“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari Neraka, sejauh perjalanan tujuh puluh tahun.” [HR. Bukhari, no. 2840 dan Muslim, no. 1153]
Imam Ibnul Jauzi menyatakan, bahwa jika dimutlakkan kata fii sabilillah, maka yang dimaksud adalah jihad.
Imam Al-Qurthubi menyatakan, bahwa jalan Allah adalah ketaatan kepada Allah.
Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied menyatakan, bahwa yang dimaksud secara ‘urf, fii sabilillah adalah jihad. Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi (5:243) dalam penjelasan hadis nomor 1622 dari Jami’ At-Tirmidzi.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, bahwa inilah keutamaan puasa di jalan Allah. Puasa ini dilakukan selama tidak menimbulkan mudarat, tidak luput dari berbagai kewajiban, dan tidak sampai melalaikan perang, juga hal-hal penting saat itu. Al-kharif yang dimaksud adalah tahun. Artinya dijauhkan dari Neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun. Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam penjelasan hadis no. 1153, lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:31-32.
Imam Ibnu Baththal ketika menjelaskan hadis no. 2840 menyebutkan perkataan Al-Muhallab yang menyatakan, bahwa puasa saat melakukan amalan kebaikan lebih afdal, kecuali jika yang berpuasa takut bertambah lemah saat berperang. [Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, 5:48]
Hadis ini juga jadi dalil tentang bolehnya puasa ketika safar, selama tidak membahayakan yang berpuasa. Lihat faidah dari bahasan Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj, 21:384.
Referensi:
• Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Muhammad bin ‘Ali Al-Itiyubia. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
• Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
• Syarh Shahih Al-Bukharili Ibni Baththal.Cetakan keempat, Tahun 1437 H. ‘Ali bin Khalaf bin ‘Abdul Malik. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
• Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi.Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Al-Imam Al-Hafizh Abul ‘Ula Muhammad bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Wafa’ dan Darus Salam.
Bahasan ini dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu Hazm.