#DakwahTauhid

#SelamatkanAkidahmu

SYURUT UMAR BIN KHATAB

  • Salah Satu Contoh Bentuk Toleransi dalam Islam

Untuk yang pernah menyimak sejarah Khalifah Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, tentu pernah mendengar tentang Syurut Umar, aturan dan tata tertib yang dibuat Umar untuk orang Nasrani yang tinggal di dataran Syam (Palestina, Yordania, Suriah, dan Lebanon). Orang Nasrani di daerah Syam TIDAK DIPAKSA untuk pindah ke agama Islam dan tetap bertahan di agama Nasraninya, dan status mereka sebagai Ahlu Dzimmah.

Di bagian akhir tata tertib itu Umar menyatakan:

فإن خالفوا شيئاً مما اشترطوا عليهم فلا ذمة لهم وقد حل للمسلمين منهم ما يحل من أهل المعاندة والشقاق‏

“Apabila mereka melanggar salah satu dari aturan untuk mereka, maka tidak ada jaminan perlindungan untuk mereka dan kaum Muslimin berhak untuk menyikapi mereka sebagaimana mana layaknya orang kafir yang melawan dan menentang.”

Umar radhiyallahu ‘anhu, menetapkan tata tertib ini menjadi aturan baku bagi kaum Muslimin daerah Syam, karena ketika itu daerah Syam telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan kaum Muslimin. Saking pentingnya perjanjian ini, hingga kasus melanggar perjanjian ini akan mendapat ANCAMAN BERAT, diperlakukan layaknya orang non-Muslim yang menentang. Bisa dihukum bunuh, penjaga, atau pengusiran.

Seberat apa Syurut Umar bagi orang Nasrani itu? Berikut di antara poin-poin aturan yang ditetapkan Umar untuk orang Nasrani:

ولا نضرب نواقيسنا إلا ضربا خفيا في جوف كنائسنا

”Kami tidak boleh membunyikan lonceng, kecuali pelan dan dibunyikan di dalam gereja.”

ولا نظهر عليها صليبا

”Kami tidak boleh menampakkan salib di atas gereja.”

ولا نخرج صليبا ولا كتابا في أسواق المسلمين

”Kami tidak boleh menampakkan salib dan Injil di pasar kaum Muslimin.”

وألا نخرج باعوثا ولا شعانين ولا نرفع أصواتنا مع موتانا ولا نظهر النيران معهم في أسواق المسلمين

”Kami tidak keluar dalam rangka merayakan hari raya, kami tidak membunyikan suara ketika mengiring mayat kami, dan tidak membawa api (ibadah), ketika bersama kaum Muslimin di pasar.”

Syurut ini menjadi kesepakatan bersama antara kaum Muslimin dan orang Nasrani yang tinggal di negeri Muslim. Syurut Umar menjadi salah satu acuan bagi para ulama setelah generasi sahabat, untuk menjawab setiap kasus yang berkaitan perayaan agama di luar Islam.

Dalam kitab Ahkam Ahli Dzimmah dinyatakan:

وكما أنهم لا يجوز لهم إظهاره فلا يجوز للمسلمين ممالأتهم عليه ولا مساعدتهم ولا الحضور معهم باتفاق أهل العلم الذين هم أهله

”Sebagaimana mereka (orang Nasrani) tidak diizikan untuk menampakkan hari rayanya, maka tidak boleh bagi kaum Muslimin untuk turut serta bersama mereka dalam perayaan itu, atau membantu mereka, atau menghadiri Natalan bersama mereka, dengan sepakat ulama, yang mereka memahami kasus ini.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 3/87).

Abul Qosim, Hibatullah bin Hasan as-Syafii mengatakan:

ولا يجوز للمسلمين أن يحضروا أعيادهم لأنهم على منكر وزور وإذا خالط أهل المعروف أهل المنكر بغير الإنكار عليهم كانوا كالراضين به المؤثرين له فنخشى من نزول سخط الله على جماعتهم فيعم الجميع نعوذ بالله من سخطه

Kaum Muslimin tidak boleh menghadiri hari raya mereka, karena mereka berada di atas kemungkaran. Jika orang baik berada di tempat yang sama dengan orang yang melakukan kemungkaran, tanpa ada pengingkaran kepada mereka, statusnya sebagaimana orang yang ridha terhadap kemungkaran itu, dan akan memberikan dampak kepadanya. Kami khawatir akan turut murka Allah kepada jamaah itu, sehingga mengenai semuanya. Kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya.

Umar bin Khatab mengatakan:

ولا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم، فإنَّ السَّخطة تنزل عليهم

”Janganlah kalian bergabung bersama orang musyrik dalam gereja mereka ketika hari raya mereka. Karena murka Allah sedang turun kepada mereka.” (HR. Abdurazaq dalam Mushanaf 9061, al-Baihaqi dalam al-Kubro, 9/432).

Umar bin Khatab juga mengatakan:

اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

”Hindari para musuh Allah di hari raya mereka.”

Diriwayatkan oleh Abdul Malik bin Habib, bahwa Ibnul Qosim , murid Imam Malik, pernah ditanya tentang hukum naik perahu, yang saat itu ditumpangi banyak orang Nasrani untuk menghadiri perayaan Natal mereka. Ibnul Qosim melarangnya, karena takkut akan turun murka Allah kepada mereka, disebabkan perbuatan kesyirikan yang mereka lakukan.

Ibnu Habib juga mengatakan:

وكره ابن القاسم للمسلم أن يهدي إلى النصراني في عيده مكافأة له ورآه من تعظيم عيده وعونا له على كفره

Ibnul Qosim juga membenci ketika kaum Muslimin memberikan hadiah kepada orang Nasrani di hari raya mereka, sebagai balas budi baginya. Beliau menganggap itu termasuk memuliakan perayaan mereka dan membantu mereka melakukan kekufuran [Ahkam Ahli Dzimmah, 3/87].

Kita merenung sejenak, andaikan umat Muslim saat ini hidup di zaman Umar, kemudian ada salah satu ’Generasi Liberal’ yang memfatwakan, boleh mengucapkan selamat Natal, kira-kira, apa yang akan dilakukan Umar kepada ’Generasi Liberal’ ini? Bukankah ini pengkhianatan?

Suami Muslim Berhak Melarang Istrinya yang Nasrani untuk Merayakan Natal

Pernyataan di atas ditegaskan oleh Al-Imam As-Syafii dalam bukunya al-Umm:

وله منعها من الكنيسة والخروج إلى الاعياد وغير ذلك مما تريد الخروج إليه ، إذا كان له منع المسلمة إتيان المسجد وهو حق ، كان له في النصرانية منع إتيان الكنيسة لانه باطل

”Suami BOLEH melarang istrinya yang Nasrani untuk mendatangi gereja dan mendatangi perayaan mereka atau acara lainnya yang mengundang pengikut Nasrani. Jika seorang suami boleh melarang istrinya yang Muslimah untuk menghadiri jamaah di masjid, dan itu dibenarkan, maka suami Muslim berhak melarang istrinya yang Nasrani untuk mendatangi gereja, karena itu tindakan kebatilan.” (al-Umm, 5/8 – 9).

Apakah sikap Imam as-Syafii bertentangan dengan asas toleransi beragama?  Jawabannya TIDAK.

 

Dinukil dari tulisan berjudul: “Sikap Ulama Terhadap Natal’ yang ditulis oleh:  Al-Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullah  (Dewan Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)

Sumber: https://konsultasisyariah.com/21391-fatwa-mui-dan-sikap-ulama-terhadap-Natal.html