بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#Fikih_Jual_Beli

UPAH BEKAM, APAKAH HALAL ATAU HARAM? BAIK ATAU BURUK?

Terdapat beberapa hadis yang berkaitan dengan upah tukang bekam. Dalam Kitab Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhori 4/459, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menguraikan tentang perbedaan pendapat di antara para ulama. Hal ini sebagaimana juga termaktub dalam kitab Nailul Author – (10/423-424 Tahqiq Syaikh Subhi Hasan Hallaq), Imam asy Syaukani memberikan penjelasan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai upah tukang bekam dalam hal menyikapi hadis-hadis tentang pelarangan dan bolehnya mengambil upah.

Pendapat yang paling rajih, insya Allah, adalah pendapat jumhur (membawa pelarangan pada makna Makruh Tanzih) (Lihat Nailul Author X/424). Hal ini sebagaimana perkataan At-Tirmidzi:

وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَغَيْرِهِمْ فِي كَسْبِ الحَجَّامِ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ

“Sebagian ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan selainnya memberikan keringanan dalam hal upah tukang bekam. Dan itulah yang menjadi pendapat dari Asy-Syaafi’iy” [Lihat Sunan At-Tirmidzi setelah hadis no. 1278].

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ أَجْرِ الحَجَّامِ، فَقَالَ: احْتَجَمَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ، وَأَعْطَاهُ صَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ، وَكَلَّمَ مَوَالِيَهُ فَخَفَّفُوا عَنْهُ، وَقَالَ: «إِنَّ أَمْثَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الحِجَامَةُ، وَالقُسْطُ البَحْرِيُّ»

“Dari Shahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwasannya beliau pernah ditanya tentang upah tukang bekam, maka beliau berkata: “Rasulullah ﷺ telah berbekam. Pembekamnya adalah Abu Thayiba. Lalu setelah itu Rasulullah ﷺ memberikan kepadanya dua Sho’ dari makanan, dan beliau ﷺ berdialog dengan majikannya Abu Thoyiba agar diringankan pajak/setoran wajibnya (yang dibebankan sang majikan kepada Abu Thoyiba setiap harinya). Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian berobat dengannya yaitu berbekam/hijamah dan Qusthul Bahri (akar kering seperti pasak bumi bentuknya dan pahit rasanya dapat dibuat serbuk dan bermanfaat untuk sakit tenggorokan, panas, paru-paru dan yang lainnya.)” (HR. Al-Bukhori no. 5696 dan Muslim no. 1577 (62)  Shohih)

Imam Ibnul Qayyim berkata berkaitan dengan hadis Anas tersebut di atas:

وَفِيهَا دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ التَّكَسُّبِ بِصِنَاعَةِ الْحِجَامَةِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَطِيبُ لِلْحُرِّ كْلُ أُجْرَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيمٍ عَلَيْهِ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَعْطَاهُ أَجْرَهُ وَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ أَكْلِهِ وَتَسْمِيَتُهُ إِيَّاهُ خَبِيثًا كَتَسْمِيَتِهِ لِلثَّوْمِ وَالْبَصَلِ خَبِيثَيْنِ، وَلَمْ يَلْزَمْ مِنْ ذَلِكَ تَحْرِيمُهُمَا.

Di dalam hadis tersebut terdapat dalil bolehnya penghasilan/upah dari praktik bekam, walaupun tidak baik bagi orang yang merdeka untuk memakan upah praktik bekam. Namun tidak mengandung pengharaman, karena Nabi ﷺ memberikan upah kepada pembekamnya dan tidak melarang Abu Thoyiba untuk memakannya. Dan penyebutan “Khobits” (kotor) dari upah bekam itu adalah sebagaimana penyebutan dari bawang putih dan bawang merah sebagai “Khobitsaini” (dua buah kotoran) dan hal itu tidak mengharuskan konsekuensi bahwa keduanya sebagai barang yang haram. (Lihat Zaadul Maad 4/63)

Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir berkata dalam kitabnya Syarah al-Muwaththo Imam Malik: Larangan Rasulullah ﷺ di atas adalah larangan yang masuk dalam Makruh Littanzih (Makruh yang lebih dekat kepada yang halal). (Lihat Syarah Az-Zarqani Alal Muwaththo’ 4/609).

Meskipun yang rojih dari upah praktik bekam adalah dibolehkan, namun yang perlu dicamkan yaitu: “Upah praktik bekam adalah upah yang hina” . Tidak selayaknya bagi seorang Muslim yang masih diberikan Allah kekuatan dan kelapangan rezeki untuk mengambil upah berlebihan dari pembekaman, bahkan menggantungkan mata pencahariannya dari hal tersebut. Rasulullah ﷺ telah memerintahkan MuhayyiShoh untuk memergunakan upah bekam untuk membelikan makanan ternak. Dan semua kata-kata khobits, suht, dan yang serupa merupakan celaan dari baginda Nabi ﷺ, yang menerangkan kepada kita, tentang hinanya/kotornya upah bekam tersebut.

Sangat disayangkan, fenomena merebaknya pengamalan sunnah, yaitu berbekam, diselubungi dengan keinginan untuk menggantungkan mata pencaharian semata-mata dari upah bekam. Dan biasanya, dengan modal nekat dan ilmu yang pas-pas-an, banyak saudara kita membuka praktik-praktik bekam, dengan tanpa mengindahkan celaan dari hadis-hadis yang Shohih di atas. Bekam itu memang diperuntukkan kepada setiap Muslim, namun tidak setiap Muslim itu dianjurkan untuk menjadi pembekam. Hal itu bisa dilihat dari sekian banyak hadis dari baginda Nabi ﷺ, hanya nama Abu Toyibah sajalah yang dianggap sebagai pembekam Nabi. Kalaulah bekam itu mudah dan dianjurkan kepada para sahabat radhiallahu’anhum, tentunya akan banyak penyebutan pembekam Nabi ﷺ, selain dari Abu Toyibah. Oleh karena itu, tidak bisa setiap orang tanpa ilmu yang cukup, bisa menjadi pembekam.

