Adab & Akhlak

APA DEFINISI ULIL AMRI? APAKAH PEMERINTAH INDONESIA BUKAN ULIL AMRI?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#DakwahTauhid

#DakwahManhaj

APA DEFINISI ULIL AMRI? APAKAH PEMERINTAH INDONESIA BUKAN ULIL AMRI?

Pemerintah negeri ini, presiden negeri ini beragama Islam. Maka beliau adalah ULIL AMRI.

Orang yang mengatakan presiden RI saat ini bukanlah Ulil Amri, maka dia telah terkena pemikiran atau syubhat TAKFIRI.

Akibat fatal pemikirab takfiri ini adalah bolehnya memberontak pada penguasa negeri ini. Ini sungguh pemahaman yang SANGAT KELIRU.

Apa definisi Ulil Amri? Apakah Pemerintah Indonesia Bukan Ulil Amri? Bagi yang belum paham makna Ulil Amri, silakan baca yang berikut ini:

Kewajiban Menaati Ulil Amri

Allah ta’ala berfirman (yang artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta Ulil Amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian, dan paling bagus dampaknya.” (QS. an-Nisaa’: 59).

Ayat yang mulia ini mengandung pelajaran:

  1. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai makna Ulil Amri. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu sebagaima diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanad Shahih, beliau berkata: “Mereka, yaitu Ulil Amri, adalah para pemimpin/pemerintah.”

Penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dan yang lainnya. Sedangkan Jabir bin Abdullah berkata, bahwa mereka itu adalah para ulama dan pemilik kebaikan.

Mujahid, Atha’, al-Hasan, dan Abul Aliyah mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah para ulama.

Mujahid juga mengatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah para sahabat.

Pendapat yang dikuatkan oleh Imam asy-Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu maksud Ulil Amri adalah para pemimpin/pemerintah (lihat Fath al-Bari [8/106] pdf).

Oleh sebab itu an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab untuk hadis Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat ini dengan judul ‘Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam kemaksiatan dan diharamkannya hal itu dalam perbuatan maksiat’. Kemudian beliau menukilkan ijma’/konsensus para ulama tentang wajibnya hal itu (lihat Syarh Muslim [6/467]).

Adapun pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa kandungan ayat ini mencakup kedua kelompok tersebut; yaitu ulama maupun umara/pemerintah, dikarenakan kedua penafsiran ini sama-sama terbukti Shahih dari para sahabat (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/235 dan 238] pdf)

  1. Wajibnya menaati pemerintah Muslim selama bukan dalam rangka maksiat. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Rasul ﷺ dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau ﷺ bersabda: “Wajib atasmu untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan tidak menyenangkan, atau bahkan ketika mereka itu lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di atas kepentinganmu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/469])
  1. Ketaatan kepada pemerintah Muslim ini dibatasi dalam hal ketaatan/perkara ma’ruf saja, sedangkan dalam perkara maksiat, maka tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda: “Wajib atas setiap individu Muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/470]).

Demikian juga hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/471])

  1. Kewajiban untuk mendengar dan taat kepada pemerintah Muslim ini juga dibatasi selama tidak tampak dari mereka kekufuran yang nyata. Apabila mereka melakukan kekufuran yang nyata, maka wajib untuk mengingkarinya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka.

Adapun memberontak atau memeranginya, sezalim atau sefasik apapun mereka, maka tidak boleh, selama dia masih Muslim/tidak kafir (lihat Syarh Muslim [6/472-473], Fath al-Bari [13/11]).

Dalilnya adalah hadis Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Kecuali apabila kalian melihat kekafiran yang nyata, dan kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [6/473]).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan ‘Kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu’ adalah adanya dalil tegas dari ayat atau hadis Shahih yang tidak menerima takwil. Konsekuensinya, tidak boleh memberontak kepada mereka, apabila perbuatan mereka itu masih mengandung kemungkinan takwil.” (Fath al-Bari [13/10]).

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “… kecuali apabila kaum Muslimin telah melihat kekafiran yang nyata, yang mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya, dengan syarat apabila mereka memunyai kemampuan yang memadai. Adapun apabila mereka tidak memiliki kemampuan itu, maka janganlah mereka memberontak. Atau apabila terjadi pemberontakan, dan diduga kuat akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak, demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kaidah syariat yang telah disepakati menyatakan bahwa: ‘Tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang menimbukkan akibat lebih buruk dari keburukan semula. Akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau, minimal meringankannya.’…” (al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 9-10)

  1. Wajib bagi orang-orang yang mampu, dari kalangan ulama atau yang lainnya, untuk menasihati penguasa Muslim yang melakukan penyimpangan dari hukum Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Namun hal itu, menasihati penguasa, dilakukan tanpa menyebarluaskan aib-aib mereka di muka umum.

Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadis ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, maka janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum. Akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya, lalu menasihatinya secara sembunyi. Apabila dia menerima nasihatnya, maka itulah yang diharapkan. Dan apabila dia tidak mau, maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad Shahih, lihat al-Ma’lum, hal. 23, lihat juga perkataan asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sail al-Jarar yang dikutip dalam kitab ini hal. 44)

  1. Wajibnya bersabar dalam menghadapi penguasa Muslim yang zalim kepada rakyatnya

Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku, dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati setan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau ﷺ menjawab: “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/480]).

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka, namun kalian mengingkari kekeliruan mereka. Barang siapa yang mengetahuinya, maka harus berlepas diri, dengan hatinya, dari kemungkaran itu. Dan barang siapa yang mengingkarinya [minimal dengan hatinya, -pent], maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya, dan tetap menuruti kekeliruannya.”

Mereka, para sahabat, bertanya: “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau ﷺ menjawab: “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [6/485]).

Faidah: An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran, tidak berdosa semata-mata karena dia TINGGAL DIAM. Akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])

Catatan Penting:

Sebagian orang terjerumus dalam kesalahan dalam menyikapi penguasa Muslim yang melakukan kekeliruan. Mereka menganggap demokrasi adalah haram, bahkan termasuk kemusyrikan. Karena di dalam konsep demokrasi rakyat menjadi sumber hukum dan kekuasaan ditentukan oleh mayoritas.

Di satu sisi mereka telah benar, yaitu mengingkari demokrasi yang hal itu termasuk dalam bentuk kekafiran dan kemusyrikan. Penjelasan lebih lengkap bisa dibaca dalam kitab Tanwir azh-Zhulumat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam hafizhahullah. Namun di sisi lain mereka telah melakukan kekeliruan yang sangat besar, yaitu serampangan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada orang.

Biasanya mereka berdalil dengan ayat (yang artinya): “Barang siapa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. al-Ma’idah: 44).

Anggaplah demikian, bahwa mereka, yaitu pemerintah, telah berhukum dengan selain hukum Allah, meskipun sebenarnya pernyataan ini harus dikaji lebih dalam. Namun ada satu hal penting yang perlu diingat, dan perkara inilah yang mereka lalaikan, bahwa tidak semua orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu dihukumi kafir! Mereka juga berdalih dengan ucapan para ulama yang menyatakan ‘Setiap orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka dia adalah thaghut’ (lihat al-Qaul al-Mufid [2/74]).

Berdasarkan itulah mereka menyebut pemerintah negeri ini sebagai rezim thaghut dan kafir.Kemudian, sebagai imbas dari keyakinan tersebut, mereka pun mencaci-maki penguasa dan menuduh orang-orang yang menyerukan ketaatan kepada penguasa sebagai kelompok penjilat. Bahkan mereka pun tidak segan-segan menggelari para ulama dengan julukan Ulama Salathin, alias kaki tangan pemerintah. Allahul musta’aan.

Maka untuk menjawab kerancuan ini, dengan memohon taufik dari Allah, berikut ini kami ringkaskan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan isi Kitab at-Tauhid:

Yang dimaksud dengan berhukum dengan selain hukum Allah yang dihukumi kafir dan murtad, sehingga layak untuk disebut sebagai thaghut, adalah dalam tiga keadaan:

[1] Apabila dia meyakini, bahwa berhukum dengan selain hukum Allah, yang bertentangan dengan hukum Allah, itu boleh, seperti contohnya: Meyakini bahwa zina dan khamr itu halal.

[2] Apabila dia meyakini, bahwa selain hukum Allah itu sama saja (sama baiknya) dengan hukum Allah.

[3] Apabila dia meyakini, bahwa selain hukum Allah lebih bagus daripada hukum Allah. Lalu, dia bisa dihukumi zalim, yang tidak sampai kafir, apabila dia masih meyakini hukum Allah lebih bagus dan wajib diterapkan, namun karena kebenciannya kepada orang yang menjadi objek hokum, maka dia pun menerapkan selain hukum Allah.

Demikian juga ia dikatakan fasik, yang tidak kafir, apabila dia menggunakan selain hukum Allah dengan keyakinan, bahwa hukum Allah-lah yang benar. Namun dia melakukan hal itu, berhukum dengan selain hukum Allah, karena faktor dorongan hawa nafsu, suap, nepotisme dsb.

