Ramadan

AGAR KITA TURUT MERASAKAN INDAHNYA RAMADAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

AGAR KITA TURUT MERASAKAN INDAHNYA RAMADAN
Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA.

 

Tamu agung itu sebentar lagi akan tiba. Sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang yang pada tahun lalu masih berpuasa bersama kita, bertarawih dan beridul Fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita, dan sekarang berbaring di peristirahatan umum ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?

Dalam dua hadis berikut, Nabi ﷺ menggambarkan dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati Ramadan:

• Golongan pertama digambarkan oleh Nabi ﷺ dalam sabdanya:

“مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”

“Barang siapa yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

• Golongan kedua digambarkan beliau ﷺ dalam sabdanya:

“رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ“

“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” [HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Al-Hakim menilainya Sahih. Syaikh al-Albani berkata: Hasan Sahih]

Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung taufik dari Allah ﷻ dan usaha kita.

Ramadan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan. Satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut adalah [1]:

@ Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah ﷻ

Syaikhul Islam menjelaskan:
“Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ﷻ. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”

Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama Salaf sebagaimana dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl, bahwa mereka berdoa kepada Allah ﷻ dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadan tiba, agar dapat menjumpai bulan mulia ini, dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.

Syaikhul Islam menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan kondisi sebelum beramal, ketika beramal, dan setelah beramal:

Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah ﷻ, dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya.

Ibnul Qayyim memaparkan, bahwa para ulama telah bersepakat, bahwasanya salah satu indikasi taufik Allah ﷻ kepada insan adalah pertolongan-Nya untuknya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.

Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah ﷻ adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini, guna menumbuhkan rasa papa, tak berdaya, dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah ﷻ.

Selanjutnya, seyogyanya kita juga memohon kepada Allah ﷻ agar dipertemukan dengan Ramadan, dan supaya Allah ﷻ membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani Ramadan.

Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ﷻ ketika akan beramal, karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ﷻ sebagai makhluk yang lemah:

“وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً”

Artinya: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” [QS. An-Nisa: 28.

Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.

Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah ﷺ. Dua hal inilah yang merupakan syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadis yang menegaskan hal ini. Antara lain firman Allah ﷻ:

“وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ”

Artinya: “Padahal mereka tidaklah diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” [QS. Al-Bayyinah: 5]

Dan sabda Nabi ﷺ:

“مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu akan tertolak.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]

Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memerbanyak Istighfar atas kekurangsempurnaannya dalam beramal, dan juga butuh untuk memerbanyak Hamdalah (pujian) kepada Allah ﷻ, Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara Hamdalah dan Istighfar, maka dengan izin Allah ﷻ, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.

Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir, setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan: “Hai Fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadan… Kau telah salat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan, sehingga tumbuhlah rasa ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri), yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ﷻ.

Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ujub. Pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri karena bisa begini dan begitu, serta silau dengan amalannya, berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan, dan kekurangan diri serta amalannya.

Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:

“فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ . ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ.”

Artinya: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” [QS. Al-A’raf: 16-17]

@ Kiat Kedua: Bertobat Sebelum Ramadan Tiba

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertobat, di antaranya firman Allah ﷻ:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ”

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” [QS. At Tahrim: 8]

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertobat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasulullah ﷺ mengingatkan:

“كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ”

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa. Dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertobat.“ [HR. Tirmidzi dari Anas radhiyallahu’anhu dan isnadnya dinilai Sahih oleh al-Hakim]

Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah ﷻ, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh. Ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat [2]. Apabila ternyata hamba mau bertobat kepada Allah ﷻ, maka prahara itu akan sirna, dan Allah ﷻ akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.

Hakikat Tobat Nasuha atau tobat yang sebenar-benarnya adalah bertobat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan, tobat yang sempurna adalah tobat yang memenuhi empat syarat:

a) Meninggalkan maksiat.
b) Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
c) Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
d) Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya [3]

Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai. Sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertobat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadan saja. Setelah bulan suci ini berlalu, dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana tobatnya para artis yang ramai-ramai berkerudung di bulan Ramadan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis Idul Fitri.

Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat harus tetap menyala, baik di dalam Ramadan maupun di bulan-bulan sesudahnya.

@ Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya, seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkatagori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

“مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.”

