بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

SOLUSI BAGI WANITA YANG MENGELUARKAN DARAH TERUS MENERUS BESERTA CONTOH KASUS

Sebagian wanita mengeluarkan darah terus menerus sampai melewati masa haid yang menjadi kebiasaannya. Bahkan hampir sebulan penuh darah juga tak kunjung henti. Inilah yang disebut sebagai darah istihadhah.

Istihadhah yang dialami wanita bisa berupa darah yang terus menerus keluar tanpa henti, seperti yang dialami Fathimah binti Abu Hubaisy. Atau darah terus menerus keluar, namun berhenti dua atau tiga hari saja, seperti yang dialami Hamnah binti Jahsy.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata: “Fatimah binti Abu Hubaisy pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ:

يا سول اللّه إني لا أطهُرْ . وفي رواية أستحاضُ فلا أطهُر

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ini tidak pernah suci.” Dalam riwayat lain: “Saya mengeluarkan darah terus menerus sehingga tidak pernah suci.” (HR. Bukhari no. 228 dan Muslim no. 333)

Dari Hamnah binti Jahsy saat mendatangi Nabi ﷺ, beliau berkata:

يارسول اللّه إني أستحاضُ حيضةً كبيرةً شديدة

“Ya Rasulullah, saya mengeluarkan darah istihadhah yang sangat deras.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dll)

Empat keadaan wanita yang mengalami istihadhah:

Keadaan Pertama

Wanita yang memiliki kebiasaan haid teratur sebelum tertimpa darah istihadhah.

Yang harus ia lakukan tatkala tertimpa istihadhah adalah menjadikan masa haid sesuai dengan kebiasaan haid sebelumnya. Adapun hari lainnya dianggap sebagai istihadhah dan berlaku hukum-hukum istihadhah yaitu tetap sholat, puasa, boleh jima’dan berwudhu setip kali akan sholat.

Contoh:

  • Ibu Dewi terbiasa haid tepat waktu tanggal 1-6 di awal bulan Hijriyyah. Namun di bulan ini Ibu Dewi mengalami istihadhah, sehingga darah terus menerus keluar dan sampai akhir bulan pun masih mengeluarkan darah. Yang dilakukan Ibu Dewi adalah menjadikan tanggal 1- 6 sebagai masa haid sebagaimana kebiasaan haid sebelumnya, dan sisanya tanggal 7-30 dianggap sebagai darah istihadhah.

Dalilnya:

Hadis ‘Aisyah radhiyallah’anha beliau berkata: “Bahwa fathimah binti Abu Hubaisy bertanya:

” يا رسول اللّه ، إني أستحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة ؟ قال : لا . إن ذلك عِرْق ، ولكن دَعي الصلاة قدْرَ الأيام التي كنت تحيضينَ فيها ثم اغتسلي وصلى

“Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mengalami istihadhah, sehingga saya tidak pernah suci. Apakah saya harus meninggalkan sholat ?’ Jawab Nabi ﷺ: ‘Tidak, itu adalah darah urat (yang terputus). Akan tetapi tinggalkan sholat selama hari yang biasa engkau haid sebelumnya, kemudian mandilah, lalu sholatlah.” (Muttafaq Alaih)

Dalam riwayat At-Tirmidzi, Nabi ﷺ bersabda:

إنما ذلك عرق وليست بالحيضة فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم وصلي

“Itu hanyalah darah urat yang terputus dan bukan darah haid. Jika datang masa haid, tinggalkanlah sholat. Jika telah selesai masa haid, bersihkanlah darah tersebut lalu sholatlah.’”

