-senang memakan daging (tubuhnya), serta untuk merendahkan dirinya, agar kedudukannya jatuh di hati orang-orang, maka ini merupakan penyakit yang bahaya, dan api yang membakar kebaikan-kebaikan, sebagaimana api yang membakar kayu bakar.” [85]
Kelima: Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebidahannya.
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan zalim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya:
Aisyah berkata: “Seseorang datang minta izin kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ bersabda: ”Izinkankanlah ia. Ia adalah sejahat-jahat orang yang di tengah kaumnya.” [86]
Namun diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain, yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya. [87]
Keenam: Untuk pengenalan.
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqab (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun), atau Al-A’aroj (si pincang), atau Al-A’ma (si buta), dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka), maka cara tersebut lebih baik.
Perhatian
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali:
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal). Maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal, yaitu haramnya ghibah.
2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja -pen). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah -pent) untuk bertakwa kepada Allah. Dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [88]
[1] Hadis Sahih disahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Sahihah no 534)
[2] Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Isnadnya Hasan”
[3] Sebagaimana yang bisa kita saksikan bersama, jika ada sebuah majelis yang dibumbui dengan ghibah, maka majelis tersebut terasa semarak dan asyik didengarkan oleh para hadirin. Wal’iyadzu billah
[4] Sebagaimana akan datang definisinya
[5] Sebagaimana dinukil oleh Al-Mubarakfuuri dalam Tuhfatul Ahwadzi VI/54
[6] Al-Jawaabul Kaafii hal 111
[7] Ihyaa Ulumiddiin III/143
[8] Taisir karimir Rohman tafsir surat Al-Hujurat:12
[9] Riwayat Bukhari dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: “Isnadnya sahih”, sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748
[10] Bahjatun Nadzirin 3/6
[11] Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain
[12] Lihat Kitab As-Somt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: “Rijalnya tsiqoh”
[13] Berkata Al-Qorofi, “lafal مَا (pada hadis ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ) termasuk bentuk yang memberikan faidah keumuman, maka mencakup seluruh yang dibenci oleh saudaramu” (Al-Furuuq IV/359)
[14] Bahjatun Nadzirin 3/6
[15] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq: “Isnadnya sahih”)
[16] yaitu mengubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadis ini sahih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189
[17] Kitab As-Somt no 213,753, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini: “Rijalnya tsiqoh”
[18] Diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 pada bab “Al-Ghibah” no 1186
[19] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337
[20] Kitabuz Zuhud jilid 3 hal 748
[21] maksudnya walaupun saya mendapatkan keduniaan yang banyak. (Hadis Sahih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)
[22] Bahjatun Nadzirin 3/26
[23] Bahjatun Nadzirin 3/27
[24] Maksudnya yaitu seseorang tidak bisa menyatakan bahwa harta yang berada pada orang lain adalah miliknya kecuali jika mendatangkan persaksian orang-orang yang adil.
[25] Ihyaa’ Ulumiddiin III/150-151
[26] Ini di zaman Ibnu Taimiyah, bagaimana lagi jika Ibnu Taimiyah hidup di zaman kita dan melihat apa yang kita lakukan??? Allahul mustaaan
[27] Majmu Fatawa XXVIII/236-238
[28] (Subulus Salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).
[29] Subulus Salam 4/299
[30] Bahjatun Nadzirin 3/47
[31] Lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj XV/222, tatkala beliau menyarah hadis Ummu Zar’
[32] Sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 no 1187
[33] Ihyaa’ Ulumiddiin III/146-148
[34] HR Muslim IV/1986 no 2564
[35] HR Al-Bukhari II/619 no
[36] Tuhfatul Ahwadzi VI/313
[37] Al-Minhaj (Syarh An-Nawawi) XI/169
[38] Faidhul Qodiir I/523
[39] As-Sail Al-Jarror IV/595
[40] Subulus Salam IV/194
[41] (Subulus Salam 4/193)
[42] (Taisir Karimir Rahman, tafsir Surat Al-Hujurat 12)
[43] Demikian juga diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud pada bab “Ghibah”. (Az-Zuhud II/563)
[44] HR Abu Dawud IV/269 no 4876. Berkata Ibnu Hajar: “Dan hadis Sa’id bin Zaid…dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia memiliki syahid sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadis Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadis Aisyah” (Al-Fath X/470). Dan hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Sahihah no 3950
[45] ‘Aunul Ma’bud XIII/152
[46] An-Nihayah fi Goribil Hadis III/145
[47] Maksudnya jika orang Muslim tersebut mencelanya, maka hendaknya ia membalas dengan semisalnya, tanpa menambah lebih dari itu. Karena itu berarti ia seperti telah melakukan riba, karena mengmbil lebih banyak daripada yang diterimanya.