“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” [HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menyampaikan petuahnya:

“إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَحَارِمِ وَدَعْ أَذَى الْجَارِ, وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِيْنَةٌ يَوْمَ صَوْمِكَ, وَلاَ تَجْعَلْ يَوْمَ صَوْمِكَ وَيَوْمَ فِطْرِكَ سَوَاء.”

“Seandainya kamu berpuasa, maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu juga turut berpuasa dari dusta, serta hal-hal haram. Dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama ” [4].

Orang yang menahan lisannya dari ghibah, dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadan, tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa, plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat, ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti takwa: “Takwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram,” jawab beliau. Para ulama menegaskan: “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampuradukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.”

Oleh sebab itu, para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur:
“Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman, dan jimak ini sebenarnya hanya sekadar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar, baik di bulan Ramadan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan, seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”

@ Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib, karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ﷻ adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah ﷺ menjelaskan dalam suatu Hadis Qudsi, bahwa Allah ﷻ berfirman:

“وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ“.

“Tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” [HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadan adalah mendirikan salat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan Takbiratul Ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadis:

“مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ؛ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ.”

“Barang siapa yang salat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjamaah dan selalu mendapatkan Takbiratul Ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘Jaminan Surat Kebebasan.’ Bebas dari api Neraka dan dari Nifaq.” [HR. Tirmidzi dan dinilai Hasan oleh Syaikh al-Albani]

Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan Sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara salat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan Salat Tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga salat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan salat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk Salat Tarawih!!?. Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban!.

Sungguh, hanya mendirikan salat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan Salat Tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan Salat Tarawih atau salat malam, namun berdampak menyia-nyiakan salat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap Salat Tarawih. Akan tetapi seharusnya seorang Muslim menggabungkan kedua-duanya: Memberikan perhatian khusus terhadap amalan yang wajib seperti salat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan yang Sunnah seperti Salat Tarawih.

@ Kiat Kelima: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar

Setiap Muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih Lailatul Qadar. Dialah malam diturunkannya Alquran [5]. Dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat [6]. Dialah malam yang berberkah [7]. Dialah malam yang yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan (83 tahun plus 4 bulan)! [8]. Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah ﷻ, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya [9]

Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang Muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.

Di malam ke berapakah Lailatul Qadar akan jatuh?

Malam Lailatul Qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadan. Nabi ﷺ menjelaskan:

“تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.”

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah]

Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ“.

“Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.” [HR. Bukhari dari Aisyah]

Tapi di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di malam 21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29?.

Pernah di suatu tahun pada zaman Nabi ﷺ, Lailatul Qadar jatuh pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri, bahwa di pagi hari tanggal 21 Ramadan tahun itu Rasulullah ﷺ bersabda:

“إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ“.

“Sesungguhnya aku diperlihatkan Lailatul Qadar (malam tadi).” [HR.Bukhari dan Muslim] [10]

Pernah pula di suatu tahun Lailatul Qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab radhiyallahu’anhu berkata:

“وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا وَأَكْثَرُ عِلْمِي هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ.”

“Demi Allah aku mengetahuinya (Lailatul Qadar). Perkiraan saya yang paling kuat, dia jatuh pada malam yang Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk bangun malam di dalamnya, yaitu malam dua puluh tujuh.” [HR. Muslim] [11]

Pada tahun yang lain, Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabatnya untuk mencari Lailatul Qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan Ramadan:

“فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ.”

“Barang siapa yang ingin mencarinya (Lailatul Qadar), hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadan).” [HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma]

Cara memadukan antara hadis-hadis tersebut di atas adalah dengan mengatakan, bahwa Lailatul Qadar dari tahun k etahun berpindah-pindah dari satu malam yang ganjil, ke malam ganjil lainnya, akan tetapi tidak keluar dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan [12]

Di antara hikmah dirahasiakannya waktu Lailatul Qadar adalah:

• Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu Lailatul Qadar, kita akan terus memerbanyak salat, zikir, doa dan membaca Alquran di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadan, terutama malam yang ganjil.

• Sebagai ujian dari Allah ﷻ, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari Lailatul Qadar, dan siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya [13]

Maka seharusnya kita berusaha maksimal (all out) pada sepuluh hari itu. Menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu, agar kita bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang tidak berusaha mencari Lailatul Qadar, melainkan pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadan, dengan asumsi bahwa Lailatul Qadar jatuh pada tanggal ini atau itu. Walaupun dia berpuasa Ramadan selama 40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada.

