بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

YA THOYBAH, LAGU YANG PERNAH NGETREND TERNYATA BERBAU SYIAH

Bagaimana bisa ada orang yang membenci Syiah, tapi masih mengidolakan tokoh-tokoh Syiah dan menggemari karya-karya mereka?

Semoga mereka melakukannya karena kebodohannya atau ketidak tahuannya akan hal itu. Ini peringatan untuk kita agar tidak asal ikut-ikutan.

Karena banyak dari orang-orang kita yang membenci Syiah, melaknat Syiah, namun mereka masih mengidolakan tokoh Syiah dan menyukai karya-karyanya. Mereka masih mengidolakan tokoh Syiah semisal Muhammad Quraish Shihab, yang pemikirannya banyak terpengaruh ajaran Syiah, berikut dengan karyanya Tafsir Al Misbah.

Tidak ketinggalan juga dengan artis yang populer di Indonesia, yang pemikirannya juga terpengaruh ajaran Syiah, yaitu Haddad Alwi dan Sulis.

Jangan kaget kalau lagu-lagu yang mereka bawakan diambil dari lagu-lagu ajaran Syiah. Seperti lagu berikut ini:

“Ya Thayyibah…ya Thayyibah…”

Contoh (dijamin 100% Syiah):

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=m_zT4t2Fk74&rel=0]

(Keterangan: Jangan didengarkan dan jangan dinikmati lagunya. Sekedar referensi saja)

Disebutkan:

Mengenai nyanyian Ya Thoybah (Wahai Sang Penawar) itu juga nyanyian, hanya berbahasa Arab. Kalau nyanyian berbahasa Indonesia, Inggris atau lainnya yang biasanya berkisar tentang cinta, pacaran dan sebagainya, misalnya dinyanyikan di masjid, orang sudah langsung faham, bahwa itu tidak boleh.

Nyanyian cinta-pacaran seperti itu justru kesalahannya jelas. Orang langsung tahu. Sebaliknya, kalau nyanyiannya itu seperti Ya Thoybah, kalau itu mengandung kesalahan (dan memang demikian), justru orang tidak mudah untuk menyalahkannya. Karena dia berbahasa Arab, dan menyebut nama sahabat Nabi ﷺ, menyebut Alquran dan sebagainya.

Padahal, nyanyian Ya Thoybah itu justru isinya berbahaya bagi Islam, karena ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuji Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini kutipan bait yang ghuluw dari nyanyian Ya Thoybah (Wahai Sang Penawar):

Berikut lirik dan terjemahan lagu tersebut,

Lirik Sholawat YA THOYBAH dan Terjemahan

يَا طَيْبَةْ

يَا طَيْبَة يَا طَيْبَة يَا دَوَالْعيَا نَا

اِشْتَقْنَا لِكْ وَالْهَوَى نَدَانَا، وَالْهَوَى نَدَانَايَا عَلِىَّ ابْنَ اَ بِى طَا لِبْ

مِنْكُمُ مَصْدَرُ المَوَا هِبْ

يَا تُرَ ى هَلْ ءُرَى لِى حَاجِبْ

عِنْدُكُمْ اَفضَلُل الغِلمَاَنَ اَفضَلُل الغِلمَاَ نَاَسْيَادِي الْحَسَنْ وَالحُسيْنِ

اِلَى النَّبِيِ قُرَّ ةْ عَيْنِ

يَا شَبَا بَ الجَنَّتَيْنِ

جَدُّكُمْ صَا حِبُ القُرْ آنَ  صَا حِبُ القُرْ آنَ

Sang penawar wahai sang penawar derita

Kami merindukanmu

Wahai Sang Penawar Wahai Ali putera Abi Tholib

Darimulah sumber keutamaan

Aduhai, mungkinkah aku, (mendapatkan petunjukmu)

Sementara tirai menghalangiku

Sedang di sisimulah sebaik-baik tempat pengabdian

Wahai Al-Hasan dan Al-Husain

Cahaya mata Rasul Alloh

Wahai penghulu pemuda Surga

Kakekmu penyampai firman Alloh, Alquran

Ya ‘Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib.

