ADAKAH KEUTAMAAN SALAT SUNNAH EMPAT RAKAAT SETELAH ISYA?
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
ADAKAH KEUTAMAAN SALAT SUNNAH EMPAT RAKAAT SETELAH ISYA?
Sudah sejak lama kami menerima pertanyaan dari teman-teman mengenai sunnahnya salat empat rakaat setelah salat Isya, dan bahwa pahalanya setara dengan pahala Lailatul Qadar (demikian yang tertulis dalam chat dan inbox teman-teman yang menanyakan masalah ini).
Namun pada saat itu kami tidak menjawab karena kami belum mengetahui tentang pahala tersebut. Memang, sudah masyhur dalam riwayat al-Bukhari bahwa Nabi ﷺ pernah salat empat rakaat setelah salat Isya, dan itu beliau ﷺ lakukan ketika beliau ﷺ telah berada di rumah beliau. Namun yang menjadi ganjalan di benak kami waktu itu adalah: Apakah benar pahala Salat Sunnah Empat Rakaat setelah Isya ini setara dengan pahala Lailatul Qadar?!
Demikianlah masalah ini kami biarkan sementara tanpa mengomentari pertanyaan-pertanyaan yang masuk seputar ini, karena memang waktu itu kami belum ada kelapangan untuk mencari tahu tentangnya.
Setelah ada kelapangan, kami mulai mencari pembahasan – pembahasan seputar masalah ini, dan Alhamdulillah, ada banyak ulama dan penuntut ilmu yang telah berkomentar dalam masalah ini. Setelah mengumpulkan beberapa pembahasan berbahasa Arab yang membahas tentangnya, kami awalnya berniat untuk merangkum pembahasan – pembahasan tersebut dalam satu tulisan ringkas. Namun alhamdulillah, ternyata sudah ada pembahasan ringkas yang ditulis oleh ustadz Abu al Jauza` -jazahullahu khairan- yang sudah mewakili sebagian besar dari maksud kami. Karenanya, berikut kami bawakan pembahasan beliau, dan kemudian akan kami tambahkan di akhirnya beberapa poin yang tidak sempat dibawakan oleh beliau:
Di antara sunnah yang banyak ditinggalkan kaum Muslimin saat ini adalah Salat Sunnah Empat Rakaat setelah Isya. Di antara dasar dalilnya adalah:
Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam, ia berkata: Aku mendengar Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi ﷺ; dan ketika itu Nabi ﷺ sedang berada di rumah bibi saya itu. Nabi ﷺ melakukan salat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan salat sunnah empat rakaat. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya: ‘Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?’ – atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan salat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau salat lima rakaat, kemudian salat lagi dua rakaat, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Subuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 117].
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Hushain, dari Mujaahid, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata: “Barang siapa yang salat empat rakaat setelah (salat) Isya, maka nilainya setara dengan empat rakaat pada waktu Lailatul-Qadar” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/343 (5/100) no. 7351; sanadnya Shahih. Semua perawinya tsiqah, kecuali Hushain (bin ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy) – seorang yang tsiqah – yang berubah hapalannya di akhir usianya. Muslim mengambil riwayatnya yang berasal dari Ibnu Idriis dalam Shahiihnya, sehingga besar kemungkinan Ibnu Idriis mengambil riwayat Hushain sebelum masa ikhtilaath-nya. Wallaahu a’lam (lihat: Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaa’iy beserta komentar muhaqiq-nya, hal. 21-24)].
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Al-‘Alaa’ bin Al-Musayyib, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata: “Empat rakaat setelah Isya setara dengan empat rakaat pada waktu Lailatul-Qadar” [idem, no. 7352; sanadnya Hasan].
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Jabbaar bin ‘Abbaas, dari Qais bin Wahb, dari Murrah, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata: “Barang siapa yang salat empat rakaat setelah Isya yang tidak dipisahkan dengan salam, maka nilainya setara dengan empat rakaat pada waktu Lailatul-Qadar” [idem, no. 7353; sanadnya Hasan].
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Waahid bin Aiman, dari ayahnya, dari Tubai’, dari Ka’b bin Maati’, ia berkata: Barang siapa yang salat empat rakaat setelah Isya dengan membaguskan rukuk dan sujud padanya, nilainya setara dengan empat rakaat pada waktu Lailatul-Qadar” [idem, no. 7354; sanadnya Hasan].
Atsar Ka’b bin Maati’ atau Ka’b Al-Ahbar ini juga diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4895-4896 dengan sanad Hasan.
Faidah:
1. Riwayat-riwayat di atas menegaskan tentang Masyruu’-nya Salat Sunnah Empat Rakaat setelah Isya.
2. Amalan tersebut beserta pahalanya yang senilai dengan empat rakaat pada waktu Lailatul-Qadar, meskipun sanadnya Mauquuf pada sahabat radliyallaahu ‘anhum, namun hukumnya adalah Marfuu’,[2] karena di dalamnya tidak ada ruang ijtihaad dalam menetapkan pahala suatu amalan secara khusus, sehingga diketahui bahwasannya pernyataan itu tidak lain hanyalah berasal dari Nabi ﷺ.
3. Afdhal salat tersebut dilakukan di rumah sebagaimana hadis Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, sesuai pula dengan sabda Nabi ﷺ:
“Sesungguhnya seutama-utama salat adalah salatnya seseorang di rumahnya, kecuali salat wajib (yang dilakukan di masjid secara berjamaah – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 731].
4. Salat sunnah tersebut dilakukan empat rakaat tanpa dipisahkan dengan salam, sebagaimana atsar ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi bisa juga dilakukan dua rakaat-dua rakaat dengan masing-masing salam sesuai keumuman sabda Nabi ﷺ:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Salat sunnah malam dilakukan dua-dua” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 991].