Dalil lainnya, sabda Nabi ﷺ kepada Ummu Habibah binti Jahsy yang sedang tertimpa darah istihadhah:

إمكُثي قدْر ما كانت تحبسُك حيضتك ثم اغتسلي وصلي

“Tinggalkan sholat selama masa haid yang menghalangimu, kemudian mandi dan sholatlah.” (HR. Muslim)

Kesimpulan:

Wanita istihadhah yang memiliki kebiasaan haid yang jelas, maka masa haidnya merujuk pada masa haid sebelum tertimpa istihadhah, lalu mandi dan tak perlu memedulikan darah yang terus keluar.

Keadaan Kedua

Wanita tersebut tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas, atau memiliki kebiasaan, tetapi lupa atau sejak pertama kali haid sudah tertimpa istihadhah.

Untuk menentukan masa haid wanita jenis ini adalah dengan cara membedakan sifat darah haid dengan darah istihadhah (cara Tamyiz).

Bagaimana cara membedakannya?

Perbedaan darah haid dengan darah istihadhah diketahui dengan melihat sifat darah:

– Warna darah: Darah haid berwarna hitam sedangkan istihadhah berwarna merah.

– Kekentalan: Darah haid kental dan menggumpal, sedangkan darah istihadhah encer.

– Bau: Darah haid memiliki bau busuk (tidak sedap), sedangkan darah istihadhah tidak berbau, karena merupakan darah urat yang normal.

– Beku: Darah haid tidak membeku ketika terkena udara luar karena telah membeku sebelumnya di dalam rahim, kemudian meluruh dan mengalir. Berbeda dengan darah istihadhah yang dapat membeku karena merupakan darah urat. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’, 1: 423)

Jika salah satu sifat darah di atas diketahui, maka sudah cukup untuk menentukan jenis darah, apakah darah haid ataukah istihadhah.

  • Misalnya tanggal 1-6 bulan Muharram, darah memiliki bau tak sedap, sedangkan tanggal 7-30 tidak berbau. Maka tanggal 1-6 darah haid, sedangkan tanggal 7-30 darah istihadhah.
  • Tanggal 1-6 bulan Shafar darah yang keluar berupa gumpalan hitam, sementara tanggal 7-30 darah encer merah. Maka tanggal 1-6 termasuk darah haid, sedangkan tanggal 7-29 darah istihadhah. (Lihat Risalah Fiddima’, hal.41)

Contoh kasus:

Asiah gadis ABG yang baru menginjakkan kaki di masa baligh. Pertama kali haid tanggal 1-6. Setelah tanggal 6 Asiah langsung tertimpa istihadhah (mengeluarkan darah terus menerus), sehingga Asiah tidak memiliki kebiasaan masa haid sebelumnya. Oleh karena itu yang harus dilakukan Asiah adalah membedakan darah. Jika darah yang keluar memiliki tanda-tanda seperti tanda darah haid, maka dihukumi sebagai haid. Sebaliknya jika tanda darah seperti darah istihadhah, maka dihukumi sebagai istihadhah dan berlaku hukum-hukum istihadhah.

Dalilnya:

Sabda Nabi ﷺ kepada Fathimah bintu Abu Hubaisy:

إذا كان دم الحيضة فإنه أسودَ يُعْرَفُ ، فإذا كان ذلك فأمسكي عن الصلاة فإذا كان الآخر فتوضئي وصليِّ ؛ فإنما هو عِرْق

“Darah haid adalah darah hitam, sebagaimana diketahui. Jika darah yang keluar demikian, maka tinggalkan sholat. Namun jika darahnya memiliki sifat yang lain (merah, encer), maka berwudhulah, lalu sholatlah, karena itu sesungguhnya darah urat (yang terputus). (HR. Abu Dawud dan An-Nasai. Dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata tentang hadis di atas:

وهذا الحديث وإن كان في سنده ومتنه نظر فقد عَمِلَ به أهل العلم – رحمهم اللّه – ، وهو أوْلى من ردِّها إلى عادة غالب النساء

“Hadis ini meskipun dari sisi sanad dan matannya perlu dikaji ulang, namun para ulama rahimahullah mengamalkannya. Cara Tamyiz (dengan membedakan sifat darah) tentu lebih utama daripada mengembalikan masa haid wanita tersebut pada kebiasaan haid umumnya wanita.’ ( Risalah Fiddima’, hal.41)

Keadaan Ketiga

Wanita yang memiliki kebiasaan haid, yang jelas sekaligus dapat membedakan sifat darah.