Artinya: “Wahai Ali bin Abi Thalib, darimulah sumber keutamaan-keutamaan (anugerah-anugerah atau bakat-bakat).”

Bagaimanapun, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah manusia biasa, bukan Tuhan. Di dalam nyanyian itu sampai disanjung sebegitu, dianggap dari Ali-lah sumber anugerah-anugerah atau bakat-bakat atau keutamaan-keutamaan. Ini sangat berlebihan alias ghuluw. Nabi ﷺ bersabda:

َ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ

Artinya: “Jauhilah olehmu ghuluw (berlebih-lebihan), karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kalian itu hanyalah karena ghuluw, berlebih-lebihan, dalam agama.” (HR Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, Shahih).

Ali radhiyallahu ‘anhu sendiri pernah disikapi seperti itu. Abdullah bin Saba’, pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam, bekata kepada Ali:

“Engkau-lah Allah”.

Maka Ali bermaksud membunuhnya, namun dilarang oleh Ibnu Abbas.

Kemudian Ali cukup membuangnya ke Madain (Iran). Dalam riwayat lain, Abdullah bin Saba’ disuruh bertaubat, namun tidak mau. Maka ia lalu dibakar oleh Ali (dalam suatu riwayat) (lihat Rijal Al-Kusyi, hal 106-108, 305; seperti dikutip KH Drs Moh Dawam Anwar, Mengapa Kita Menolak Syiah, LPPI Jakarta, cetakan II, 1998, hal 5-6).

Rupanya antek-antek Abdullah bin Saba’ kini berleluasa menyebarkan missinya. Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para pendukung tersebarnya aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan kelompok yang ghuluw dalam menyanjung Nabi Muhammad ﷺ.

Contohnya adalah nyanyian mereka dalam pengajian-pengajian yang dikenal dengan nyanyian Ya Robbi bil Mushtofaa.

Nyanyian yang satu ini dikhawatirkan menjurus kepada syirik (kemusyrikan, menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala), kalau lafaz bil (dari Yaa Robbi bil-Mushtofaa) itu dimaksudkan untuk sumpah, artinya demi (Rasul) pilihan (Mu). Sebab Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. (الترمذي)

“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh ia telah musyrik (menyekutukan Alah).” (HR At-Tirmidzi dalam bab Iman dan Nadzar, kata Abu Isa, hadis ini Hasan).

Terlarang pula bila lafaz bil (dari Yaa Robbi bil-Mushtofaa) itu dimaksudkan untuk Sababiyah atau perantara, karena berarti menjadikan Nabi ﷺ yang sudah wafat sebagai perantara (wasilah) kepada Allah. Itu terlarang, karena hal itu termasuk ibadah. Sedang ibadah harus tauqifi, berdasarkan dalil. Karena tak ada dalilnya yang membolehkan, maka para sahabat Nabi Muhammad ﷺ tidak bertawassul dengan Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau sudah wafat.

Adapun minta didoakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika orang yang diminta itu masih hidup atau tawassul ketika orangnya masih hidup, maka tidak terlarang.

Kalau ada yang minta hadis larangan bertawassul dengan zat makhluk, dalam hal ini isi dari syair Ya Robbibil, sebenarnya sudah jelas dalam keterangan di atas. Namun agar lebih jelas, kami kutipkan hadis:

رَوَى الطبراني فِي مُعْجَمِهِ الْكَبِيرِ { أَنَّهُ كَانَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَافِقٌ يُؤْذِي الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ : قُومُوا بِنَا لِنَسْتَغِيثَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاَللَّهِ }

Thabrani meriwayatkan di dalam kitabnya, Mu’jam Al-Kabir: Bahwa dulu pada zaman Nabi ﷺ ada seorang munafik (Abdullah bin Ubay) menyakiti/ mengganggu orang-orang Mukmin. Maka Abu Bakar berkata:

 

Bangkitlah dengan kami, kami akan minta tolong kepada Rasulullah ﷺ dari (gangguan) munafik ini. Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku tidak (boleh) dimintai tolong, dan sesungguhnya hanya Allah lah yang dimintai tolong.” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaaid 10/159 dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Thabrani sedang para periwayatnya Shahih selain Ibnu Lahi’ah dan hadis ini Hasan).

