“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan:
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadis ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perawinya tsiqoh/terpercaya)
“Ikutilah (petunjuk Nabi ﷺ, -pen), janganlah membuat bid’ah, karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perawinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab Shahih)
Hadis dan perkataan sahabat di atas menunjukkan, bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah BID’AH, dan setiap bid’ah itu SESAT dan TERTOLAK dan tempatnya di Neraka.
Kerancuan: Apakah Benar Ada Bid’ah Yang Terpuji ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang, bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, namun ada sebagian yang terpuji, yaitu bid’ah hasanah.
Memang diakui, bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan, bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji, karena bid’ah menurut sebagian ulama tersebut adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi ﷺ.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya:
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata:
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang RANCU dan SALAH PAHAM. Akhirnya sebagian orang mengatakan, bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan Maulid Nabi atau Shalat Nisfu Sya’ban yang TIDAK ADA DALILNYA atau PENDALILANNYA KURANG TEPAT, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, baik dari sabda Nabi ﷺ maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan, bahwa BID’AH itu TERCELA dan SESAT dan tempatnya di Neraka.
Memahami Perkataan ‘Umar bin Al Khottob tentang Shalat Tarawih
Taruhlah kita setuju dengan perkataan ‘Umar, bahwa ada bid’ah hasanah, karena beliau telah berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukuplah disanggah dengan perkataan Ibnu Taimiyah: “PERKATAAN SAHABAT BUKANLAH ARGUMEN. Bagaimana perkataan sahabat bisa sebagai alasan, di saat bertentangan dengan sabda Rasululah ﷺ?” [ Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95]
Jika dengan perkataan sahabat saja TIDAK BISA dipertentangkan dengan sabda Rasul ﷺ, lantas bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah sahabat?
Imam Syafi’i adalah orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi ﷺ. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabi ﷺ. Jika Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul ﷺ: “Kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat).
Seharusnya kita memosisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’i, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang TIDAK bertentangan dengan sabda Rasul ﷺ. Jadinya kita pahami, bahwa maksud Imam Syafi’i adalah BID’AH SECARA BAHASA.
Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada Imam Syafi’i, karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut ini:
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah ﷺ, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku. Dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan, maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” [Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63]
“Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadis Nabi ﷺ, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti, dan janganlah kalian taqlid kepadaku.” [Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15]
“Setiap masalah yang di sana ada hadis shahihnya menurut para ahli hadis, lalu hadis tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi, baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” [Hilyatul Auliya’, 9: 107]
“Kalau ada hadis shahih, maka itulah mazhabku. Dan kalau ada hadis shahih, maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” [Siyar A’laamin Nubala’, 3: 3284-3285]
“Kaum Muslimin sepakat, bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah ﷺ, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu, karena mengikuti pendapat siapa pun.” [I’lamul Muwaqi’in, 2: 282]
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi’i bahwa perkataan Rasulullah ﷺ wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah ﷺ: “Setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.