Lalu manakah cara yang harus ditempuh? Dengan kembali berpatokan kepada kebiasaan haid sebelumnya (cara adat) ataukah dengan melihat sifat darah (cara Tamyiz)?

Para ulama berbeda pendapat akan hal ini:

Pertama, pendapat yang mendahulukan Tamyiz daripada adat. Pendapat ini yang dipilih Imam Asy Syafi’I dan merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berdalil dengan hadis Nabi ﷺ:

إن دم الحيض أسودَ يُعْرَفُ

“Sesunggguhnya darah haid itu hitam sebagaimana diketahui.”

Alasan kedua, karena Tamyiz memiliki tanda-tanda yang nampak secara jelas.

Kedua, pendapat yang mendahulukan adat daripada Tamyiz. Pendapat ini yang dinilai kuat oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah dengan alasan:

  • Pertama, hadis yang menyebutkan tentang Tamyiz (membedakan darah dengan sifat-sifatnya) adalah hadis yang diperselisihkan ulama tentang kesahihannya.
  • Alasan kedua, mendahulukan adat daripada Tamyiz lebih meyakinkan bagi wanita itu sendiri, karena darah hitam kental dengan bau tak sedap terkadang keluar tidak tentu, berubah-rubah, berpindah dari akhir bulan ke awal bulan atau terputus-putus, sehari berwarna hitam sehari berwarna merah.

Contoh kasus:

  • Hanifa memiliki kebiasaan haid yang rutin di awal bulan selama tujuh hari. Di bulan Shafar ini, Hanifa haid tanggal 1-7 dengan warna darah hitam, menggumpal dan bau tak sedap. Hari ke 8-10 Hanifa masih melihat darah hitam. Setelah hari ke 10 darah yang keluar merah segar dan encer. Apa yang harus dilakukan Hanifa?
  • Menurut pendapat yang dikuatkan Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah, kasus seperti Hanifa ini harus kembali berpatokan kepada adat/kebiasaan haid sebelum tertimpa istihadhah, yaitu menjadikan masa haid dari tanggal 1-7. Adapun tanggal 8 dan seterusnya diianggap istihadhah, meskipun darah yang keluar berwarna hitam.

Keadaan Keempat

Wanita yang tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas, dan juga tidak mampu membedakan darah karena darah terus menerus keluar dengan ciri yang sama sejak pertama kali keluar, atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai haid.

Lalu apa yang harus dilakukan wanita tersebut?

Ulama berbeda pendapat tentang hal ini:

Pendapat pertama: Berpatokan pada kebiasaan haid umumnya para wanita yaitu haid enam atau tujuh hari.

Dalilnya: Hadis Hamnah binti Jahsy radhiyallahu’anha tatkala bertanya kepada Rasulullah ﷺ:

يا رسول اللّه : إني أستحاضُ حيضةً كبيرة شديدة فما ترى فيها قد منعتني الصلاة والصيام ، فقال . أنعتُ لك ( أصفُ لك استعمال ) الكرسف ( وهو القطن ) تضعينه على الفرج ، فإنه يذهب الدم ، قالت : هو أكثر من ذلك . » وفيه قال : « إنما هذا ركْضَة من رَكَضَات الشيطان فتحيضي ستة أيام أو سبعة في علم اللّه تعالى ، ثم اغتسلي حتى إذا رأيتِ أنك قد طهُرت واستنقيت فصلي أربعًا وعشرين أو ثلاثًا وعشرين ليلة وأيامها وصومي

“Ya Rasulullah, saya megalami istihadhah yang sangat deras. Apa pendapat Anda tentangnya? Sungguh darah ini menghalangiku dari sholat dan puasa.”

