Apakah bedanya antara iltizam (berpegang dengan Sunnah) dengan tasyaddud (bersikap keras), dan tatharruf (berlebih-lebihan) dengan tathbiq (penerapan) Sunnah?
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu ditanya:
“Telah tersebar anggapan di masyarakat saat ini, bahwa orang yang memerintahkan untuk ber-“iltizam” dengan Sunnah Nabi ﷺ, seperti:
▪️ Memelihara jenggot
▪️ Tidak isbal (menurunkan celana di bawah mata kaki)
Bahwa orang seperti ini dianggap orang yang berlebih-lebihan dan ekstrem. Sudikah Anda menyampaikan beberapa patah kata tentang hal ini? Semoga Allah mengganjar Anda.
Jawaban:
Bismillahirrohmanirrohim
‘Ala kulli hal. Perkara syariat agama dan dhowabithnya (ketentuannya) tidaklah dikembalikan kepada perbedaan pendapat dan perasaan manusia, namun dikembalikan kepada al-Kitab dan as-Sunnah.
Terminologi ghulu (ekstrem), berlebih-lebihan dan melampaui batas sebagaimana yang mereka tuduhkan, maka sepatutnya terminologi ini dikembalikan kepada dhowabithnya di dalam al-Kitab was Sunnah.
Di dalam Alquran dan Sunnah dijelaskan, bahwa sikap ekstrem, berlebih-lebihan dan melampaui batas itu adalah menambah-nambahkan sesuatu yang telah disyariatkan.
Adapun berpegang teguh dengan syariat dan mengimplementasikan Sunnah, maka ini BUKANLAH perbuatan berlebihan. Namun ini adalah sikap “I’tidal” (pertengahan).
Karena itu, perbuatan tidak isbal, memuliakan dan memanjangkan jenggot serta tidak mencukurnya, merupakan bentuk pengamalan Sunnah. Ini adalah sikap I’tidal (Pertengahan), bukanlah sikap berlebihan.
Adapun mencukur jenggot dan melakukan isbal, maka ini merupakan perbuatan meninggalkan Sunnah, dan ini termasuk “tafrith” (meremehkan).
Kami berpandangan, bahwa agama ini ada di antara sikap ifrath (berlebihan) dan tafrith (meremehkan).
• Meninggalkan perintah-perintah Allah adalah sikap tafrith.
• Sedangkan menambah-nambahkan perintah adalah sikap ifrath.
Contohnya sikap berlebihan, keras, ghulu dan ekstrem merupakan perbuatan menambah-nambahi syariat dan perintah Allah.
Demikian pula meninggalkan perintah, hal ini dianggap sebagai bentuk tafrith (meremehkan), pengabaian, kefasikan, dan terkadang kekufuran.
Adapun berpegang dengan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya ﷺ dan menerapkan Sunnah, maka ini adalah sikap I’tidal (pertengahan).