Alat tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarah lengkapnya bisa dibaca di Da’iratul Ma’arif Al Islamiyah, juz 11/233-234; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Muyassarah, 1/958; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Alamiyah, 23/157; Fatawa Rasyid Ridha, 3/ 435-436, dan lainnya.
Syaikh Bakr Abu Dzaid menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen, dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157. Ringkasannya sebagai berikut:
Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat, yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca biji pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil.
Orang-orang Budha berada sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya, ketika sedang melakukan persembahyangan.
Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.
Perkembangan tasbih pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul Hindi referensi, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya.
Sehingga menghitung zikir dengan tasbih sebagai bukti inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah kalimat, satu permainan kata tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan).
Begitu juga pada zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat, mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabiin. Jika mendapatkan sebuah hadis yang memuat lafal “Subhah”, jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafal tersebut adalah alat tasbih seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini. Karena Rasulullah ﷺ berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui.
Sedangkan tasbih seperti yang beredar sekarang ini tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabiin. Ketika pada akhir masa tabiin ada orang yang menghitung zikirnya dengan kerikil atau biji korma (tanpa dirangkai), maka para sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud mengingkari dan melarangnya dengan keras; menganggapnya melakukan perbuatan bidah yang besar.
Begitu pula yang dilakukan oleh Ibrahim An Nakhai, seorang tabiin senior, telah melarang putrinya melakukan perbuatan seperti itu, sebagaimana sebelumnya Rasulullah ﷺ telah mengingkari Shafiyah, dan memberitahukannya perbuatan yang lebih baik dan afdhal. Banyak atsar sahabat dan tabiin yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung zikirnya.
Apa hukum memakai tasbih?
>> Fatwa Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
Sebagian ulama berpendapat dalam masalah ini dengan membolehkan penggunaannya disertai dengan pendapat, bahwa bertasbih dengan tangan itu lebih utama. Sementara sebagian lainnya memasukkan dalam perkara bidah.
Syikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Fatawa 22/187 mengatakan:
“Terkadang ada orang yang tampak meletakkan sajadah di lututnya dan tasbih di tangannya, dan menjadikan hal itu sebagai syiar agama dan salat. Telah diketahui secara Mutawatir, bahwa Nabi ﷺ beserta para sahabatnya tidak menjadikan hal ini sebagai syiarnya. Dahulu mereka bertasbih dan menghitungnya dengan jari jemarinya sebagaimana dalam hadis:
“Dan hitunglah dengan jari jemari, karena sesungguhnya (jari-jemari itu) akan ditanya dan akan berbicara.” [HR. Abu Daud dan Tirmizi]
Boleh jadi ada yang bertasbih dengan kerikil atau biji. Bertasbih dengan tasbih, sebagian orang ada yang menganggapnya makruh. Di antara mereka ada yang meringankan (boleh). Akan tetapi tidak ada satupun yang mengatakan, bahwa bertasbih dengannya itu lebih baik daripada bertasbih dengan jemari (tangan) atau lainnya.”
Kemudian baliau rahimahullah berbicara tentang bab riya: “Bertasbih dengan tasbih termasuk riya dengan perkara yang tidak disyariatkan. Hal itu lebih buruk dibandingkan riya dengan perkara yang tidak disyariatkan.”
Ada pertanyaan tentang bertasbih dengan menggunakan tasbih ditujukan kepada Fadhilatus Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah, Al-Liqa’ AL-Maftuh, 3/30. Apakah itu termasuk bidah?.
Beliau rahimahullah menjawab:
“Bertasbih dengan tasbih, ditinggalkan itu lebih utama, dan bukan termasuk bidah. Karena ia ada asalnya, yaitu sebagian sahabat bertasbih dengan menggunakan kerikil. Akan tetapi Rasulullah ﷺ memberikan arahan, bahwa bertasbih dengan jemari itu lebih utama dengan mengatakan: ‘Hitunglah -mengucapkan kepada para wanita- dengan jari jemari, karena ia (nanti) akan berbicara.”