Nabi ﷺ menjawab: ‘Aku beritahukan kepadamu (gunakanlah) kapas lalu letakkanlah di kemaluan. karena kapas tersebut dapat menyerap darah.’

Hamnah menimpali: ‘Darahnya lebih banyak dari itu.’

Nabi ﷺ bersabda: ‘Ini hanyalah gangguan setan. Jadikan masa haid enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah sampai engkau merasa telah bersih dan suci. Lalu sholatlah selama 24 atau 23 hari di malam dan siangnya dan puasalah.” (Hadis riwayat Ahmmad, Abu Dawud, At Tirmidzi beliau menilai Shahih, Ahmad beliau juga menilai Shahih dan dinilai hasan oleh Al-Bukhari)

Sabda Nabi ﷺ: “Enam atau tujuh hari” di sini bukan untuk pilihan, akan tetapi untuk ijtihad. Hendaknya wanita menilai faktor yang lebih dekat dengan keadaan dirinya, dengan cara melihat kondisi wanita lain yang serupa kondisi fisiknya, lebih dekat umurnya, hubungan kekeluargannya, melihat kondisi darah yang lebih dekat dengan ciri-ciri darah haid, serta pertimbangan lainnya. Jika masa haid lebih dekat dengan enam hari, maka masa haid enam hari. Jika lebih masa haid dekat dengan tujuh hari, maka masa haid nya tujuh hari. (Risalah Fiddia‘hal.44)

Contoh:

  • Tuti adalah anak gadis yang baru saja mengalami haid. Pertama keluar tanggal 5 bulan Shafar. Darah terus menerus keluar dengan sifat yang sama, baik warna, bau, kekentalan, sehingga Tuti tidak bisa membedakan, mana darah haid dan mana darah istihadhah. Tuti juga tidak memiliki kebiasaan haid sebelumnya, karena ini haid pertama. Apa yang harus dilakukan Tuti?
  • Tuti wajib menjadikan masa haid setiap tanggal 5 setiap bulan selama enam atau tujuh hari sesuai dengan pertimbangan yang lebih dekat dengan kondisi dirinya.

Pendapat kedua: Menjadikan masa haid selama 15 hari dan sisanya istihadhah. Karena batas maksimal haid adalah 15 hari. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama (Syafi’iyyah dan Hanabilah).

Dalam kitab Al Mudawwanah dinyatakan:

قال ابن نافع عن عبد الله بن عمرو عن ربيعة ويحيى بن سعيد وعن أخيه عبد الله أنهما كانا يقولان: أكثر ما تترك المرأة الصلاة للحيضة خمس عشرة ليلة ثم تغتسل وتصلي”.

Ibnu Nafi berkata dari Abdullah bin Amr dari Rabiah dari Yahya bin Said dan dari saudaranya Abdullah bahwa keduanya berkata: “Waktu maksimal seorang wanita meninggalkan sholat karena haid sebanyak lima belas malam, kemudian hendaknya ia mandi dan sholat.”

Dalam kitab Kisyaful Qina disebutkan:

وأكثره أي: الحيض خمسة عشر يوماً بلياليهن؛ لقول علي: ما زاد على الخمسة عشر استحاضة

Batas maksimal masa haid adalah 15 hari dengan malam-malamnya. Berdasarkan perkataan Ali: “Darah yang keluar lebih dari 15 hari adalah darah istihadhah.”

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Allahua’lam

 

****

Penyusun: Ummu Fatimah Abdul Mu’ti

Sumber:

Ay Syarhul Mumti, Muhammad Shalih Al’Utsaimin, Muassasah Riyadh.

Risalah Fiddima Ath Thabi’iyyah Linnisa, Muhammad Shalih Al Utsaimin, Asy Syamilah

ar.islamway.net