 

Dalam kitab Fathul Majid dikomentari, sabda Nabi ﷺ itu adalah nash/ teks bahwasanya tidak (boleh) minta tolong kepada Nabi ﷺ dan juga orang lainnya. Beliau membenci perbuatan ini sebenarnya, walaupun beliau termasuk mampu mengerjakannya (memberi pertolongan) dalam hidupnya. (Tetapi ini) sebagai penjagaan akan terjatuhnya Tauhid, dan menutup jalan ke arah bahaya syirik, dan adab serta tawadhu’ kepada Tuhannya, dan memberikan peringatan kepada umatnya tentang sarana-sarana kemusyrikan dalam ucapan dan perbuatan.

Kalau dalam hal yang Nabi ﷺ mampu mengerjakannya ketika hidupnya saja (beliau ﷺ tidak membolehkan), maka bagaimana beliau ﷺ akan membolehkan untuk minta tolong (diperantarakan kepada Allah, misalnya) setelah beliau ﷺ wafat, dan dimintai untuk mengerjakan hal-hal yang beliau ﷺ tidak mampu atasnya kecuali Allah saja yang mampu mengerjakannya? Sebagaimana telah dilakukan oleh lisan-lisan sebagian banyak penyair seperti Al-Bushiri, Al-Bara’i dan lainnya, yang beristighotsah (minta tolong) kepada orang yang tidak memiliki manfaat dan mudhorot pada dirinya sendiri… ( Fathul Majid, hal. 196-197).

Secara pasti, ibadah itu harus ada dalilnya (ayat Alquran atau Hadis yang Shahih) atau ada contohnya dari Nabi ﷺ atau para sahabat Nabi ﷺ (kesepakatan Sahabat Nabi ﷺ). Dalam kasus ini, syair itu tidak sesuai dengan dalil, seperti uraian tersebut di atas, dan tidak pernah ada contoh dari Nabi ﷺ ataupun para sahabatnya.

Ibadah saja mesti ada dalilnya atau contohnya dari Nabi ﷺ.

Sedang syair Ya Rabbi bil Musthofaa… itu menyangkut akidah, maka dalilnya untuk membolehkannya harus jelas. Ternyata tidak ada dalil yang membolehkan secara jelas. Yang ada justru isi dan bentuk syair itu bertentangan dengan dalil akidah yang benar.

Jadi pertanyaan yang mestinya diajukan adalah: Mana hadis yang membolehkan atau membenarkan isi syair itu, – bukan mana hadisnya yang melarangnya. Karena isi syair itu menyangkut akidah, yang dalam hal aturannya justru lebih ketat dibanding ibadah. Apalagi isi syair itu sudah tidak sesuai dengan akidah yang benar.

Masalah ulama tidak tahu atau tahu tetapi tidak menyatakan bahwa itu salah, ini hal yang sering diungkapkan orang dalam berbagai kesempatan. Namun yang jelas, agama itu landasannya adalah dalil (ayat Alquran atau Hadis yang Shahih) dengan pemahaman yang sesuai dengan penjelasan Nabi ﷺ, para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Di sinilah pentingnya memelajari agama, agar tidak hanya mengikuti apa kata orang, walau disebut ulama. Insya Allah kalau menempuh jalan seperti ini, kita akan selamat. Aamiin.

Demikian pula sholawat Badar, di sana ada lafaz bil haadii Rasuulillaah. Itu sama dengan keterangan tersebut di atas. (lebih jelasnya, baca buku Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, 1422H, atau Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002, atau Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP Solo, 2007).

 

Sumber:

http://gizanherbal.wordpress.com/2012/03/22/waspada-lagu-lagunya-haddad-alwi-dan-sulis-karena-berbau-syiah/