Nabi ﷺ telah memberikan tauladan, sebagaimana direkam istri beliau Aisyah radhiyallahu’anha:

“كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ“.

“Nabi ﷺ jika memasuki sepuluh (terakhir Ramadan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’ (meninggalkan hubungan suami istri), menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

@ Kiat Keenam: Jadikan Ramadan sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini

Ramadan ibarat madrasah keimanan. Di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan, setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita, hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.

Allah ﷻ memerintahkan:

“وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ.”

Artinya: “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ajal.” [QS. Al-Hijr: 99]

Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan:

“إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ لِعَمَلِ الْمُؤْمِنِ أَجَلاً دُوْنَ الْمَوْتِ.”

“Sesungguhnya Allah ﷻ tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin, melainkan ajalnya.”

Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya Ramadan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, salat lima waktu berjamaah di masjid, salat malam, memerbanyak membaca Alquran, doa, dan dzikir, rajin menghadiri majlis taklim, dan gemar bersedekah di bulan Ramadan, mari terus kita budayakan di luar Ramadan.

“كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ“.

“Rasulullah ﷺ merupakan orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadan.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma]

Ulama Salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut, dia pun menjawab:

“بِئْسَ الْقَوْم! لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ إِلاَّ فِي رَمَضَانَ.”

“Alangkah buruknya tingkah mereka. Mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadan!”

Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih Lailatul Qadar adalah berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadan.

Wallahu ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi ajma’in.

Daftar Pustaka:

1. Alquran dan Terjemahannya.
2. Asy-Syarh al-Mumti’.
3. Fath al-Bari.
4. Latha’if al-Ma’arif.
5. Majalis Syahr Ramadan.
6. Riyadh ash-Salehin.
7. Shahih Bukhari.
8. Sahih Muslim.
9. Sunan Tirmidzi.

Catatan Kaki:

[1] “Agar Ramadan Kita Bermakna Indah”, nasihat yang disampaikan oleh guru kami Syaikh Prof. DR. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily pada malam Jumat 27 Syakban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun.

[2] Lihat dampak-dampak dari maksiat dalam kitab ad-Da’ wa ad-Dawa’ karya Ibnul Qayyim, dan adz-Dzunub wa Qubhu Âtsâriha ‘alâ al-Afrâd wa asy-Syu’ûb karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48.

[3] Lihat: Riyadh ash-Salehin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38.

[4] Latha’if al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292.

[5] QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3.

[6] QS. Al-Qadar: 4.

[7] QS. Ad-Dukhan: 3.

[8] QS. Al-Qadar: 3.

[9] HR. Bukhari dan Muslim.

[10] HR. Bukhari (no: 2016) dan Muslim (no: 1167).

[11] HR.Muslim (no: 762).

[12] Lihat: Fath al-Bari karya Ibnu Hajar, dan asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin (6/493-495).

[13] Majalis Syahr Ramadan, karya Syaikh al-‘Utsaimin hal: 163.

 

══════

 

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: nasihatsahabatcom@gmail.com
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat

Admin Nasihat Sahabat

Artikel Terbaru

DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ DENGAN DALIH TOLERANSI, JANGAN SAMPAI KITA KEBABLASAN Dengan dalih toleransi, jangan sampai kita kebablasan.…

3 months lalu

BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH TOLERANSI, TAPI JANGAN KEBABLASAN Boleh toleransi, tapi jangan kebablasan. Tidak sedikit orang…

3 months lalu

BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   BOLEH DAN TIDAK BOLEH TERHADAP NON-MUSLIM (TAUTAN e-BOOK) Agar toleransi tidak kebablasan, cobalah…

3 months lalu

LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   LIMA PRINSIP RUMAH TANGGA ISLAMI (E-BOOK) Islam agama yang sempurna. Maka pasti ada…

3 months lalu

KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   KABAR GEMBIRA BAGI YANG TELAH MENYESALI DOSANYA (e-BOOK) Oleh: Ustadz: Dr. Abu Hafizhah…

3 months lalu

SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   SAFAR WANITA TANPA MAHRAM DIBOLEHKAN DENGAN KETENTUAN DAN SYARAT, BENARKAH? Asalnya, Safar Wanita…

4 months lalu