[48] Yaitu syariat memberi beberapa rukhsah (keringanan) untuk melakukan ghibah atau untuk mencela harga diri seseorang, namun ini adalah merupakan keringanan yang keluar dari hukum asal. Maka tidaklah boleh bagi seseorang mengambil lebih dari batasan keringanan yang diizinkan oleh syariat.
[49] Sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qodiir II/531
[50] Ibnu Hajar melanjutkan perkataannya:
“… yaitu yang dikeluarkan oleh beliau (Imam Al-Bukhari) di kitab Al-Adab Al-Mufrod dari hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami bersama Nabi ﷺ, lalu beliau melewati dua buah kuburan. Lalu ia menyebutkan seperti hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Lalu Rasulullah ﷺ berkata: “Adapun salah satu dari keduanya mengghibahi orang-orang…”
Imam Ahmad dan Ath-Thobroni mengeluarkan dengan isnad yang sahih dari Abi Bakroh, ia berkata: “Nabi ﷺ melewati dua buah kubur lalu berkata: “Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa, dan tidaklah mereka berdua diazab karena perkara yang besar.” Lalu beliau menangis. Dan dalam hadis tersebut beliau berkata:
وما يعذبان إلا في الغيبة والبول
“Dan tidaklah mereka berdua disiksa, kecuali karena ghibah dan kencing.”
Ahmad dan At-Thobroni juga mengeluarkan hadis dari Ya’la bin Syababah, bahwasanya Nabi ﷺ melewati sebuah kuburan yang penghuninya sedang disiksa, lalu beliau ﷺ berkata:
إن هذا كان يأكل لحوم الناس
“Sesungguhnya ini dahulunya memakan daging manusia. Dan para perawinya tepercaya.
Dan Abu Dawud At-Thoyalisi mengeluarkan semisalnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan sanad yang jayyid (baik), dan juga dikeluarkan oleh At-Thobroni dan ada syahidnya dari Abu Umamah, sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Ja’far At-Thobari di tafsirnya. Dan memakan daging manusia cocok untuk namimah dan ghibah. Dan yang zohir adalah kisahnya terjadi satu kali. Dan ada kemungkinan kisahnya terjadi beruang-ulang.” [Fathul Bari X/470-471]
[51] Fathul Bari X/470-471
[52] Yaitu mengamalkan konsekuensi dari kedustaan tersebut (Al-Fath 4/151)
[53] Syaikh Abdullah Al-Fauzan menjelasakan: ”Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya.” (Ahadisu siyam hal 74)
[54] Di antaranya adalah Anas bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/573 no 1204. Anas berkata: “Jika seseorang yang berpuasa berbuat ghibah, maka ia telah berbuka.”
[55] Fathul Bari X/473, meskipun Ibnu Hajar kurang setuju dengan pendalilan Ibnu At-Tin dengan hadis ini (karena hadis ini tidak menyebutkan tentang ghibah, akan tetapi hanya menyebutkan perkataan dusta). Namun Ibnu Hajar setuju tentang hukum yang disebutkan oleh Ibnu At-Thin, bahwasanya orang yang berpuasa dan berghibah, maka ia tidak mendapatkan pahala puasanya, karena dosa ghibahnya tidak sebanding dengan pahala puasa yang diraihnya. (Fathul Bari X/473). Hal ini jelas menunjukkan, bahwa dosa ghibah sangatlah besar, hingga memakan pahala puasa yang sangat besar !!!
