ANCAMAN TERHADAP ORANG-ORANG YANG MENGUBAH KETENTUAN WARISAN
بِسْمِاللَّهِالرَّحْمَنِالرَّحِيمِ
ANCAMAN TERHADAP ORANG-ORANG YANG MENGUBAH KETENTUAN WARISAN
>> Pembagian hukum waris dalam Islam itu didasarkan atas ilmu dan hikmah Allah ﷻ
Sebagian orang melontarkan klaim-klaim dan tuduhan dusta terhadap hukum Allah yang berkaitan dengan masalah warisan. Mereka menuduh bahwa hukum waris dalam Islam itu tidak adil, mengebiri hak-hak kaum perempuan, bias gender, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.
Kalau mereka mau membuka Alquran, Allah ﷻ telah memberikan isyarat, bahwa hukum waris dalam Islam itu ditetapkan berdasarkan ilmu dan hikmah Allah ﷻ. Allah ﷻ yang mengetahui apa yang maslahat untuk umatnya.
Hal ini bisa kita renungkan ketika Allah ﷻ selesai menyebutkan tentang hukum waris dan bagian masing-masing ahli waris, Allah ﷻ tutup dengan firman-Nya:
”Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisa’ 4: 11]
Dalam ayat di atas terdapat faidah luar biasa ketika Allah menyebutkan dua sifat Allah yang mulia, setelah menyebutkan ketentuan hukum waris, yaitu sifat al-‘ilmu (Maha Mengetahui) dan al-hikmah (Maha Bijaksana).
Maksudnya, karena Allah ﷻ Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, Allah ﷻ mengetahui apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya, dan Allah ﷻ pun meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Oleh karena itu patuhilah perintah Allah ketika membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Karena pembagian itu berdasarkan ilmu Allah ﷻ dan hikmah-Nya.
Melaksanakan ketentuan hukum waris sebagaimana yang telah Allah ﷻ tetapkan adalah sebuah KEWAJIBAN. Sebagaimana firman Allah ﷻ yang telah dikutip di atas:
”Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisa’ 4: 11]
Allah ﷻ juga berfirman:
وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Penyantun.” [QS. An-Nisa’ 4: 12]
Oleh karena itu, tidak boleh mengubah-ubah ketentuan dalam pembagian harta warisan dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Allah ﷻ berfirman:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah batasan-batasan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang besar.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka, sedang ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.” [QS. An-Nisa’ 4: 13-14]
“Isyarat dalam firman Allah taala, (تِلْكَ) merujuk kepada hukum-hukum di ayat sebelumnya (yaitu, yang berkaitan dengan hukum waris). Dan Allah taala menyebutnya sebagai “batasan”, karena tidak boleh dilampaui atau tidak boleh dilewati. “Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-nya”, yaitu dalam pembagian harta waris dan aturan-aturan syariat lainnya, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh cakupan makna ayat yang bersifat umum, “niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai.” [Fathul Qaadir, 1: 501]
Kemudian beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
“Barang siapa yang lari dengan membawa warisan ahli warisnya, Allah akan memutus warisannya dari Surga pada Hari Kiamat.” [HR. Ibnu Majah no. 2703] [Dinilai dha’if oleh Syaikh Al-Albani]
Barang siapa yang mengutak-atik pembagian waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat, sehingga:
• Dia mewariskan harta kepada orang yang seharusnya tidak berhak menerimanya; atau
• Dia mencegah (menahan) pembagian sebagian atau seluruh harta waris kepada orang yang seharusnya berhak menerimanya; atau
• Dia menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta waris, sebagaimana dijumpai dalam undang-undang sekuler buatan manusia yang bertentangan dengan hukum syariat bahwa bagian perempuan itu setengah dari bagian lelaki;
Maka orang tersebut telah kafir dan berhak berada di Neraka selamanya, kecuali dia bertobat kepada Allah taala sebelum meninggal dunia. [Lihat Al-Mulakhkhas Fiqhiy, hal. 335]
Hal ini tentunya jika syarat-syarat pengafiran telah terpenuhi pada diri orang tersebut, dan tidak ada penghalang kekafiran. Misalnya dia telah mengetahui bagaimanakah hukum Allah ﷻ terkait warisan, tapi:
• Dia ganti dengan hukum buatan sendiri, dan
• Dia meyakini bolehnya hal itu (tidak ada rasa bersalah atau berdosa); atau
• Dia meyakini bahwa sama saja antara hukum Allah dengan hukum dia; atau
• Dia meyakini bahwa hukum dia itulah hukum yang lebih baik dan lebih bijaksana.