5. Di antara ulama yang menegaskan sunnahnya amalan ini antara lain:
Adapun Salat Sunnah setelah Isya adalah dua rakaat berdasarkan apa yang diriwayatkan kepada kami dari atsar-atsar. Apabila ia salat empat rakaat, maka afdhal berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu secara Mauquuf dan Marfuu’:
‘Barang siapa salat setelah Isya sebanyak empat rakaat, maka baginya pahala senilai empat rakaat pada waktu Lailatul-Qadar” [Al-Mabsuuth 1/459 – via Syaamilah].
Ibnu Baaz rahimahullah berkata:
الراتبة ركعتان، وإن صلى أربع ركعات فلا بأس، فقد جاء في الحديث: ” أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي أربعاً قبل أن ينام ” وإذا فعلها الإنسان فلا بأس، وإن اقتصر على ركعتين فهي الراتبة، والراتبة التي كان يحافظ عليها: بعد العشاء ركعتان، ثم ينام، ويقوم في آخر الليل يتهجد عليه الصلاة والسلام
“Salat Sunnah Rawatib setelah Isya adalah dua rakaat. Apabila ia salat empat rakaat, maka tidak mengapa, karena terdapat dalam hadis:
‘Sesungguhnya Nabi ﷺ pernah salat empat rakaat sebelum beliau tidur’. Apabila seseorang melakukannya, maka tidak mengapa. Dan apabila ia meringkasnya dua rakaat, maka itulah Salat Sunnah Rawatib. Salat Sunnah Rawatib yang senantiasa dijaga oleh beliau adalah: dua rakaat setelah Isya, kemudian tidur. Setelah itu bangun di akhir malam untuk melakukan salat Tahajjud. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau” [Majalah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah, 46/197].
Al-Albaaniy rahimahullah mengIsyaratkan Masyru’-nya salat sunnah ini ketika menjelaskan hadis no. 5060 dalam buku Silsilah Adl-Dla’iifah 11/101-103.
1. Kelihatannya teman-teman yang bertanya salah paham atau salah menerjemahkan pahala yang tersebut dalam semua atsar di atas. Jadi pahala Salat Sunnah Empat Rakaat setelah Isya BUKAN setara dengan Lailatul Qadar, tapi setara dengan empat rakaat yang sama yang dilakukan pada Lailatul Qadar. Perhatikan perbedaan antara keduanya.
2. Ucapan asy-Syaikh Ibnu Baaz di atas menunjukkan, bahwa yang menjadi Salat Sunnah Rawatib setelah Isya adalah yang dua rakaat, bukan yang empat rakaat. Namun keduanya tidaklah saling menafikan.
3. Jika demikian, apakah Salat Sunnah setelah Isya itu ada enam rakaat? Dua rakaat Rawatib dan empat rakaat setelahnya?
Jawab:
Lahiriah riwayat al-Bukhari di atas, Nabi ﷺ pada saat itu tidak mengerjakan salat Rawatib dua rakaat, namun beliau mengerjakan salat empat rakaat ini sebagai gantinya. Dan kami belum mendapati ada seorang pun ulama yang berbicara dalam masalah ini, yang menyebutkan disunnahkannya menggabungkan kedua jenis salat sunnah ini sehingga menjadi enam rakaat.
4.Jika yang dikerjakan hanya salah satunya, apakah boleh meninggalkan Salat Sunnah Rawatib dua rakaat dan hanya melakukan salat empat rakaat ini secara terus-menerus?
Jawab:
Telah diketahui di atas, bahwa kedua jenis salat dengan rakaat yang berbeda ini adalah salat sunnah yang berdiri sendiri dan tidak dianjurkan untuk digabungkan. Itu berarti dalam Salat Sunnah setelah Isya, ada dua tuntunan dari Nabi ﷺ. Dan jika suatu ibadah mempunyai beberapa opsi dari Nabi ﷺ, maka hendaknya dikerjakan secara bergantian; terkadang yang ini dan terkadang yang itu, dan tidak meninggalkan salah satu dari keduanya, karena itu akan menyeret kepada hilangnya sunnah. Maka dalam sunnah ini, seorang yang Salat Sunnah setelah Isya, hendaknya dia pada satu waktu mengerjakan Rawatib dua rakaat dan tidak mengerjakan yang empat rakaat, namun pada kesempatan yang lain dia lakukan sebaliknya. Dan demikian seterusnya.
Syaikh al Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Majmu’ al Fatawa (22/67):
ومن تمام السنة في مثل هذا: أن يفعل هذا تارة وهذا تارة وهذا في مكان وهذا في مكان لأن هجر ما وردت به السنة وملازمة غيره قد يفضي إلى أن يجعل السنة بدعة والمستحب واجبا ويفضي ذلك إلى التفرق والاختلاف إذا فعل آخرون الوجه الآخر
“Di antara bentuk kesempurnaan dalam menerapkan sunnah dalam permasalahan seperti ini adalah: Hendaknya mengamalkan sunnah yang satu pada satu kesempatan, dan mengamalkan sunnah yang lainnya pada kesempatan yang lain. Mengamalkan sunnah yang ini di satu tempat dan mengamalkan yang lainnya pada tempat yang lain. Hal itu karena meninggalkan amalan yang tersebut dalam sunnah seraya komitmen dengan sunnah yang lain secara terus-menerus, bisa menyebabkan suatu sunnah dianggap bid’ah atau yang sunnah dianggap wajib. Dan juga bisa menyebabkan lahirnya perpecahan dan perselisihan jika ada orang lain yang mengamalkan sunnah yang lain tersebut.”