1. Menurut Mayoritas Ulama, hukum Zakat Fitri wajib ditunaikan oleh setiap orang, baik kecil maupun dewasa. Pihak wali yang bertanggung jawab menunaikan kewajiban tersebut, untuk setiap orang yang berada dalam tanggungannya. Disunnahkan juga menunaikan Zakat Fitri bagi janin yang masih berada dalam kandungan.
2. Kewajiban Zakat Fitri tidaklah gugur dari diri orang yang berutang atau fakir miskin. Selama orang tersebut memiliki makanan yang berlebih untuk dikonsumsi oleh dirinya dan keluarga di Hari Ied. Diperkenankan baginya menunaikan kewajiban tersebut dengan mengeluarkan zakat dari Zakat Fitri yang diterimanya dari pihak lain.
3. Zakat Fitri diserahkan pada fakir miskin, bukan yang lain.
4. Waktu penyaluran yang utama adalah waktu di antara salat Subuh dan Salat Ied.
5. Boleh menyegerakan penyaluran Zakat Fitri, sehari atau dua hari sebelum ‘Ied. Hal ini dilakukan oleh para sahabat. Dan mengakhirkan penyaluran Zakat Fitri setelah pelaksanaan Salat Ied adalah hal yang keliru. Gambarannya sama seperti mengakhirkan pelaksanaan salat Subuh hingga terbit matahari. Dikecualikan dari hal tersebut, jika terdapat uzur sehingga melakukannya, seperti lupa.
6. Zakat Fitri dikeluarkan dari makanan pokok di suatu daerah, yang umumnya menjadi hidangan di waktu pagi dan malam, seperti beras atau makanan sesuai kondisi masing-masing daerah. Suatu makanan pokok tidak boleh disalurkan di suatu daerah yang penduduknya tidak mengonsumsi makanan tersebut.
7. Makanan pokok manusia yang menjadi obyek Zakat Fitri boleh jadi mengalami perubahan seiring perkembangan waktu. Saat ini, gandum syair dan kurma tidak sah dijadikan obyek Zakat Fitri, meski tercantum dalam hadis, karena gandum syair tidak lagi dimakan, sedangkan kurma telah menjadi buah, dan bukan lagi makanan pokok.
8. Berdasarkan kesepakatan ulama, ketentuan yang sesuai dengan sunnah adalah mengeluarkan Zakat Fitri dalam bentuk makanan pokok, bukan dalam bentuk uang. Mereka hanya berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan mengeluarkan Zakat Fitri dalam bentuk uang. Sebagian ulama memberikan dispensasi. Namun yang lebih hati-hati adalah tetap mengeluarkan Zakat Fitri dalam bentuk makanan pokok.
9. Lebih utama masing-masing anggota keluarga mengeluarkan Zakat Fitri dari harta miliknya, jika mencukupi. Hal ini seperti anak-anak yang telah memiliki pekerjaan (namun masih tinggal bersama orang tua). Apabila orang tua mengeluarkan Zakat Fitri bagi mereka, hal itu mencukupi.
10. Boleh menyalurkan sejumlah jatah Zakat Fitri kepada satu orang, sebagaimana diperbolehkan satu jatah Zakat Fitri dibagi kepada beberapa orang. Disunnahkan obyek Zakat Fitri merupakan makanan pokok yang paling baik kualitasnya.
11. Lebih utama menyalurkan Zakat Fitri di daerah yang menjadi domisili pemberi zakat (muzakki). Apabila terdapat daerah yang lebih membutuhkan, boleh mendistribusikan Zakat Fitri ke daerah tersebut. Apabila proses pendistribusian Zakat Fitri dalam bentuk makanan pokok ke daerah tersebut menyulitkan, boleh mengonversi Zakat Fitri ke dalam bentuk uang, karena adanya maslahat yang nyata.
12. Lebih utama muzakki (pemberi zakat) menyalurkan langsung Zakat Fitri kepada fakir miskin. Namun boleh jika mewakilkan hal tersebut pada pihak lain.
13. Wajib mengeluarkan Zakat Fitri dengan takaran satu sha’ (2,5-3kg). Boleh juga mengeluarkan Zakat Fitri dengan mencampur dua makanan pokok dalam satu sha’ dari satu orang, dengan syarat kadar dua makanan pokok tersebut dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.
14. Memberi Zakat Fitri pada pekerja atau pembantu memiliki dua kondisi:
Pertama: Zakat Fitri tidak boleh diberikan kepada mereka jika, dalam kontrak kerja makanan sehari-hari menjadi kewajiban pemberi kerja.
Kedua: Zakat Fitri boleh diberikan kepada mereka, jika para pekerja tersebut menanggung makanan mereka sendiri.
15. Jika seseorang terlambat mengeluarkan Zakat Fitri hingga melewati waktu dan dalam kondisi tidak lupa, maka dia berdosa, dan wajib mengeluarkan Zakat Fitri dan bertobat.