Alasan tidak mengadzankan bayi baru lahir adalah karena penilaian hadis mengenai hal ini adalah lemah. Di samping itu, pendapat ini bukanlah pendapat yang aneh, dan bukan pendapat yang baru muncul di zaman ini. Pendapat ini sudah ada sejak masa silam, menjadi salah satu pendapat ulama besar madzhab yaitu Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Walaupun kami akui pendapat ini menyelisihi pendapat mayoritas ulama, namun satu hal yang keliru jika menganggap bahwa pendapat ini baru dimunculkan oleh Syaikh Al Albani lalu diikuti oleh murid-muridnya. Pendapat ini sebenarnya sudah ada jauh hari dari ulama madzhab. Sehingga kalau ada yang mengatakan pendapat ini baru, dialah yang keliru.
Ini buktinya pendapat dari Imam Malik rahimahullah yang kami kutip dari Islam Web:
واستحباب التأذين في أذن المولود ليس أمرا مجمعا عليه فقد ذهب بعض أهل العلم إلى كراهية ذلك، وهذا قول مالك رحمه الله.
فقد جاء في مواهب الجليل للحطاب المالكي رحمه الله: كره مالك أن يؤذن في أذن الصبي المولود. انتهى. وقال في النوادر بإثر العقيقة في ترجمة الختان والخفاض: وأنكر مالك أن يؤذن في أذنه حين يولد. انتهى. وقال الجزولي في شرح الرسالة: وقد استحب بعض أهل العلم أن يؤذن في أذن الصبي ويقيم حين يولد.. قلت: وقد جرى عمل الناس بذلك فلا بأس بالعمل به. والله أعلم. انتهى.
Kesunnahan mengadzankan bayi saat lahir bukanlah suatu hal yang disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan makruh (terlarang) mengadzankan. Inilah pendapat dari Imam Malik rahimahullah.
Telah disebutkan dalam Mawahibul Jalil karya Al Hithob Al Maliki rahimahullah, “Imam Malik memakruhkan adzan di telinga bayi saat lahir.”
Disebutkan pula dalam An Nawadir tentang masalah akikah pada permasalahan khitan dan khidhob, “Imam Malik mengingkari adanya adzan di telinga bayi saat lahir.”
Al Jazuli menyebutkan dalam Syarh Ar Risalah bahwa sebagian ulama menganjurkan adzan di telinga bayi saat lahir, begitu pula iqamah. Telah ada amalan dari kaum Muslimin mengenai hal itu. [Selesai nukilan]
Kita tidak bisa menafikkan pendapat Imam Malik di atas. Adapun manakah pendapat yang dipilih dalam masalah ini, apakah diadzankan ataukah tidak? Cukup kami sampaikan perkataan guru kami, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi hafizhohullah, ulama muda yang pakar hadis di zaman ini.
Syaikh Ath Thorifi ditanya mengenai keshahihan hadis adzan dan iqamah pada bayi ketika lahir. Ia menjawab: “Hadis yang menjelaskan tentang adzan pada telinga bayi ketika lahir TIDAKLAH shahih. Hadis tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Abu Daud dalam sunannya, Tirmidzi dan Al Bazzar dalam musnadnya, Ath Thobroni dalam Majmu’nya, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, ‘Abdurrozaq dalam Mushonnafnya dari jalur ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, dari ‘Ubaidillah bin ‘Abu Rofi’, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadzani di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika dilahirkan oleh Fathimah seperti adzan untuk sholat.”
Dalam rantai sanadnya terdapat ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, di mana Abu Hatim menilainya, ” ‘Ashim itu Munkarul Hadis, Mudhthorib Hadis. Hadis yang ia riwayatkan tidak bisa dijadikan sandaran. Ibnu Ma’in mendhaifkan hadisnya. Imam Bukhari menilai, dia itu Munkarul Hadis.”
Dikeluarkan pula oleh Abu Ya’la dari Husain, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bayi mana saja yang dilahirkan lalu diadzankan di telinga kanan dan diiqamahkan di telinga kiri, maka setan pun tidak akan mendatangkan mudharat untuknya.” (HR. Abu Ya’la dalam musnadnya 6780). Di dalam rantai sanad tersebut terdapat Marwan bin Salim Al Ghifariy, ia adalah perawi matruk.