Kemudian beliau juga menjelaskan, bahwa tindakan orang yang mengganti syariat dengan undang-undang buatan manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk kekafiran akbar. Yang saya dengar dari ceramah Syaikh Abdul Aziz ar-Rays, beliau telah rujuk dari pendapat ini sebelum wafatnya. Meskipun demikian, orang yang memberlakukan undang-undang ini tidak serta merta dikafirkan. Seperti misalnya, apabila dia menyangka bahwa sistem yang diberlakukannya itu tidak bertentangan dengan Islam, atau dia menyangka, bahwa hal itu termasuk urusan yang diserahkan oleh Islam kepada manusia, atau dia tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk kekafiran (lihat al-Qaul al-Mufid [2/68-69 dan 71]).

Dengan menyimak keterangan beliau di atas jelaslah bagi kita, bahwa tindakan sebagian orang yang dengan mudahnya mengkafirkan penguasa negeri ini, semoga Allah membimbing mereka, serta menjuluki mereka sebagai rezim thaghut, adalah sebuah tindakan serampangan dan tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Bahkan, kalau diteliti lebih jauh, ternyata mereka itu telah terjangkiti virus pemikiran Khawarij gaya baru, yang menebar kekacauan berkedok jihad. Subhanallah.

 

Sumber:

http://abumushlih.com/kewajiban-menaati-ulil-amri.html/

https://aslibumiayu.net/5442-apa-sih-definisi-ulil-amri-apakah-pemerintah-indonesia-bukan-ulil-amri-bagi-yang-belum-paham-makna-ulil-amrisilahkan-dibaca.html

 

 

Admin Nasihat Sahabat

Bagikan
Ditayangkan oleh
Admin Nasihat Sahabat
Tags: adaadalahAdapunakibatAKIDAHaksiAllahallohamiramramriApaapabilaApakahapalagiapapunaqidahartiartinyaATASatauataupunayatbahkanbaikbarubeliauBENARbenciBERAGAMAberdiamBERJIHADberkedokbermaksiatberontakberselisihbolehbolehnyaBUKANbuktiDALAMDalil)dandaridefinisidefnisidemokrasidemonstrasiDENGANdengardhalimdidiadiamdibatasidiharamkannyadihukumidikarenakandiperbolehkandiperintahkandiridisukainyadzalimFaedahFaidahfasikfatalgayagunakanhadishalHANYAhatihukumhukummyaindividuIndonesiaingkariINIislamItujalan jalanJIHADJUGAkafirkafirkankakikandungankekeadaankebaikankebenaranKECUALIkedokkeduakekufurankelirukeluarkemaksiatankembalikanlahkemungkarankepadaKEPENTINGANkepentinganmkesalahannyaketa'atanKETIKAKewajibanKHAWARIJKhowarijkondisikonsekuensinyakuatkufurlakukanlebihma'rufma’ruMAKAmaknamaksiatmaksiyatMaksudmanhajmasihMAUPUNmelakukanMembencimemberontakmemeranginyamena'atimendengarmenebarmenerimamengafirkanmengandungmengenaimenggunakanmengingkarinyamengkafirkanmengutamakanmenta'atimenyampaikanmenyenangkanMerekameridhaimeridhoiMudahmurtadMuslimnasehatnasihatnegeriNyataORANGpadaparapatuhpelajaranpemahamanpemberontakanpemerintahpemikirabPemikiranpemilikPemimpinPENAFSIRANpengafiranpengkafiranpenguasaperangiperbedaanPerbuatanperkarapresidenPUNrakyatrangkaRasulRidhaRidhosahabatsajaSALAFISalafiyyahSalafiyyunSalafySalahsalatSalathinsama samasampaikansangatsecaraSEDANGKANsefasikselainSELALUselamasemangatsembaranganserampanganSesembahansesungguhnyasetiapsezalimShahihshalatsholatsiapasihsisiSolatSUATUsukaisungguhsusahsyubhasyubhattaattafkiritaguttakfiritakwil.TampaktangantauhidtawheedtegastelahTENTANGterbuktiterimaTERKENAtermasukterorismethaghutthaguttidakTINGGALturunulamaulilumara’UNTUKviruswajibwajibnyawaliyulwaliyyulyangzalimzhalimzolim

Artikel Terbaru

DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…

2 months lalu

BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…

2 months lalu

BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…

2 months lalu

LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…

3 months lalu

KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…

3 months lalu

SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…

4 months lalu