Bertasbih dengan tasbih tidak termasuk haram, juga tidak bidah. Akan tetapi ditinggalkan itu lebih utama, karena orang yang bertasbih dengan tasbih itu meninggallkan yang lebih utama, dan terkadang orang yang memakai tasbih sedikit masuk penyakit riya.
Karena kita saksikan sebagian orang memegang tasbih berisi seribu butir, seakan-akan mengatakan kepada orang ‘Liihatlah saya bertasbih seribu kali tasbih’.
Ketiga, orang yang bertasbih dengan tasbih seringkali hatinya lalai. Oleh karena itu kita jumpai dia bertasbih dengan tasbih, sementara matanya melihat ke atas, ke kanan ke kiri. Yang menunjukkan lalai hatinya.
Maka yang lebih utama seseorang bertasbih dengan jemarinya. Yang lebih utama menggunakan tangan kanan, bukan kiri. Karena Nabi ﷺ biasanya ketika bertasbih menghitungnya dengan jari tangan kanan. Kalau bertasbih dengan memakai kedua tangan, semuanya itu tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih utama bertasbih dengan tangan kanannya saja.”
Syekh Muhammad Nasirudin Al-Albany rahimahullah berkata dalam kitab As-Silsilah Ad-Dhaifah, 1/110 ketika metakhrij (menilai hadis) ‘Sebaik-baik pengingat adalah tasbih’, “Kemudian hadis ini, menurut saya, dari segi artinya juga batil karena beberapa hal:
Pertama, bahwa tasbih itu bidah, tidak ada pada masa Nabi ﷺ. Timbulnya setelah masa beliau ﷺ. Bagaimana beliau ﷺ menganjurkan kepada para sahabatnya urusan yang tidak diketahuinya? Dalil yang saya sebutkan adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Wadhah dalam kitab ‘Al-Bida’ Wan Nahyu Anha’ dari As-Shalt bin Bahram. Dia berkata, Ibnu Mas’ud melewati wanita membawa tasbih untuk bertasbih, maka beliau memutus dan melemparnya. Kemudian melewati lelaki yang bertasbih dengan kerikil, maka didepak dengan kakinya, kemudian mengatakan: ‘Sungguh kamu telah melakukan bidah yang zalim. Sungguh Anda telah mengalahkan ilmu para sahabat Nabi ﷺ. Dan sanadnya sahih sampai As-Solt. Beliau tsiqah (terpercaya) dari pengikut para tabiin.
Kedua, ia menyalahi ajaran beliau ﷺ. Abdullah bin Amr radhiallahu’anhu berkata: ‘Saya melihat Rasulullah ﷺ menggenggam ketika bertasbih dengan tangan kanannya. Beliau juga berkata, 1/117: “Jika dalam tasbih hanya terdapat satu keburukan saja, yaitu mematikan Sunnah menghitung dengan jemari, sedangkan semua sepakat bahwa hal itu (menghitung dengan jemari) lebih utama, maka tersebut sudah cukup.
Sebenarnya saya jarang melihat seorang syekh menggenggam ketika bertasbih dengan ruas jemari. Kemudian orang-orang berkreasi membuat (tasbih) yang bidah ini. Anda melihat orang yang mengikuti salah satu kelompok Sufi melilitkan tasbihnya di leher. Sebagian lain menghitungnya, padahal dia berbicara dengan Anda atau mendengar pembicaraan Anda.
Terakhir yang saya lihat beberapa hari lalu, saya melihat seseorang naik sepeda biasa berjalan di jalanan ramai, dan disalah satu tangannya membawa tasbih. Seakan memerlihatkan kepada orang-orang, bahwa hatinya tidak lalai mengingat Allah sekejap pun. Kebanyakan bidah ini menjadi sebab hilangnya sesuatu yang menjadi kewajiban. Sering saya dapatkan, begitu juga orang lain, ketika saya memberi salam kepada salah seorang di antara mereka, dia menjawab salam dengan isyarat tanpa mengucapkan salam. Kerusakan bidah ini tidak terhitung. Alangkah indahnya ungkapan seorang ahli syair :
Yang namanya kebaikan adalah mengikuti pedoman orang saleh terdahulu (Salaf). Dan keburukan adalah bidah orang yang datang kemudian (khalaf).