Sebagaimana telah kita ketahui, safar itu ada beberapa macam:
1- Safar Wajib, yaitu menempuh perjalanan untuk menunaikan kewajiban, misalnya bepergian untuk menunaikan ibadah haji yang wajib, umrah yang wajib, menuntut ilmu agama yang wajib atau kewajiban berjihad.
2- Safar Sunnah, yaitu menempuh perjalanan yang dianjurkan (disunnahkan), misalnya bepergian untuk melaksanakan umrah yang sunnah, haji yang sunnah, dan jihad yang sunnah.
3- Safar Boleh (Mubah), yaitu bepergian untuk melakukan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, misalnya bepergian untuk berdagang barang-barang yang halal.
4- Safar Haram, yaitu menempuh perjalanan untuk melakukan perkara yang diharamkan, misalnya menempuh perjalanan untuk berdagang khamr (minuman keras).
5- Safar Makruh, misalnya bepergian seorang diri tanpa ada yang menemani. Bepergian seperti itu dimakruhkan, kecuali untuk melakukan hal-hal yang sangat penting.
Sebisa mungkin kita melakukan safar yang wajib, sunnah, atau yang boleh; tidak melakukan safar yang makruh, apalagi yang haram.
Adapun Safar Mubah, sekadar jalan-jalan atau liburan bisa bernilai ibadah. Bagaimana caranya?
Ada dua syarat yang mesti dipenuhi kalau hal mubah bisa bernilai ibadah:
1- Dilakukan dengan niat yang benar.
2- Sebagai wasilah (perantara) dalam rangka mendukung amalan saleh.
“Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka mengharap wajah Allah, melainkan akan diganjar dengan usaha itu sampai pun sesuap makanan yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” [HR. Bukhari, no. 6373 dan Muslim, no. 1628].
Di sini disebutkan, dengan niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah, barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah bernilai ibadah dan berpahala.
Dalil bahwasanya perbuatan non-ibadah jika sebagai wasilah (perantara) pada ketaatan atau ibadah dapat bernilai pahala dapat disimpulkan dari firman Allah taala:
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.” [QS. At Taubah: 120].
Ayat ini menunjukkan, bahwa wasilah (perantara) yang mendukung terwujudnya ibadah dianggap sebagai ibadah pula, dan berpahala di sisi Allah. [Lihat Qowa’id Ma’rifat Al-Bida’, hlm. 107]
Contoh Safar Mubah yang bisa bernilai ibadah:
• Safar yang diisi dengan amalan saleh seperti zikir dan doa.
• Jalan-jalan ke luar kota dan yang dituju adalah Pondok Pesantren Sunnah. Di sana bisa menggali ilmu agama, walau nantinya punya tujuan untuk berekreasi ke pantai atau lainnya.
• Safar sambil bakti sosial pada masyarakat miskin. Walau ada liburannya, namun bisa raih pahala.
• Mengambil waktu rehat setelah beraktivitas panjang, agar setelah mengambil rehat lebih semangat beraktivitas untuk memperdalam ilmu agama, giat ibadah dan berdakwah. Ini yang ditemukan pada sebagian ulama atau ustadz. Ada waktu luang mereka yang mereka gunakan untuk berekreasi, biar lebih semangat lagi dalam aktivitas dakwah.
Beberapa contoh di atas menunjukkan, bahwa dengan niatannya itulah yang menjadikan safar tersebut menjadi ibadah.
Begitu pula waktu luang di saat safar bisa dimanfaatkan untuk hal yang bermanfaat seperti membaca Alquran, membaca buku Islam yang bermanfaat, atau lebih canggih lagi browsing situs-situs Islam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” [HR. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Majah, no. 3976. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini Shahih]