(Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Alquran ketika Alquran itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. [QS. al-Furqan: 27-29]
Kita bisa perhatikan penyesalan mereka di Hari Kiamat, hingga mereka gigit jari. Mereka menyesal, mengapa dulu mengikuti guru sesat itu. Padahal sudah datang peringatan yang sangat jelas yang menunjukkan kesesatannya.
Karena itulah, semua mukmin menyadari, mengambil sumber ilmu akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Prinsip apapun yang terjadi sudah ditanggung guru, harus ditinggalkan, jika dia jelas menyimpang, membela kekufuran. Jangan lagi dijadikan referensi dalam ilmu agama.
Dulu Muhammad biin Sirin, ulama tabi’in muridnya Anas bin Malik, mengingatkan:
إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu adalah bagian dari agama. Karena itu perhatikan, dari mana kalian mengambil agama kalian.” [Siyar A’lam an-Nubala’, 4/606]
Orang yang belajar agama, hakikatnya sedang membangun ideologi. Ketika sumber ilmunya orang sesat, akan terbentuk ideologi sesat dari muridnya. Benarlah apa yang dikatakan Nabi ﷺ:
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh penipuan. Pendusta dianggap benar, sementara orang yang jujur dianggap dusta. Pengkhianat diberi amanat, sedangkan orang amanah dianggap pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya: “Apa itu Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab: “Orang bodoh (masalah agama) yang turut campur dalam urusan masyarakat.” [HR. Ahmad 7912, Ibnu Majah 4036, Abu Ya’la al-Mushili dalam musnadnya 3715, dan dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth]
Definisi ini tidak terbatas pada orang atau kelompok tertentu. Tapi siapapun yang sembarangan ketika bicara masalah agama, maka dia termasuk Ar Ruwaibidhah.