Hadis tersebut dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari jalur Al Hasan bin ‘Amr, dari Al Qasim bin Muth’im, dari Manshur bin Shofiyah, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadzani Al Hasan bin ‘Ali ketika hari lahirnya. Beliau mengadzankannya di telinga kanan dan mengiqamahkan di telinga kiri.
Hadis di atas pun munkar. Al Hasan bin ‘Amr dikatakan pendusta oleh Imam Bukhari. Intinya, TIDAK ADA hadis shahih yang mendukung tuntunan adzan di telinga bayi.” (Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi di website resmi beliau: http://www.altarefe.com/cnt/ftawa/301).
Juga baca tulisan secara panjang lebar di Rumaysho.Com: Kritik Anjuran Adzan di Telinga Bayi: https://rumaysho.com/619-kritik-anjuran-adzan-di-telinga-bayi.html
Itulah pendapat yang kami pilih karena hadis yang membicarakan masalah ini tidaklah shahih. Namun kami masih menghargai pendapat jumhur (baca: mayoritas ulama) yang menganggap dianjurkan (sunnah) dan menghargai ulama lain yang menghasankan hadis tersebut. Akan tetapi, penelitian mutakhir dari Syaikh Al Albani, Syaikh Musthofa Al Adawi, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, dan Syaikh Abdul Aziz Ath Thorifi, yang kesemuanya diakui sebagai ulama hadis di abad ini, itu lebih menentramkan hati kami.
Jika melihat pendapat ini terasa aneh, mungkin karena tidak terbiasa mengaji pula masalah fikih. Di dalam masalah fikih, ada perbedaan seperti itu. Itu wajar. Sama halnya dalam masalah hadis ada perbedaan yang sama pula.
Jadi .… Bersikaplah bijak. Tidak perlu sampai mengatakan Syaikh Al Albani yang baru memunculkan pendapat ini. Atau sampai menghina beliau. Ingat, daging ulama hadis itu beracun, tidak seperti kita mengghibahi Muslim lainnya.
Celaan terhadap Syaikh Al Albani dari pengkritik yang ilmunya masih jauh dari beliau, tentu tidak perlu digubris karena sudah banyak ulama yang memuji beliau seperti di bawah ini.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah berkata:
ما رأيتُ تحت أديم السماء عالماً بالحديث في العصر الحديث مثل العلامة محمد ناصر الدين الألباني…
“Tidak pernah aku lihat di bawah kolong langit saat ini ada orang yang ‘aalim dalam bidang hadis semisal Al-‘Allaamah Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy…” (Hayaatul-Albaaniy, 1: 65-66).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga memberikan pujian:
وأنه ذو علم جم في الحديث رواية ودراية، وأن الله تعالى قد نفع فيما كتبه كثيراً من الناس من حيث العلم ومن حيث المنهاج والاتجاه إلى علم الحديث، وهذه ثمرة كبيرة للمسلمين، ولله الحمد.
“Beliau adalah seorang yang memunyai pengetahuan luas dalam hadis, baik riwayat maupun dirayat. Dan bahwasannya Allah memberikan banyak manfaat melalui kitab yang telah ditulisnya kepada umat manusia dari sisi ilmu, manhaj, dan mengarahkan kepada ilmu hadis. Ini adalah buah karya yang besar bagi kaum Muslimin. Hanya bagi Allah segala puji…” (Hayaatul-Albaaniy, 2: 543 dan Rad’ul-Jaaniy, hal. 21).
Silakan lihat, perkataan siapakah yang lebih diakui.
Semoga Allah beri hidayah dan kita semakin mnghormati para ulama kita dan mencontoh mereka dalam kebaikan yang telah mereka tularkan pada umat.
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Catatan Tambahan:
- Hadis Shohih adalah hadis yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadis tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
- Hadis Hasan adalah hadis yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
- Hadis Dho’if (Lemah) adalah hadis yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
- Hadis Maudhu’ (Palsu) adalah hadis yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Hadis Matruk (Yang harus ditinggalkan) adalah hadis yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).
https://rumaysho.com/619-kritik-anjuran-adzan-di-telinga-bayi.html
Leave A Comment