بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
KESEPAKATAN ULAMA ISLAM ATAS HARAMNYA MEMBANTU, MENGHADIRI DAN MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL
Al-Imam Al-‘Allaamah Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menukil kesepakatan (Ijma’) ulama Islam:
وَكَمَا أَنَّهُمْ لَا يَجُوزُ لَهُمْ إِظْهَارُهُ فَلَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ مُمَالَاتُهُمْ عَلَيْهِ وَلَا مُسَاعَدَتُهُمْ وَلَا الْحُضُورُ مَعَهُمْ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهُ
“Sebagaimana tidak boleh bagi kaum Musyrikin untuk menampakkan perayaan mereka, demikian pula tidak boleh bagi kaum Muslimin untuk membantu, menolong dan ikut hadir dalam perayaan mereka, berdasarkan kesepakatan Ahlul ‘Ilmi (ulama) yang benar-benar ahli.” [Ahkaam Ahli Dzimmah, 3/1245]
Tidak diragukan lagi, bahwa mengucapkan selamat, apalagi ikut hadir, termasuk dalam ketegori ta’awun, yaitu membantu mereka dalam kebatilan. Maka ulama sepakat melarangnya.
Al-Imam Al-‘Allaamah Ibnul Qoyyim rahimahullah juga menukil Ijma’ ulama Islam:
“Adapun mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol kekafiran yang merupakan ciri khususnya, maka hukumnya HARAM berdasarkan kesepakatan (ulama), seperti seseorang mengucapkan selamat terhadap hari raya orang-orang kafir dan puasa mereka. Contohnya ia mengatakan: “Semoga Hari Raya ini menjadi berkah bagimu”, atau “Semoga engkau bahagia dengan Hari Raya ini”, dan yang semisalnya. Maka dengan sebab ucapannya ini, andai ia selamat dari kekafiran, maka ia tidak akan lepas dari perbuatan yang haram.” [Ahkaam Ahli Dzimmah, 1/441]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Memberi selamat kepada orang-orang kafir dalam Perayaan Natal atau perayaan agama mereka yang lainnya adalah HARAM menurut kesepakatan (ulama).” [Majmu’ Al-Fatawa war Rosaail, 3/45]
Maka apabila ada ulama setelahnya kemudian menyelisihi ijma’ tersebut, TIDAK BOLEH bagi kita mengikuti penyelisihan itu, karena ijma’ adalah hujjah dalam agama, telah pasti kebenarannya. Adapun yang menyelisihinya pasti keliru.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa: 115]
Asy-Syaikh Al-Mufassir Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Dalam ayat yang mulia ini terdapat pendalilan, bahwa Ijma’ umat ini adalah hujjah, dan bahwa ia maksum (terjaga) dari kesalahan.
Sisi pendalilannya: Bahwa Allah telah mengancam siapa yang menyelisihi jalan kaum Mukminin, dengan ancaman kehinaan dan Neraka.
Dan jalan kaum Mukminin dalam ayat ini dalam bentuk Mufrod Mudhof (satu kata yang disandarkan), sehingga maknanya mencakup seluruh keyakinan dan amalan kaum Mukminin. Apabila mereka telah sepakat untuk mewajibkan sesuatu, atau menyunnahkannya, atau mengharamkannya, atau memakruhkannya, atau membolehkannya, maka itulah jalan mereka. Barang siapa menyelisihi satu perkara saja setelah terjadinya Ijma’, maka ia telah mengikuti selain jalannya kaum Mukminin.” [Taisirul Kaarimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan, hal. 202]
Penulis: Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah
Sumber: https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/719295141553304
Baca selengkapnya:
Leave A Comment