[56] Diriwayatkan oleh Hannad dalam kitabnya Az-Zuhud II/573 no 1201
[57] Bahjatun Nadzirin 3/29,30
[58] (Syarah Riyadhus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadis ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Ash-Shomt no 291. Berkata Syaikh Abu Ishaq: “Maudhu.” Berkata As-Subki:”Dalam sanad hadis ini ada rawi yang tidak bisa dijadikan hujjah. Dan kaidah-kaidah fikih telah menolak (isi) hadis ini, karena dia adalah (menyangkut) hak seorang manusia. Maka tidak bisa gugur, kecuali dengan berlepas diri. Oleh karena itu dia (si pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi telah mati dan tidak bisa dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka berkata sebagian ulama: “Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang dighibahi”)
[59] Tafsir Ibnu Katsir 4/276
[60] Lihat Majmu Fatawa III/291
[61] Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa ini merupakan pendapat Mayoritas Ulama (Majmu Fatawa XVIII/189)
[62] Wabilus Shoyyib 219, Pasal 65
[63] Majmu Fatawa XVIII/189
[64] Al-Jawab Al-Kaafi hal 110-111
[65] Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Isnadnya Hasan”
[66] Tuhfatul Ahwadzi hal 63
[67] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337
[68] HR Al-Bukhari V/2377 no 6113
[69] HR Muslim IV/1997 no 2581
[70] Wafayaatul A’yaan wa Anbaa’ Abnaauz Zamaan II/71
[71] Al-Adzkaar hal 791
[72] Al-Adzkaar hal 791
[73] Majmu Fatawa XVIII/187-189
[74] HR Muslim IV/4997 no 2582
[75] HR Muslim IV/1996 no 2579
[76] HR Al-Bukhari II/856 no 2317, lihat juga V/2394 no 6169
[77] Al-Bidayah wan Nihayah IX/336
[78] Al-Madkhol III/69
[79] (Bahjatun Nadzirin 3/33).
[80] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (QS. An-Nisa’ 148) menunjukkan hanyalah dibolehkan orang yang dizalimi mencela orang yang menzaliminya, jika di hadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya di hadapan manusia, tidak di hadapannya), maka ini tidak boleh, karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurat 12, dan hadis-hadis sahih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dharurat. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)
[81] HR. Bukhari dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714
[82] Sebagaimana yang dilakukan oleh para Salaf ketika memeringatkan umat dari bahayanya para Ahlul Bidah, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk memerbaiki Islam dan kaum Muslimin:
”… Seperti para imam kebidahan, yaitu orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka, dan memeringatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib, dengan kesepakatan kaum Muslimin.
Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad: ”Seorang laki-laki puasa, dan salat, dan beritikaf, lebih engkau sukai, atau membicarakan tentang (kejelekan) Ahlul Bidah?”
Maka beliau menjawab:” Jika laki-laki itu salat dan itikaf, maka hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri. Dan jika dia membicarakan (kejelekan) Ahlul Bidah, maka hal ini adalah demi kaum Muslimin. Maka hal ini (membicarkan kejelekan Ahlul Bidah) lebih baik.”
Maka Imam Ahmad telah menjelaskan, bahwasanya hal ini (membicarakan Ahlul Bidah) bermanfaat umum bagi kaum Muslimin dalam agama mereka, dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya, dan manhaj-Nya, serta syariat-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan Ahlul Bidah atas hal itu adalah Wajib Kifayah, dengan kesepakatan kaum Muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan kemudharatan para Ahlul Bidah ini, maka akan rusak agama ini. Yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari Ahlul Harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama yang (telah tertanam) dalam hati, kecuali hanya belakangan. Sedangkan para Ahlul Bidah, mereka merusak hati sejak semula. (Al-Fatawa 26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi hal 9)
[83] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat: (ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)
[84] Lihat penjelasan Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa XXVIII/230-231
[85] Ruh hal 240
[86] HR. Bukhari dan Muslim no 2591. As-Syaukani menjelaskan, bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi ﷺ. Kalau benar ini adalah ghibah, maka tidak boleh kita mengikutinya, sebab Allah dan Nabi ﷺ telah melarang ghibah dalam hadis-hadis yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga pria yang disinggung oleh Nabi ﷺ tersebut ternyata hanya Islam secara zahir, sedangkan keadaannya goncang, dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)
“Jika tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat zalim ini untuk memeringatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian keempat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka ini pun telah masuk dalam bagian kedua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat. (Bahjatun Nadzirin 3/45,46)