Nasihat Bagi Saudaraku Pembekam

Wahai saudaraku pembekam, semoga Allah senantiasa mencurahkan keberkahan selalu kepadamu … Cukuplah ridho Allah dan Rasul-Nya ﷺ menjadi niatan antum dalam menolong sesama kaum Muslimin, agar apa yang antum lakukan senantiasa barokah.

Tidak selayaknya bagi antum untuk menggantungkan mata pencaharian dari bekam semata, padahal masih banyak pintu rezeki yang lainnya terbuka luas bagi hamba-hamba-Nya yang selalu berikhtiar untuk mendapatkan rezeki halal lagi barokah.

Dan tidak selayaknya pula bagi antum wahai saudaraku yang mulia, untuk memberikan tarif/mematok tarif, untuk melakukan pembekaman. Hal itu menyalahi aturan yang terkandung dari hadis Rasulullah ﷺ yang Shohih, yaitu:

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma:

أَنّ النّبي صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَعَا حَجَّامًا فَحَجَمَهُ وَسَأَلَهُ: كَمْ خَرَاجُكَ؟ فَقَالَ: ثَلَاثَةُ آصُعٍ. فَوَضَعَ عَنْهُ صَاعًا وَأَعْطَاهُ أَجْرَهُ

“Bahwasannya Nabi ﷺ pernah mengundang Abu Thoyiba (tukang bekam), lalu ia membekam beliau. Setelah selesai, beliau ﷺ bertanya kepadanya: “Berapa pajakmu ?”. Ia menjawab: “Tiga Sho’”. Lalu beliau ﷺ membatalkan satu Sho’ (dari setoran yang harus dibayarkan kepada majikannya, karena sang majikan mensyaratkan pajak dari jasanya), kemudian memberikan upahnya” [Hadis Shohih, Imam At-Tirmidzi dalam Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah, hal. 188 no. 312].

Coba perhatikan kata- “KAM” berapa, pertanyaan dari Rasulullah ﷺ itu mengandung maksud  biaya pembekaman dibayarkan, setelah berbekam. Dan ditanya oleh yang dibekam, serta tidak ditentukan berdasarkan keuntungan atau keinginan sang pembekam semata. Namun jawaban dari Abu Thoyiba itu mengandung pemahaman, bahwa tiga Sho’ saat itu merupakan upah yang biasa ia terima dari praktik bekam yang dilakukannya. Sehingga tidak selayaknya para saudaraku pembekam untuk memberikan/ mematok tarif, sebelum pembekaman dilakukan dan mengharap keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Tidak bolehnya mematok tarif itu juga terkandung dalam perkataan Imam Ibnul Qayyim tentang hadis Anas di atas: “Di dalamnya terdapat dalil tentang bolehnya menyewa thobib dan yang selainnya (praktik medis) tanpa ada akad tarif. Namun hendaknya sang pasien memberikan upah yang selayaknya, atau apa yang diridhoi oleh si pembekam.” (Lihat Zaadul Ma’ad 4/57)

Dan jawaban dari Abu Toyibah juga mengisyaratkan, bahwa pembekam boleh menjawab pertanyaan berapa upahnya, dengan mengisyaratkan pembayaran yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang dibekamnya. Dan ini pun tidak boleh mengambil untung yang banyak. Hendaknya secukupnya saja. Karena jikalau boleh pembekam itu mendapatkan untung yang banyak, maka tentunya Abu Toyyibah akan menyebutkan angka biaya yang lebih fantastis dari sekedar tiga Sho.

Inilah nasihat yang saya kumpulkan dari Syaikh Guru saya – Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr hafizhahullah pada tahun 2002.

Masih banyak jalan rezeki di Emirat, karena tempatnya para konglomerat.

Masih banyak pintu rezeki dari jalan yang halal lagi terhormat.

Emirat bukan Surga tempat mengkhayal.

Mengikuti dalil lebih pas untuk mencari yang halal.

Wallaahu a’lam bishshawwaab.

 

Penulis: Abu Kayyisa

Zaki Rakhmawan

Praktisi Bekam Pemula lagi Miskin Ilmu yang ingin selalu berusaha untuk belajar.

Di Dubai yang mendung, 19 Jumadha Awal 1433 H.

 

Sumber: https://aslibumiayu.net/17271-upah-bekam-apakah-halal-atau-haram-baik-atau-buruk.html

 

Catatan Tambahan:

DUA MACAM MAKRUH: TAHRIM DAN TANZIH

Makruh itu ada dua macam, yaitu:

  • MAKRUH TAHRIM  – sesuatu yang dibenci namun lebih dekat dengan pengharaman, dan yang kedua
  • MAKRUH TANZIH – yaitu sesuatu yang dibenci namun lebih dekat dengan penghalalan. (Lihat Anisul Fuqaha fi Ta’rifat alfadz al-Mutadawalah bainal fuqaha – Qasim bin Abdullah bin Amiir Ali Al-Qunawy cet. Darul Kitab al-Ilmiyyah hal. 1/104)